Mohon tunggu...
Fiqhan Khoirul Alim
Fiqhan Khoirul Alim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mendunia akhirat

Bukan sosok yang terhebat, tapi menjadi yang istimewa dan satu satunya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dosen Wali, Peran dan Fungsional Mahasiswa

17 Agustus 2024   04:45 Diperbarui: 17 Agustus 2024   04:45 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam dunia akademik mahasiswa, ada satu hubungan menarik antara mahasiswa dengan dosen, yakni adanya wali dosen. Wali dosen adalah seorang dosen yang memiliki fungsi sebagai wali bagi mahasiswa, yakni menjadi orang tua akdemik di kampus. Salah satu fungsi yang paling sering diketahui adalah sebagai seseorang yang menyetuji terkait KRS yang diambil mahasiswa. Dalam hal ini, ada dau macam tipe wali, yakni ada yang tanpa perlu konfirmasi atau tanpa perlu datang untuk meminta persetujuan KRS, sedngkan yang lainnya memerlukan konfirmasi bahkan perlu ketemu secara tatap muka untuk melakukan persetujuan tersebut.

Dalam aspek perlu tidaknya mahasiswa untuk menghadap kepada wali dosen adalah bentuk kebebasan mahasiswa. Sebagaimana yang dikatakan dalam pendidikan kritis nya Paulo Freire, bahwa setiap murid bebas untuk memilih atas apa yang ingin mereka pelajari, dan dunia kampus sebagai symbol kebebasan dalam dunia pendidikan menjadi sebuah percontohan atas pengaplikasian kebebasn tersebut. Namun dalam aspek lain pula, tidak semua mahasiswa mampu dan memiliki pemahaman yang cukup untuk mnentukan kemanakah arah yang terbaik untuk dipilih oleh dirinya. Maka peran wali sebagai pengarah atas mata kuliah apa yang sebaiknya diambil. Hal ini sebagaimana yang dikatakan dalam buku Rich Dad Poor Dad, bahwa tujuan pendidikan dari orang yang kaya adalah bukan sebatas mencari ilmu, namun mencari mentor yang mengarahkan.

Dengan dua paradigma diatas, penulis berpendapat bahwa alangkah bainya mahasiswa perlu untuk menjalin komunikasi dengan wali dosen, namun dalam hal ini juga mahasiswa juga sudah harus memiliki tujuan bagaimana kedepannya kuliahnya. Fenomena yang penulis temukan dalam UIN Malang, terutama dalam Prodi Tadris Matematika, mahasiswa hanya akan datang kepada wali dosen sebatas ketika saat meminta persetujuan KRS semata, sedangkan hal demikian hanyalah bagian awal dalam proses panjang selama satu semester.

Mungkin fenomena yang penulis amati bahwa kecendurangan mahasiswa sekarang merasa lebih takut dan lebih segan kepada dosen, karena beranggapan bahwa dosen adalah manusia yang sangat sakral dan begitu sensitive serta begitu sibuk. Padahal seharusnya mengacu pada teori nya Freire, dalam bukunya yang berjudul "pendidikan Pembebasan", guru dan murid adalah dua posisi yang setara. Sebuah rangkaian proses pembelajaran tidaklah erfokus pada guru semata yang merumuskan arah gerak pengajarn, namun posisi guru sebagai fasilitator dan katalisator yang memicu murid untuk mengeluarkan potensi terbaiknya.

Maka budaya yang banyak diceritakan dalam sejarah terkait kampus pada masa dahulu dengan sekarang menjadi seakan utopis semata. Dulu katanya dosen turut mengakomodir mahasiswa untuk turun kejalan sebagai bentuk peran mahasiswa sebagai Agent of Change, namun sekarang sebatas tanya apakah materi yang disampaikan dosen sudah terbaru atau masih ketinggalan jaman saja tidak berani. Maka menjadi pertanyaan tersendiri bagi penulis, hal apa yang menyebabkan mahasiswa ini menjadi takut dengan dosen?

 Apabila kita mengacu dengan konsep ekonomi, seharusnya mahasiswa sebagai konsumen, dan dosen sebagai produsen. Maka seharusnya produsen mengikuti kehendak konsumen, bahkan salah satu prinsip dari ekonomi ini yakni Konsumen adalah raja. Namun konsep ekonomi ini kuranglah etis apabila diterapkan dalam aspek pendidikan, namun apabila mahasiswa yang semakin merasa tidak berdaya dengan dosen, maka justru seperti konsep monarki yang harus dipaksa tunduk pada kekuasaan.

Mungkin kritik sendiri mengalami penyempitan makna dalam dunia kampus dewasa ini. Makna kritik sendiri adalah menganalisa kebenaran, namun pada dewasa ini berkonotasi terkait hal yang negative. Ketika mahasiswa menyampaikan kritik kepada pihak kampus dianggap hal yang subversive, sehingga mahasiswa yang sering vocal membela hak kebenaran mahasiswa ini tak jarang dianggap sebagai penjahat akademik, karena beranggapan selalu berusaha menggulingkan lembaga. Paradigma akan rasa kepemilikan dan enggan kritik ini apabila telah menjadi budaya di kampus, maka tidak heran dengan bagaimana system pemerintahan negara berjalan sebagaimana seperti sekarang ini yang anti kritik.

Dan mengenai konsep wali dosen, maka dengan meninjau fenomena di atas, paling tidak menjadi pembel mahasiswa, paling tidak dalam aspek akademik. Yakni mulai dari selalu hadir dalam perkuliahan, tanpa harus ijin mendadak dengan dalih ada urusan lain. Pengalaman penulis sendiri pernah ditodong pertanyaan secara langsung oleh seorang dosen menganai prioritas, namun penanya tersebut juga tidak tahu prioritas utamanya sebagai pengajar, justru sibuk dengan mengisi seminar diberbagai Indonesia.

Maka bagi mahasiswa, janganlah terlalu dekat dosen, dan bagi dosen, janganlah lupa akan pioritas mengajarnya. Apabila semuanya menjalankan sesuai dengan prioritas yang seharusnya, maka dunia kampus menjadi suatu hal yang luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun