[caption caption="ATC"][/caption]
SEMBILU masih berbekas. Kekerasan verbal dan non verbal menyisa memar dan trauma. Peluk serasa tiada arti jika hanya ketakutan. Tapi aku larut dalam ketidakberdayaan sebuah konstruksi patriarkhis. Hujan mengundang kemunafikan.
Dinginnya menusuk. Seorang lelaki penuh dusta mengatakan cinta dan sayang dalam gelut birahi. Tiga jam sebelumnya ia merupakan setan penista suatu ikatan suci yang terjalin atas cinta. Kini semua berbalut ego.
Pada dingin itu aku ikut larut dalam buaian. Dia menikmati tiap desah nafas begitupun aku. Semakin lama semakin memuncak di gelayut perpaduan. Aku tak berdaya di dingin itu. Kala hujan mengguyur. Ringis kenikmatan tersadap dalam deras air.
Benar-benar lelaki itu menjadikan aku agar ia tak hipotermia. Bergetar tubuhnya, kurasakan kulit-kulit berkedut. Ia berada dalam puncak kepuasan yang teramat mendalam pada hitungan ratusan detik peraduan kami. Aku hanya bisa diam. Mencoba ikhlas pada kekosongan hasil dari harapan birahi.
Celakanya lagi, hujan pun telah usai. Lelaki bajingan itu meninggalkanku tanpa sepatah kata. Gemericik ban sepedamotornya terdengar menjauh. Malam itu juga aku pergi meninggalkan rumah kembali ke orangtuaku.
SEI RAMPAH 20/11/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H