Mohon tunggu...
Finny Rizkiah Putri
Finny Rizkiah Putri Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bias-Bias Mimpi Tya

22 November 2014   19:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:07 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ah, ternyata tak selamanya pelangi itu terlihat indah, ada saatnya pelangi itu terlihat kusam dan memudar” tanpa sadar kalimat itu meloncat keluar dari mulutku, mungkin karena aku terlalu muak dengan keadaanku saat itu. Sebenarnya pelangi sore itu cantik dan mempesona jika yang melihatnya bukan aku. Ya, begitulah gambaran suasana hatiku sore itu, setelah menerima telepon dari Umakku dikampung. Aku memang tidak tinggal seatap lagi dengan Umak karena aku sekarang sedang mengejar mimpi di kota yang jaraknya cukup jauh dari kampung halamanku.

“Nak, maafkan Umak, sepertinya kau cukup berada dikota itu sampai bulan depan, Umak sudah tak punya uang lagi untuk membiayai kuliahmu, kau tau kan bagaimana kondisi keuangan keluarga kita sekarang?” Kata-kata Umak masih terus menari dalam ingatanku dan membuat bulir bening jatuh satu persatu menyusuri setiap lekuk rongga wajahku yang mulai sayu. Tak terasa kelas yang tadi nya sepi, mulai berisik karena teman-temanku satu per satu sudah memasuki ruangan dan mengisi kursi-kursi yang tadinya kosong. Segera kuambil ujung jilbabku untuk menyeka air mata yang mulai deras membanjiri pipiku.

“Loh ty tumben duduk di belakang, biasanya kan kamu paling anti duduk disini, biasanya kamu kan duduk disana” sapa temanku sambil menunjuk kursi paling depan yang memang masih kosong. Pengen coba suasana baru aja, jawabku singkat yang disambut oh-an dari temanku itu. Sebenarnya jawaban itu hanya sekedar kamuflase dari apa yang kurasakan pagi itu. Untuk pertama kalinya aku tidak bersemangat menginjakkan kakiku di kampus yang dulu aku cintai. Dan  sekarang aku mulai membenci tempat yang sudah menampungku selama hampir satu semester ini.

Disaat teman-temanku mengeluh akan membosankannya dunia kampus, sekali-kali aku juga ingin mengeluh akan kekejamannya yang telah mematikan impianku secara mendadak. Aku tidak tau harus menyalahkan siapa atas nasib yang menimpaku, entah itu Umakku atau kampus ini. Memberikan kesempatan pada orang-orang yang sebenarnya tidak menginginkannya sama sekali, dan mencampakkan orang yang benar-benar ingin memanfaatkannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Ah, ini semua membuatku gila. Membuat aku kehilangan arah, seperti kapal yang berlayar di lautan luas tanpa nahkoda, membiarkan angin mengambil alih semua kendalinya.

Tanpa sadar sepasang mata yang tadi memperhatikanku dari jauh, mulai mendekat dan menyapaku yang sedang duduk di bangku taman kampus dengan lembut, “Kamu kenapa Tya? Dari tadi Ais perhatikan Tya sepertinya sedang ada masalah, ada yang bisa Ais bantu?”. Aku mendongakkan wajahku melihat pemilik suara penuh kehangatan itu. Ternyata dugaanku benar, dia Aisyah teman sekelasku, anak rektor kampusku, ya setidaknya sampai akhir semester ini.

“Pergilah! Aku tak apa, tak ada yang bisa kau bantu disini Ais, lagian sebentar lagi kau ada mata kuliah kan?”, jawabku ringkas. Bukannya pergi, Aisyah malah duduk manis disebelahku. Entah apa yang sedang dipikirkan anak ini. “Tya, Ais lihat tya sedih, maukah tya sedikit berbagi kesedihan itu dengan Ais? Ucapnya lagi. Aku hanya diam, berharap dia pergi setelah reaksi yang kuberikan untuk pertanyaannya yang memang tak ingin kujawab walau sepatah pun.

“Kau ini kenapa Ais? Tidak mengertikah kau dengan ucapanku tadi yang menyuruhmu pergi?”, bentakku kesal karena dia tak bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Sekarang dia yang diam seolah ucapanku tadi terbang begitu saja bersama angin tanpa melewati lubang telinganya itu. Oh, Tuhan apalagi ini, belum puaskah kau membuatku putus asa, sekarang kau juga membuatku kesal dengan kehadiran Aisyah.

Aku pun berdiri dan hendak pergi dari tempat itu, namun tangan Aisyah menahan lenganku, “Tya, akan lebih baik jika tya mau berbagi dengan Ais! Masalah itu berat jika dipikul sendiri tya” ucapnya dengan senyuman yang menghiasi wajah ayu itu. Ku lepaskan tangan Aisyah dari lenganku, “Ais kau tak akan pernah mengerti perasaan orang yang sebentar lagi akan kehilangan mimpinya, kau tak tahu rasanya kehilangan sesuatu yang sangat engkau dambakan, dan kau juga tak tahu bagaimana rasanya membenci orang yang kau sayang Ais, aku akan berhenti kuliah karena Umakku tidak sanggup lagi membiayai pendidikanku, puas kau sekarang Aisyah?”, air mata kembali membanjiri pipiku yang mulai sembab. Aku merasakan seluruh tubuhku bergetar hebat, dan rasanya kakiku sudah tak sanggup lagi menahan berat tubuhku, dengan segenap tenaga yang masih ada aku berlari meniggalkan Ais yang masih terdiam, mungkin aku terlalu keras padanya.

Bukannya meminta maaf, aku malah semakin menghindari Aisyah. Itu kulakukan bukan karena aku membencinya, tapi saat melihat Ais, aku ingat kejadian di taman kampus, dan itu pun mengingatkanku akan detik-detik terakhirku di kampus ini. Dan hal itu membuatku kembali merasakan sakit yang sudah kucoba habisi. Aku ingin menikmati detik terakhirku dikampus tanpa rasa sakit, itu alasanku menjauhi Ais.

Seminggu sudah aku diamkan Ais. Tanpa aku sadari sudah tiga hari pula Ais tak terlihat olehku. Kemana dia? Ah, masa bodoh palingan dia sedang ke luar negeri membeli buku-buku best seller atau barang-barang elektronik canggih untuk menunjang prestasi akademiknya yang tak pernah aku dapatkan. Ternyata prediksiku salah besar, keesokan harinya ketika memasuki lingkungan kampus aku melihat spanduk besar bertuliskan “Turut berduka cita atas meninggalnya putri tunggal Prof. Dr. Adnan Rizki M. Hum, Aisyah Syakinnah Adnan” tangan dan kakiku terasa lemas, aku tertunduk  dan air mataku tak terbendung lagi. Aisyah kenapa kau pergi disaat aku bersikap tak baik padamu, kenapa kau begitu tega manambah bebanku Ais, batinku berucap.

Seminggu setelah kepergian Ais aku dipanggil ke ruang rektor, hatiku berdebar-debar, dag...dig...dug, mungkinkah Ais telah menceritakan sikapku yang tak baik padanya kemarin, kepada ayahnya yang rektorku itu? Ah, jika iya paling aku hanya di DO saja, dan itu pun tak apa bagiku karena aku jga akan berhenti. Ternyata benar setibanya aku disana, Ayah Ais menyerahkan sepucuk surat padaku, pastilah itu surat pengeluaranku. Aku mengambil surat itu dan membacanya, betapa kagetnya aku itu bukan lah surat pengeluaranku, melainkan surat yang ditulis Ais untukku, isinya seperti ini:

Assalamualaikum sahabat Ais, mungkin saat Tya membaca ini Ais sudah lebih dulu kehilangan mimpi Ais, Tya. Waktu di taman Tya bilang Ais tidak akan pernah mengerti perasaan orang yang sebentar lagi akan kehilangan mimpinya, Ais tidak tahu rasanya kehilangan sesuatu yang sangat Ais dambakan, dan Ais juga tidak tahu bagaimana rasanya membenci orang yang Ais sayang. Tya salah, Ais lebih dulu merasakannya Tya. Ais terpaksa harus kehilangan mimpi-mimpi Ais karena kanker otak yang menyerang Ais, Ais kehilangan tya. Dan Ais juga merasakan sakitnya membenci orang yang kita sayang, Bunda Ais meninggalkan Ais ketika Ais masih kecil Tya, Bunda Ais tidak mau repot-repot mengurus anak yang nantinya akan mati juga. Tapi ada satu sisi penting yang Tya lupakan,  Tya ingat semua yang ada di dunia ini memiliki antonim? Pasti ada sisi baik disetiap cobaan itu, buktinya Ais diberikan ayah yang sangat baik, yang mencintai Ais apa adanya dan selalu mendukung serta berusaha memberikan yang terbaik untuk Ais. Jadi, Tya tidak boleh sedih lagi ya. Ais yakin Tya jauh lebih kuat dari Ais. Oh, ya Tya maafkan atas kelancangan Ais kemaren ya. Tya maukan mewujudkan mimpi Ais? Tya tetap selesaikan studi Tya di kampus kita yaa, Tya ga usah khawatir lagi soal biaya, Ais sudah bilang ayah untuk membiayai studi Tya, karena mimpi Ais ada dalam mimpi Tya, ayah ais sudah menyetujuinya tya, jadi tya ga bisa nolak lagi. Udah dulu ya Tya, Ais lelah, Ais mau istirahat. Selamat berjuang Tya.

Aisyah Syakinnah Adnan

Air mataku menetes membasahi surat yang ditulis Ais. Iya Ais Tya mau mewujudkan mimpi Ais, Tya akan lebih kuat lagi, Tya tidak akan kalah lagi oleh keadaan Ais, Tya janji, ucapku lirih. Kini pelangi kembali terlihat indah olehku, karena setiap melihat pelangi di dalamnya selalu ada wajah sahabatku Ais yang selalu tersenyum memberi kekuatan untukku dan mimpi kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun