Mohon tunggu...
Fiqih P
Fiqih P Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Semarakkan literasi negeri

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Tanpa Awan

2 Juli 2018   11:29 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:29 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.ranselkecil.com

Di bawah langit itu, langit tanpa awan kita berdiri. Kita merasakan sengatan matahari begitu menusuk ubun-ubun. Hukuman membuat kita berdiri berdua di halaman sekolah.

Saat itulah kita mulai sadar, tentang pertengkaran yang kita lakukan. Tiap hari di kelas selalu saja kita bertengkar. Hanya kau siswi yang kerap membalas jika kuusil.

Aku memang usil. Pertama kali saat aku usil padamu kau membalas. Seterusnya kita berperang usil. Ketika kau melengketkan permen karet di bangkuku. Aku sungguh kesal.

Lalu kubalas dengan tumpahan serbuk kapur yang kutarus di atas pintu.Ketika kau masuk membuka pintu kelas, rambutmu penuh dengan serbuk kapur. Kau seperti nenek tua kala itu.

Tiap hari balasan demi balasan kita lakukan. Hingga kericuhan di kelas saling melempar makanan tempo hari membuat kita berdiri berdua di halaman sekolah.

Panas, namun entah mengapa hatiku sejuk saatku ucapkan maaf padamu. "Aku juga minta maaf," katamu saat itu. Saat kita berdiri di bawah langit tanpa awan.

Lalu guru Bimbingan Konseling mendamaikan kita setelah basah akan keringat. Esok harinya kau tak masuk sekolah. Entah mengapa aku mulai cemas.

Lalu aku kerumahmu. Ibumu menyambutnya dengan segelas teh. Kau keluar dengan wajah pucat. Dilengkapi ada koyo di dua sisi. Kau betul-betul berantakan. Aku membawakanmu buah.

Kusuap dengan garpu buah yang telah kupotong-potong itu. Benar-benar tak ada rasa canggung ku padamu. Aku berfikir saat itu, mungkinkah aku menyukaimu hingga tak pernah henti aku mengusikku.

Kemudian kau masuk sekolah. Kita lebih aneh dari biasanya. Kita tampak malu. Sepertinya kau juga grogi. Namun mulai saat itu, aku yang selalu mengantarkannya pulang kerumah usai sekolah.

***

Kita menuntaskan SMA bersama. Kita berpelukan usai melihat nama kelulusan kita di papan pengumuman. Sungguh aku mengikutinya dan benar-benar belajar untuk masuk perguruan tinggi negeri. Semua agar bisa bersamamu.

Aku berhasil. Kau sudah tentu berhasil, karena memang kau pintar. Di kampus itu kita selalu bersama. Kita sungguh dekat. Aku menyukaimu, tapi kita tidak dalam komitmen cinta.

Kita berdua lulus dari kampus dengan status cume laude. Yah tak heran, jika menapak tilas kebersamaan kita 6 tahun belakangan. Nyatanya kita lulus juga di tempat kerja yang sama.

***

"Bukankah cerita kita menarik?"

Kau menangis, kita berdua kini berada di halaman kantor. Sama seperti dulu saat langit tanpa awan. Kita ada di bawahnya.

"Aku takut kau hanya menganggap ku sahabatmu?"

"Ternyata kita memang selalu sama. Aku pun juga beranggapan seperti itu. Hingga aku tak dapat mengungkapkan perasaan ini,"

"Aku akan resign. Tak mungkin aku di kantor ini, melihatmu telah dimiliki lelaki lain,"

Sri Rampah 2/7/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun