Masalah pendidikan islam bagaikan benang kusut (rumit), bagaikan lingkaran yang bulat (tidak ada jalan keluar) dan bagaikan bola tak bertepi (tidak adak ujungnya), dari masalah tersebut kita dapat simpulkan bahwa masalah pendidikan islam bersifat kompleks dalam tiap komponen memiliki masalah yang sulit untuk diselesaikan.
Padahal kita tahu bahwa sumber dari pendidikan islam ini adalah wahyu illahi yang selalu menjaga dan melindungi dari (garda terdepan) sebagai mengarahkan,menuntun, membimbing serta mendesain serangkaian langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pendidikan itu sendiri. Dan dari (garda terbelakang) wahyu ini bertugas untuk menyelesaikan problem-problem yang tidak bisa dipecahkan oleh kultur, rasio dan teori. Jangan sampai wahyu ini digunakan sebagai simbol untuk melegitimasi identitas lembaganya tapi perilaku komunitas dalam lembaga itu tidak mencerminkan pesan-pesan wahyu.
Lalu, apakah dalam pendidikan islam, kata islam hanya disebut/diketahui tanpa dihayati, kata islam hanya dipahami sebagai pengetahuan tidak diaktualisasikan sebagai amalan?
Mari kita berintropeksi pada diri sendiri
sebagaimana hadits Nabi bersabda :
إبْدَ بِنَفْسِكَ
Salah satu masalah dari pendidikan islam adalah sulitnya mengubah materi pendidikan islam yang bersifat kognitif menjadi nilai-nilai yang dapat diimpelementasikan dikehidupan sehari-hari. Lembaga pendidikan islam lebih condong terhadap aspek keagamaan dari pada akademisi.
Tidak salah memang lebih mengutamakan aspek keagamaan tapi meninggalkan akademisipun merupakan hal yang tidak benar, dampaknya lulusan lembaga pendidikan islam belum bisa bersaing dengan lulusan pendidikan lainnya. Maka, solusinya adalah materi pendidikan islam ini harus bersifat multiperpekstif yang menghubungkan ilmu agama dengan ilmu-ilmu lainnya. Sehingga lulusan lembaga pendidikan islam mampu bersaing di kehidupan era modern ini dengan tetap berpegang teguh dari nilai-nilai islam itu sendiri. Namun perlu diketahui problem terbesar pendidikan islam saat ini adalah bukan mengenai kurikulum, walaupun kurikulum menjadi faktor penentu. Tapi, problem terbesar dari pendidikan islam adalah (kesadaran berbuat yang terbaik) rendahnya perilaku umat islam dalam merespon hal tersebut.
Seharusnya pendidikan islam itu seperti "bengkel" bukan "Showroom". Kita tahu hakikat showroom bersifat selektif dan elitis hanya menerima kendaraan tertentu saja. Tapi, bengkel mencerminkan sifat populisme menerima semua kendaraan untuk diperbaiki dengan lapang dada. Sebab pendidikan islam bertujuan sebagai transformative emansipatoris / (minadzulumati ilannuri) sebagai perubahan dengan sebenar-benarnya dari kezaliman menuju kebaikan. Untuk itu mari kita bekerja sama untuk merekontruksi pendidikan islam ini menuju pendidikan islam yang lebih baik.
Aminn Ya Rabbal 'Alamin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H