Mohon tunggu...
Finka Hendratantular
Finka Hendratantular Mohon Tunggu... Human Resources - Talent and Organization Consultant

Talent and Organization Consultant. MSc in Human Resource Management (CIPD), The London School of Economics and Political Science. Website: www.finkaprojects.com.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Naik KRL: Penuh Perjuangan Namun Layak Diperjuangkan

11 Desember 2013   14:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Anggaplah ini sebagai curahan hati. Saya bercerita dari sudut seorang pengguna KRL yang telah rutin menggunakannya selama hampir 6 bulan belakangan ini. Yang nota bene berarti setelah terjadinya perubahan tarif KRL dari tarif lama menjadi tarif progresif. Dahulu, untuk tujuan Serpong- Tanah Abang dan sebaliknya harus mengeluarkan kocek Rp 8.000,- untuk satu kali perjalanan, namun setelah kebijakan diganti menjadi tarif progresif, tarif untuk rute yang sama turun drastis menjadi Rp 2.500,- saja. Sebagai fresh graduate yang baru saja mulai bekerja, hal ini tentu membuat saya gembira dan puas. Akhirnya di jaman sekarang ini masih ada juga yang namanya turun harga, biasanya yang ada pasti kenaikan harga.

Kegembiraan ini ternyata bersyarat. Gembira kalau naik kereta yang kebetulan agak lowong yang artinya setelah jam pergi dan pulang kantor selesai. Diatas Pk 20.00. Diluar itu, semua penuh perjuangan. Menggunakan kereta pagi yang berasal dari Maja atau Parung Panjang membuat 3 atau 4 hari saya dalam 1 minggu hari kerja menjadi amat berat. Dari 06.10 – 7.20 semuanya pasti penuh. Dari stasiun Rawa Buntu saat saya naik, mungkin masih bisa berdiri dan mendapatkan gantungan pegangan, namun setelah 1 stasiun berikutnya, untuk bisa bediri dengan kedua kaki saja sudah bersyukur. Seringnya berdiri tanpa pegangan, berdiri dengan satu kaki, atau bahkan berdiri dengan kemiringan badan 45 derajat sampai kepala bisa menyentuh kaca jendela kereta dan terdesak oleh berpuluh-puluh kilogram beban diatasnya (ini tidak dilebih-lebihkan). Selama 30 menit atau kurang waktu terasa sangat lama. Setelah sampai tujuan akhir, setelah semua orang berhamburan keluar, sering saya terdiam sejenak, karena badan (khususnya kaki) kaku dan sakit untuk digerakkan.

Gembira berikutnya kalau KRL semuanya tepat waktu. Karena sekarang seringnya tidak tepat waktu untuk KRL yang tiba di Tanah Abang untuk menuju Serpong/Parung Panjang. Kalau ada 1 saja KRL terlambat, maka dampaknya akan kemana-mana. Dua peron penuh seketika seperti suasana ramainya demo buruh. Lalu begitu KRLnya datang, semua orang berebut untuk masuk ke KRL, tidak mempedulikan siapa yang kena sikut. Orang yang ingin keluar dari KRL juga tak kalah brutalnya dengan yang berebut masuk. Sekarang banyak yang keluar KRL malah sengaja bertindak kasar pada yang menunggu KRL karena takut ‘keduluan’ dikasari.

Lalu alangkah gembiranya kalau perjalanan KRL yang pada umumnya ‘selalu ramai’ itu berjalan lancar tanpa hambatan sedkitpun. Karena saat hujan deras kemarin, sempat KRL diberhentikan di 2 stasiun yaitu di Palmerah dan Pondok Ranji. Luar biasa lamanya dikarenakan adanya gangguan sinyal di stasiun Parung Panjang. Hampir semua orang yang tidak tahan berteriak-teriak menyerukan ketidakpuasan mereka pada PT. KAI. Pemandangan ini sering saya jumpai seperti yaitu saat kereta terlambat, kereta ‘ditransitkan’, kereta berjalan terlalu cepat/ mengerem mendadak, dan saat kereta penuh sesak. Namun, sepertinya, pihak kereta pun sudah mempertimbangkan mengenai pemberhentian di 2 stasiun ini yang nota bene stasiun yang paling memungkinkan untuk ‘mengistirahatkan’ KRL. Karena di 2 stasiun ini adalah kondisi disaat penumpang banyak yang keluar atau blom penuh sesak (Orang Palmerah belum masuk, dan orang Pondok Ranji sudah turun). Jadi, sebetulnya upaya dari PT. KAI sudah semaksimal mungkin.

Pernah saya memiliki kesempatan emas untuk mengutarakan kritik secara langsung terhadap PT. KAI pada orang yang paling bertanggung jawab, yaitu Pak Dirut, Ignasius Jonan. Dalam sebuah forum pemimpin muda akhir bulan Juli lalu, saya mengeluarkan pendapat mengenai tidak manusiawinya kondisi KRL saat ini (terutama saat peak time). Sepertinya tidak ada upaya untuk membatasi jumlah penumpang agar penumpang bisa nyaman, minimal bisa berdiri dengan masing-masing mendapatkan pegangan. Namun beliau menjawab, “Ya begitu kalau mau murah. Semuanya mesti rela berdesakan, karena semua orang jadi bisa naik kereta”. Begitu kira-kira tanggapan beliau. Awalnya saya tidak puas dengan jawaban Pak Dirut. Tapi belakangan ini saya menyadari arti hal itu.

Tepatnya pasca kecelakaan KRL dan truk bensin di daerah Bintaro kemarin. Tragedi itu menyadarkan saya akan dua hal. Dua hari pasca kecelakaan, saya naik kendaraan lain bukan KRL. Dan merenungkan hal-hal ini:

Yang pertama, tranportasi paling tepat untuk orang komuter adalah kereta (KRL). Mengapa? Karena bebas macet, cepat, murah, pasti selalu ada (tidak peduli tanggal merah/ hari libur). Coba direnungkan. Rata-rata untuk jarak terjauh rute saya, hanya dihabiskan paling lama 45 menit. Padahal kalau menggunakan jalur darat, dengan bus bebas hambatan saja bisa 2 jam, mobil pribadi bisa 1,5 jam- 2 jam juga, angkutan umum bisa lebih dari 2 jam – untuk satu kali perjalanan baik pulang ataupun pergi. Tidak ada macet bila naik KRL. Yang ada hanya menunggu paling lama 15 menit apabila KRL anda mengalah dengan rute kereta lain yang harus lebih dahulu lewat di stasiun tertentu (ini pun untuk menghindari terjadinya kecelakaan – demi keamanan bersama). Kemudian, murah. Sangat murah. Untuk jarak sepanjang ini, hanya menghabiskan uang Rp 2500,-. Tidak lebih dari itu. Tidak ada yang bisa menandingi murahnya tarif KRL saat ini. Lalu, KRL juga selalu ada untuk mengantarkan kita ke tempat tujuan. Untuk rute Serpong, bisa sampai pk 23.30 setiap harinya. Kita yang memiliki kebiasaan lembur tidak perlu khawatir mengenai tranportasi untuk pulang.

Kedua, banyak sekali nilai sosial yang bisa menjadi pelajaran hidup untuk kita. Maksudnya, fenomena KRL adalah salah satu wujud nyata dimana tidak ada lagi batasan antara kelas menengah dan kelas bawah. Orang kantoran atau ibu-ibu tua yang berjualan dengan bakul diatas kepala. Di KRL semua sama saja, membayar harga sama, berdesakan, dll. Banyak hal yang dapat kita pelajari. Kultur sebagian besar masyarakat Indonesia golongan menegah kebawah (khususnya yang komuter), cara mereka berbicara, bercanda, mengutarakan kekesalan, emosi, dll. Disamping itu kita juga masih banyak menemukan sifat solidaritas yang mengakar. Kepedulian untuk memprioritaskan Ibu hamil (walaupun sudah sangat sempit), memberi tempat duduk untuk orang tua, membantu menaruh tas ditempat yang agak jauh, saling mengobrol walau tidak kenal dikala menunggu kereta diberangkatkan kembali, dll. Teringat oleh saya ucapan pak Jonan kala itu. Biar ‘semua orang’ bisa naik kereta (yang sama). KRL itu nyaman dan ber AC. Dulunya yang kelas bawah hanya dapat menikmati kereta ekonomi, sekarang sudah tidak. Ada asimilasi disini. Pembauran yang sehari-hari kita umpat/ kesali, tenyata sarat akan nilai. Bila kita menaiki kendaraan lain yang lebih nyaman, semua orang duduk satu persatu, tidak saling menyapa, biasanya langsung pasang headset atau tidur. Berbeda jauh bila di kereta, banyak pengalaman yang kita dapat.

Demi kemajuan, semoga harga yang murah tetap dipertahankan, namun harap segera dieksekusi dengan tepat solusi untuk perbaikannya. Seperti pengadaan kereta tambahan, jadwal yang diperbanyak, dan pemeliharaan armada saat kereta tidak beroperasi. Sedih bila melihat kereta terus menerus bolak-balik tanpa ada pengecekan secara menyeluruh. Menurut saya apabila eksekusi berjalan lancar, akan ada reward lebih untuk PT. KAI di mata masyarakat.

Tulisan ini juga didedikasikan untuk seluruh korban jiwa dan keluarga korban yang ditinggalkan. Semoga arwah diberi ketenangan dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin.

Sukses untuk Pak Jonan dan team!

Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun