Mohon tunggu...
Perempuan Sasak
Perempuan Sasak Mohon Tunggu... Guru - Perempuan Sasak

Perempuan Sasak, Lombok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karena Ibuku Bukan Bintang Film India

29 Agustus 2018   13:49 Diperbarui: 29 Agustus 2018   13:51 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menyebut kehidupanku diasuh oleh rasa iba belas kasih. Nenekku lah orangnya, uluran tangannya yang renta membuat Lara kecil tumbuh menjadi aku yang sekarang. Meski hidup selalu menghadiahiku lara tak berkesudahan. Terlahir sebagai anak dengan kedua orang tua yang berpisah, bukanlah keinginan semua anak di dunia, begitu pun denganku. 

Ibuku mengatakan itu adalah nasib yang tak boleh dilawan, sementara Ayahku mungkin akan berkata kehidupan yang baru membuat hidupnya jauh lebih bahagia dan tenteram, bebas dari segala tuntutan juga beban. Ibu mana yang tak ingin anaknya bahagia, Ibu mana yang inginkan rumah tangga porak poranda! kurasa tak ada. Seperti kebanyakan Ibu, Ibuku pun menginginkan bahagia. Terlebih lagi ada aku anak mereka. Tapi ketika hati seorang perempuan hancur, hilang juga warasnya.

Ibuku meninggalkan rumah sore itu, kulihat matanya sembab. Pemandangan yang tak aneh bagiku. Aku sering melihatnya menangis jika Ayah tak di rumah hingga bermingggu-minggu dan seperti tak terjadi apa-apa ketika Ayah pulang. Ibuku begitu sangat lihai menyembunyikan kesedihan, ia nampak tegar tapi hatinya lembek seperti kerupuk diguyur air. 

Sore itu tak seperti biasa, Ibu menangis sambil mengemas bajunya. Sementara aku diam mematung melihat pertunjukan orang dewasa. Aku sama sekali tak mengerti bagian mana dari sikap Ayah yang patut kusebut sebagai sebab kesedihan Ibu. Karena setiap kali pulang, Ayah selalu akan berkata "Baru pulang kerja ada proyek, maaf ya sayang," lalu ibu memasang senyum penuh bahagia. Seperti itukah orang dewasa menyembunyikan luka dan dusta?.

Aku tak mengerti kenapa orang dewasa begitu terburu-buru dimabuk cinta, lalu buru-buru juga ia mengakhirinya. Lupa alasan kenapa mereka hidup bersama. Ibuku ternyata tidak setegar bintang film India, padahal  jika lebih sabar kuyakin tak akan pernah terjadi apa-apa. Bukankah pelajaran dari film India, yang selalu mendapatkan perlakuan tidak baik akan menjadi pemenang di akhir cerita. 

Ah... Ibu! jika benar begitu, seandainya ia lebih bersabar. Tak sadarkah ada seoarang anak yang menanggung semua akibatnya?. Aku misalnya, semenjak Ibu memutuskan pergi sore itu, ia tak pernah kembali lagi. Bahkan mungkin ia juga sudah lupa dengan mukaku ini. Tak ingat juga ia bagaimana susah payahnya mengandung hingga melahirkanku. Hingga aku begitu tak berarti apa-apa baginya. Bahkan anak ayam kurasa lebih beruntung dari pada aku.

Nenekku lah yang membesarkanku dengan iba belas kasih, saat tangannya yang renta begitu gemetar bahkan untuk memasukkan nasi ke dalam mulut sendiri.

Aku kehilangan seorang Ibu, disaat perempuan lain di luar sana menanti-nanti kehadiran seoarang anak dengan cemas dari rahim sendiri. Sementara Ayah pergi dengan proyeknya dan tak pernah kembali lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun