TAK terelakkan, sebuah cubitan membekas memar di paha Mira. Air mata dengan aungan tangisan pun terdengar di sebuah gubuk kecil. Gang yang begitu padat dengan himpitan rumah semakin membuat tangisan jelas terdengar. Robi terjatuh dihadapan Mira karena naik di atas batasan teras rumahnya. Tapi, Mira pun tak menyangka, cubitan sebagai hukuman untuknya yang tak terlibat atas jatuhnya Robi.
Robi yang sebelumnya menangis, kini tinggal isakan menarik-narik ingus yang meleleh dari hidungnya. Sesekali diusapnya dan tangisan Mira menggantikan tangisan Robi, maka sudah memakan waktu hingga 15 menit gubuk itu memperdengar suara tangisan anak kecil.
“Kenapa Mira yang kau cubit,” tanya si ibu pada ayah. Pria kurus itu pun hanya berlalu menggendong Robi tanpa menjawab pertanyaan si ibu.
Ibu memeluk Mira dan dan berusaha membujuk untuk tak lagi bersedih. “Sudah nak jangan nangis lagi, ayo kita ke warung,” ibu membujuk Mira membeli jajanan di warung sebelah rumah. Tangisan Mira sudah berhenti dan melihat-lihat jajanan. Pilihannya jatuh pada makanan kerupuk kemasan, dinikmatinya sembari jalan pulang ke gubuknya. Robi duduk di beca ayahnya yang terparkir di teras sempit, hingga posisi beca terpaksa di serongkan dari pintu masuk teras gubuk itu.
Lebih Enam tahun mereka hidup berumah tangga. Dua anak lahir hasil hubungan tersebut, namun ekonomi tak meningkat. Untuk masuk ke taman kanak-kanak saja Mira tak terkecukup, padahal usianya 5 tahun kini. Si ayah pun kini tak lagi laris dengan beca dayungnya, lantaran sepeda motor yang menjamur dengan sistem kredit yang mampu dijangkau banyak orang kelas bawah. Ibu Mira hanya bisa membantu dengan mencuci pakaian di rumah-rumah.
Jajanan Mira dibaginya pada Robi. Mereka dengan senyum khas anak-anak menikmati krupuk. Seperti tak lagi mengingat kalau mereka baru menangis. Ibu masuk ke rumah, ada cangkir di meja dekat pintu langsung dilemparkannya pada si ayah.
“Jangan kau siksa anakku ya,” dengan emosi lalu pergi ke kamarnya. Cekcok digubuk itu sudahlah kejadian sehari-hari yang tak terelakkan.
Dua kakak beradik tadi yang duduk di depan hanya diam mendengarkan pertengkaran yang sudah biasa itu. Tentang ayah yang sudah menjatuhkan talak pada ibu sudah banyak yang tahu. Dua pasangan itupun telah bertemu Bapak Kepala Lorong, kalau mereka sudah mencapai talak ketiga. Dalam waktu 14 hari sebagaimana disampaikan Kepala Lorong salah satu dari mereka harus minggat dari gubuk itu.
Tak lama, Kepala Lorong -Keplor- ke rumah Mira dan bertemu ayahnya. “Assalamualaikum Pak Warno,” ucapan salam Pak Keplor pada Ayah Mira yang yang tengah duduk di lantai sambil merokok. “Iya pak, Masuk,” balas Warno.
“Gimana Pak Warno, ini sudah 14 hari. Takut warga bertindak sendiri. Secara agama kalian kan sudah tak lagi suami istri,” Pak Keplor menagih janji untuk mereka minggat.
“Ya pak kami belum putuskan siapa yang mingggat, aku atau dia –Istri- yang keluar dari rumah ini,”
“Kaulah yang keluar. Masa kau biarkan aku yang keluar, laki-laki apalah kau ini,” pertengkaran kembali terjadi, Ibu Mira menyahut percakapan Warno dan Pak Keplor. “Sudahlah jangan lagi kalian bertengkar. Kasihan anak-anak. Pun kalian terlalu gegebah untuk putuskan pisah,” kata Pak Keplor menasehati.