SESUNGGUHNYA aku merasa lelah. Aku merasakan kesia-siaan dalam mengejar cintanya. Cinta yang selalu bertepuk sebelah tangan. Tanpa celah untuk masuk dalam hati menjadi pendamping.
Semakin hari, Sesungguhnya aku semakin merasa enek. Kesombongannya membuatku frustasi. Buat apa aku mengejarnya, sedangkan banyak lagi wanita yang lebih memilih bersamaku.
Sesungguhnya aku lebih lelah jika harus bersamanya. Karena keangkuhan dan keegoisannya. Hari ini aku harus menghapus rasa cinta ini. Rasa yang terus berguling membesar seperti halnya bola salju.
"Bagaimana menurutmu Tris?"
Aku menanyakan pada Sutrisno, usai menggerutu dalam hati.
"Bagaimana apanya Ban?"
"Soal cintaku pada Maya?"
Sutrisno malah menertawakanku. Mengesampingkan pertanyaanku. "Ahhahahahha Banyu-banyu. Hari gini lelaki sepertimu masih saja galau. Banyak perempuan di luar sana. Lebih baik ketimbang Maya,"
"Sudahlah Ban, akhiri saja masa lajangmu itu. Kau harus sadar, usiamu sudah kepala tiga. Apalagi yang kau tunggu," tutur Sutris padaku.
"Yah, namun cintaku padanya telah merasuk, berkembang. Setiap kali kumelihatnya, aku merasakan sebuah kewajiban untuk memilikinya," ucapku membantah.
"Santai saja jawabnya Ban. Kan kamu yang memulai curhat ini. Menurutku ya seperti itu. Dari materi kau telah mapan. Coba kau melihat Arumi yang begitu tertarik denganmu,"