Mohon tunggu...
Fiona Hutagaol
Fiona Hutagaol Mohon Tunggu... lainnya -

lulusan baru sarjana ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Inggris Sebagai Ukuran Gengsi (?)

30 Agustus 2012   04:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13462983921140412624

Oleh: Fiona Hutagaol

"Mommy, mommy, I want this one!” terdengar suara rengekan anak kecil dari balik bahu saya. Kala itu saya sedang berada di suatu supermarket. Saya kira ada anak bule atau campuran yang mungkin sedang berbelanja juga di sini. Namun, ketika saya berbalik saya dapatkan seorang anak berkulit sawo matang, demikian pula ibunya. Tidak ada sedikit pun ciri dari ras kaukasoid yang biasanya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Umur anak itu mungkin sekitar lima tahun.

Pemandangan seperti ini mungkin juga sering Anda yang berlokasi di kawasan megapolitan (Jabodetabek) temui. Tidak ada yang salah memang jika Anda mengajarkan anak bahasa internasional sedari dini. Faktanya, penelitian juga menyebutkan bahwa anak usia balita sangat cepat menyerap sesuatu. Saya sendiri juga pernah mengalaminya, tetapi dalam kasus yang sebaliknya. Saya lahir dan dibesarkan di luar negeri karena saat itu orang tua saya sedang menempuh studi lanjut. Namun, ketika umur empat tahun saya kembali ke Indonesia. Begitu masuk TK, saya mulai belajar dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia karena awalnya saya cukup sulit berkomunikasi dengan teman sebaya . Di rumah pun orang tua bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Akhirnya saya benar-benar fasih berbicara bahasa Indonesia.

Kembali ke persoalan di atas, saya melihat bahwa pengajaran dan penggunaan bahasa Inggris di kalangan keluarga muda bukan semata demi persiapan anak untuk menghadapi globalisasi nantinya. Akan tetapi, lebih kepada semacam rasa gengsi. Orang-orang tua muda berlomba-lomba menggunakan bahasa Inggris supaya dianggap hebat. Bahkan, anak-anak mereka umumnya lebih familiar dengan kosakata bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mulai ditinggalkan. Kita bisa lihat banyak sekali sekolah yang mempromosikan penggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Saya kadang suka jengah dengar cerita ibu-ibu  yang mengagung-agungkan sekolah bertaraf internasional. Padahal taraf internasional itu hanya karena penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Inggris yang digunakan pun belum tentu benar karena diajarkan oleh guru lokal. Kesannya wah atau maju banget seseorang itu kalau berbahasa Inggris sehari-hari. Saya malah melihat ini sebagai bentuk inferioritas kita dalam menggunakan bahasa sendiri.

Fenomena berbahasa Inggris tidak hanya ditemui di keluarga muda, tetapi juga di antara pesohor negeri ini, baik pejabat pemerintahan maupun entertainer. Lihat saja iklan atau spanduk kegiatan yang biasanya menyelipkan bahasa Inggris, seperti gambar berikut ini.

[caption id="attachment_209483" align="aligncenter" width="448" caption="spanduk kampanye tertib lalu lintas (Sumber: http://gravity.web.id/2008/07/06/inggris-di-spanduk-aparat/)"][/caption]

Padahal sasaran dari publikasi tersebut adalah masyarakat Indonesia yang notabene berbahasa Indonesia. Pada spanduk tersebut tertulis " Feel Save on The Way". Bukankah yang tepat adalah Feel Safe? Lebih baik spanduk tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang diketahui oleh seluruh masyarakat negara ini, bukan dengan bahasa Inggris yang nyatanya salah pula kosakatanya.

Wawancara di media massa, bahkan pidato resmi pemerintah seringkali menyelipkan kalimat dalam bahasa Inggris. Di forum publik jika Anda ingin berbicara bahasa Inggris atau Indonesia, lakukanlah dengan benar, yaitu secara keseluruhan, tidak sepotong-potong, kecuali Anda sedang belajar dengan teman Anda. Parahnya lagi seringkali para pesohor ini nyatanya berbahasa Inggris tidak tepat. Waktu itu saya pernah menonton salah satu acara properti –kalau ga salah, saya agak lupa—dan pembawa acaranya berkata, “View-viewnya bagus sekali ya di sini.” Janggalkah menurut Anda menggunakan kata dari bahasa Inggris diulang seperti ini?”

Gejala penggunaan bahasa Inggris di forum umum sangat kontradiksi dengan upaya pelestarian budaya Indonesia. Bahasa merupakan bagian budaya juga (Koentjaraningrat, 1985), tidak hanya kain atau alat kesenian tradisional. Namun, saat ini bahasa Indonesia seperti bahasa daerah kita lainnya, mulai terpinggirkan. Bagaimana tidak jika banyak orang di megapolitan menganggap bahasa Inggris lebih elite dibandingkan bahasa Indonesia, jika pemerintah sendiri sebagai panutan justru lazim menggunakan bahasa campur-campur.

Tidak ada kaitan antara kemajuan suatu bangsa dengan tingkat kemahiran penduduknya berbahasa Inggris. Kita bisa lihat negara Jepang dan Prancis yang termasuk negara maju di dunia. Penduduk kedua negara tersebut bangga dengan penggunaan bahasa ibunya sebagai bahasa pengantar di negara tersebut. Acara TV asing yang disiarkan di negara itu pun bahkan disulihsuarakan ke dalam bahasa ibu (cek http://tri.astraatmadja.org/2010/08/25/orang-perancis-tidak-bisamau-berbahasa-inggris/ ). Di sisi lain kita lihat Ethiopia, negara dengan tingkat malnutrisi tinggi, menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utamanya. demikian pula Somalia, Ghana, dan negara Afrika lainnya. Jadi, bisa kita lihat kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa tidak karena penggunaan bahasa Inggris tetapi dari buah kerja keras penduduknya.

Melalui artikel ini, saya tidak mengatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris perlu dihindari. Bahasa inggris memang penting kita kuasai sebagai bahasa internasional di era globalisasi ini. namun, hendaknya kita menyadari bahwa kita juga memiliki bahasa sendiri yang patut kita bangga dan lestarikan. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu kita yang terdiri dari berbagai macam suku. Pelestarian dan penggunaan bahasa Indonesia menunjukkan kita bangsa berbudaya. Oleh karena itu, sepatutnya kita berbahasa sesuai dengan lingkungan. Jika kita berada dalam lingkungan sendiri, ya lebih baik kita menggunakan bahasa Indonesia, apalagi jika di forum publik. Beda halnya apabila kita memang sedang berada dalam suatu lingkungan/situasi di mana terdapat lawan bicara dari negara luar. Mari kita lestarikan bahasa Indonesia!

Daftar Pustaka:

Koentjaranigrat. 1985. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun