Seketika cuaca tenang, damai bahkan senyap. Awan tak bergerak. Hiruk pikuk tentu tak akan merusak damai ketika itu. Hanya pasir pantai yang dibasahi gulungan ombak.
Tampak jelas, tempat aku berdiri dari kediaman yang langsung bertatapan pada unsur alam yang dijatah lebih dari separuh dunia. Ya, aku selalu menatap lautan dari rumah.
Terdengar kicauan burung begitu dekat. Seakan ingin berkata, namun tak mengerti. Burung-burung kecil hinggap di pohon kates rumahku yang tumbuh tanpa harap tanpa rencana.
Ada apa gerangan makhluk mungil itu kini bertandang di rumahku. Sebelumnya tak pernah. Aku tak memiliki biji-bijian untuk dinikmati burung-burung ketika itu. Tapi mereka tetap saja berkicau pendek.
Terkadang ditengah kicauannya ia seperti menoleh padaku. Kudekati, ia tak pergi. Kicauannya yang semakin menjadi. Burung itu tetap berjumlah dua. Tak ada rasa takut mereka padaku yang notabene adalah makhluk sang khalik yang suka menindas bahkan sesama.
Tapi tak kuusir juga mereka. Aku menatap mereka dengan polos, padahal gempa kuat baru saja terjadi.
Tak berapa lama ku melihat langit. Begitu ramai burung-burung berterbangan mengepak sayap menuju gunung. Ah, bodohnya aku ketika itu. Aku berkemas segera. Menyelamatkan benda-benda penting.
Aku ingat, cerita nenek moyang kami turun temurun. Burung-burung itu adalah pertanda. Penyampai pesan, akan terjadi hal buruk. Nenek moyang kami pernah mengalaminya. Mereka menyebutnya Smong. Akupun selamat, ketika air yang tingginya melebih tiang listrik telah menghitamkan pasir pantai kala itu.
Sei Rampah 16/12/2017
Tulisan dibuat dalam rangka memperingati Tsunami 26 Desember 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H