PASKA pengumuman di berbagai radio, proklamasi masih belum dimengerti di desa itu. Penyiar seperti berbicara pada angin. Hanya beberapa orang yang mendengarkan proklamasi kala itu. Apa itu merdeka, kapan mereka dijajah dan apa itu pemerintahan sama sekali tak ada yang mengerti. Hanya satu dua orang yang mengerti.
Desa itu jauh dari hiruk pikuk. Apalagi namanya sebuah kabar, sangatlah sulit terjangkau. Namun penyiar radio itu lahir disana. Menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya. Walau harus menempuh jarak yang memakan waktu delapan jam dari Kota Medan. Diapun berpamitan usai menyiarkan proklamasi.
“Merdeka, merdeka. Selamat –Ber- kita merdeka,” kata Kepala Stasiun radio tersebut kepada Hotber.
“Ya pak, saya izin pulang mau ceritakan ke keluarga. Merdeka pak,” balas Hotber. Sejak terbentuknya PPKI, Hotber terus menerus menerima telegram tentang kabar-kabar menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia dari Jakarta. Hampir dua Minggu itu malah dia menginap di studio radio itu.
“Apa yang kau harapkan Ber, setelah kemerdekaan,” Tanya Kepala Stasiun lagi.
“Kita bisa membangun negeri kita sendiri. Dengan begitu dapat menerapkan pendidikan dan kesejahteraan yang merata pak. Terutama buat kampong saya,”
“Di kampong saya harus segera menerima kabar ini. Agar tahu kita telah berdaulat,” tutur Hotber.
Sebelum kepulangan Hotber ke kampong halaman. Ada pesta kecil-kecilan di kantor radio menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga malam hari, Hotber mendapat tumpangan untuk menuju kampungnya.
Kala itu angkutan belum massif. Hingga harus menumpang mobil-mobil pengangkut pangan, Itupun ia harus berjalan lagi untuk sampai di kampungnya. Berangkat malam hari, barulah siang hari dia sampai di kampong halamannya.
***
Terik matahri menyengat. Keringat Hotber bercucur sembari menelusuri jalan setapak menuju kampungnya. Melewati persawahan, genangan air, menyeberangi muara berbatuan dan masuk ke sebuah hutan agar sampai ke desanya lebih singkat.