Mohon tunggu...
Fiqi Indra Fahlupi
Fiqi Indra Fahlupi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Menulis karena hidup, hidup bukan karena menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menikmati Sepi Tanpa Tawa, bersama Derita

30 Oktober 2020   16:34 Diperbarui: 12 Desember 2020   21:15 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku adalah aku yang menjadi aku yang aku mau"

Kemarin berganti menjadi esok, esok berganti menjadi lusa. Tapi rasaku selalu sama. yaitu menahan derita atas hidup yang tak kunjung menemukan jalan menuju bahagia.

Pernah waktu itu aku berpikir bahwa derita, lara, nyaman, bahagia, dan rasa-rasa yang Iainnya adalah hal yang sebenarnya tercipta oleh pikirku semata. Sebuah hal yang bisa di buat sedemikian rupa tergantung apa yang pikirku minta. Berbeda dengan lapar yang terjadi karena perut belum isi dan haus yang tercipta karena dahaga.

Dari situ aku memaksakan setiap sedih yang kurasa dengan tawa. Berharap canda akan menghapus sedih. Setiap sedih yang datang selalu kucoba singkirkan dengan pikir itu hanya sebuah rasa. Pernah juga ku paksakan sebuah rasa terhadap lara yang melanda akibat hati yang berbalas pergi tanpa sebab dengan mencari wanita Iain yang sebenarnya tak begitu kusuka. Kupaksakan rasa agar nyaman dengannya, agar bisa bahagia dengannya. Apakah itu berhasil ? ternyata tidak.

Canda yang iringi tawa malah menjadikanku manusia munafik yang selalu membongi perasaanku. Bahagia tak kunjung datang, dan nyaman tak juga nampak. Justru hati semakin membrontak dan membuat luka semakin membelalak. Wanita yang kuharap bisa menghapus lara dan mendatangkan bahagia malah membuatku semakin sadar bahwa sejatinya aku memang tak suka. Dan rasa tak bisa dipaksa. Wanita yang ku harap bisa mendatangkan nyaman ternyata hanya dijadikanku sebuah pelampiasan.

Akhirnya aku pergi dan menjauh. Dengan harap aku tak membuatnya semakin berharap. Namun tetap saja kepergianku membuat si wanita tersipu lara ditinggal harap yang tak menjadi nyata.

Lara dan kecewa yang kuharap menghilang justru semakin dalam karena bertambah rasa bersalah yang menyelemuti setiap langkah.

Setelah itu aku kembali sadar. Jika sejatinya hidup adalah derita, hidup adalah nelangsa, hidup adalah bagaimana kita menikmati setiap derita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun