Kemiskinan struktural seringkali dijadikan sebuah takdir dan nasib yang harus diterima begitu saja. Mereka terkesan pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya, tanpa memikirkan jalan keluar. Maka tidak heran, kemiskinan menjadi sebuah struktural yang diwariskan kepada anak-anaknya.
Menurut data pada Maret 2024, sebanyak 25,20 juta orang mengalami kemiskinan. Penyebab kemiskinan struktural bukanlah pilihan hidup. Tidak ada satu orang pun yang mau mengalami permasalahan tersebut dalam hidupnya. Kemiskinan struktural bisa diputus mata rantainya meskipun pada generasi yang terlahir dari keluarga miskin. Tentu ini sulit dan butuh effort yang besar untuk memperbaiki permasalahan tersebut.
Harus ada kesadaran di salah satu keluarga mereka jika ingin keluar dari zona ini, tentu bertujuan agar mampu memutuskan mata rantai kemiskinan yang menjadi warisan dari keluarganya terdahulu.
Ini adalah Faktor Kemiskinan Struktural yang dialami dari hasil observasi penulis temukan.
1. Kurangnya Nutrisi Gizi: Anak yang mengalami kekurangan gizi tentu menghambat pertumbuhan fisik maupun mentalnya. Dalam jangka panjang, ia akan kesulitan belajar dan bersaing di masa depan. Dikarenakan anak yang mengalami stunting karena kurangnya gizi memiliki IQ di bawah 70, lalu bagaimana ia bisa bersaing dengan anak yang memiliki gizi yang tercukupi ketika dewasa kelak? Maka perbaiki dan berusaha untuk memenuhi gizi anak terutama pada usia golden age. Ini adalah langkah pertama untuk keluar dari zona kemiskinan.
2. Akses Pendidikan: Keluarga yang mengalami kemiskinan struktural lebih mengutamakan anaknya bekerja di usia lebih muda, dibanding memilih menuntut ilmu di sekolah formal maupun non formal. Bagi mereka, melanjutkan pendidikan terutama sampai jenjang perguruan tinggi hanya untuk orang yang terlahir dengan berkecukupan. Tentu rasa pasrah ini sudah melekat di kalangan masyarakat bawah. Bila pola pikir ini terus terjadi secara turun-temurun, tentu anak dan cucu mereka akan mendapati warisan kemiskinan yang sama apa yang dialami oleh dirinya.
3. Faktor Lingkungan: Lingkungan yang negatif dalam cara berpikir akan mempengaruhi perkembangan seseorang. Ia akan mendapati pengetahuan yang selama ini salah dari orang di sekitarnya. Sebagai contoh, terlahir miskin adalah takdir yang harus diterima. Dan, bagi mereka yang penting bersyukur, tentu ini terkesan pasrah bukan? Mengatasnamakan syukur hanya menutupi kemalasan dirinya untuk bisa berubah.
Seseorang yang melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki circle yang baik, berbeda dengan tidak berkuliah, ia akan terus didalam lingkaran yang sama seperti dirinya. Tentu ini mampu menghambat perkembangan karena tidak didorong oleh faktor internal maupun eksternal.
Sebagai penutup, penulis akan menceritakan pengalaman pribadi. Penulis bukanlah terlahir dari keluarga privilige, keterbatasan nutrisi dan lingkungan pergaulan yang tidak tepat sudah dialami sejak kecil hingga masa remaja. Ini mungkin alasan penulis tidak mendapatkan nilai akademik yang baik. Penulis mengalami perubahan cara berpikir sangat jauh dari teman sebaya, seperti teman lingkungan rumah maupun sekolah yang tidak melanjutkan kependidikan tinggi. Mereka lebih nyaman di zona yang salah dibandingkan keluar ke lingkungan yang lebih baik. Tentu dampaknya ia tidak ada berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Karena faktor dirinya, keluarganya, dan lingkungan yang tidak mendorongnya.
Dengan berkuliah, anda akan mendapatkan atau mencari wanita yang berpendidikan yang setara oleh anda. Bila wanita atau istri anda berpendidikan, tentu cara pengasuhan terhadap anak anda berbeda. Anak anda akan mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang lebih baik. Wanita pun akan mencari pasangan hidup yang se-kaffah oleh dirinya. Maka gizi, pendidikan dan lingkungan tentu berpengaruh sangat besar dalam memutuskan mata rantai kemiskinan yang terjadi secara terus-menerus.