Seperti biasa tadi pagi saya bangun jam 4.30 dan dilanjutkan sholat subuh….selanjutnya saya tidur lagi..hhmm kebiasaan yang sebetulnya kurang baik. Kemudian jam 7.00 pagi tadi aku kembali terbangun dan terkejut karena hari seolah masih gelap…”Ah..jam dinding itu ngacau” pikirku. Aku coba cek jam di hape yang ternyata juga tepat jam 7 pagi, tapi mengapa hari masih terasa gelap? Setelah aku tengok jendela, terjawablah rasa penasaran itu, “Hujan Abu…!!”.
[caption id="attachment_295509" align="alignnone" width="564" caption="sumber: dok pribadi"]
Erupsi Gunung Kelud di Malang itu sungguh dahsyat, sekalipun berjarak kurang lebih 210 km dari rumahku hujan abu itu betul-betul tebal, bahkan lebih tebal dari Erupsi Merapi yang terjadi tahun 2010 yang lalu. Daun-daun tanaman disekitar rumah hampir semua berubah warna menjadi abu-abu, pun demikian dengan genting rumah dan jalan-jalan di kampung. Saya iseng-iseng coba ukur seberapa tebal abu tersebut menyelimuti jalan setapak di muka rumahku…woow 1 cm lebih. Abu ini jelas lebih tebal dari Erupsi Merapi yang lalu padahal merapi hanya 30 km dari tenpat tinggalku. Artinya? Letusan Gunung Kelud amatlah dahsyat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib saudara-saudata kita yang tinggal di sekitar Gunung Kelud, semoga saudara-saudara kita yang tingggal di Kediri, Blitar dan Malang tidak ada korban jiwa akibat erups i ini. Amien.
[caption id="attachment_295510" align="alignnone" width="605" caption="sumber: dok.pribadi"]
Aku mulai malas beraktifitas mengingat hujan abu yang juga tidak kujung reda, namun SMS dan bunyi telepon itu merubah persepsiku. “ Ayo kita bekerja sebagai relawan” demikian suara Mas Slamet di ujung telepon sana. Mas Slamet adalah Koordinator Relawan di Omah Paseduluran, sebuah organisasi sosial yang peduli terhadap persoalan tanggap bencana. “ Banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan masker sekarang, padahal persediaan di Apotik terbatas” lanjutnya.
“Siap “ jawabku. “ Kita barusaha memperoleh donasi 4500 buah masker untuk dibagikan kepada warga Yogyakarta” tegas Mas Slamet berusaha menyakinkan.
Perjalananku menuju kantor sungguh merupakan perjuangan, jalan acapkali tertutup debu yang beterbangan tersapu mobil yang melintas berlainan arah. Adakalanya saya juga berhenti karena arah jalan betul betul tidak terlihat. Lampu tanda bahaya terus dinyalakan sebagai pengaman di jalan. Sesampai di kantor sudah banyak teman lain berkumpul. Kita dibagi menjadi 2 tim dengan mobil yang berbeda-beda. Satu tim menelusuri keramaian Kota Jogja yang saat itu cenderung sepi dan diteruskan menelusuri di daerah Sleman. Tim lain yang dipimpin mas Slamet menelusuri Bantul Kota , dan menelusuri jalan-jalan pedesaan di Sewon, Jetis, Imogiri, Pandak dan Srandakan.
[caption id="attachment_295512" align="alignnone" width="551" caption="sumber : dok pribadi"]
Pekerjaan ini awalnya sangat membosankan, mata kadang perih terkena debu, rambut jadi kusut, pun demikian dengan pakaian yang tampak kumal dan lusuh terkena debu. Setelah jam 15 kerjaan baru terasa asyiik… hampir semua masyarakat di Bantul keluar rumah bekerja bakti, mereka menyiram halaman, trotoar bahkan jalan-jalan raya yang berdebu tebal.
Mobil kami terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain…kami selalu berhenti jika ada kerumunan orang yang berkerja bakti, kami bagikan masker..mereka mendekat dan tersenyum bahagia ….”jangan berebut dan jangan kuatir saudaraku masker ini masih cukup untuk kita semua” pikirku. Lumayan capek namun senang ikut berbagi .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H