Aku memandangi sosok di depan cermin, hal yang biasa aku lakukan ketika akan mengaplikasikan seabrek pernak-pernik pada wajahku. kulihat mata yang dulunya indah bersinar kini sudah layu tergerus usia, gari-garis halus begitu pari purna di sekitar muka. Kerut pada garis senyumku, pada keningku, pada area di sekitar mataku.Â
Semuanya nampak begitu nyata, anti aging bahkan menyerah untuk membuatnya kembali seperti saat usiaku masih belia. "Usiaku kini sudah tak muda lagi," bisikku pada diri sendiri. Aku menatap kembali wajahku pada cermin. "Sebentar sekali rasanya," aku terus menggerutu, sembari tanganku tak henti-hentinya mengusap bagian-bagian dari mukaku yang membuatku dulu merasa sangat percaya diri.
Anak-anak sudah besar dan menikah. Tak terasa waktu begitu sangat cepat bergerak, bahkan semenit saja aku tidak bisa menawarnya untuk tidak berdetak. Ketika bercermin aku selalu hawatir tentang mukaku yang tak nampak cantik lagi, sampai lupa bekal apa yang akan kubawa untuk kembali menghadap Tuhan.Â
Merasa selalu nampak muda, merasa waktu selalu panjang. Akan ada hari berikutnya dan berikutnya lagi. Alasan yang membuatku selalu kembali gagal untuk memperbaiki diri. "Sudah baikkah aku menjadi ibu, sudah baikkah aku menjadi seorang istri?" Aku bertanya pada diri sendiri. Di depan cermin ini, aku merasa selalu ditelanjangi oleh waktu.
Kerut di wajahku tak mungkin lagi surut, begitu pun dengan waktu yang terus berpacu memburuku. Aku akan kembali pulang, kembali menghadap Tuhan.
Tuhan tidak akan melihat semanis apa senyumku, semancung apa hidungku, seglow apa mukaku. Tuhan hanya melihat amal baik dan burukku selama hidup menjadi manusia di dunia. Mataku apakah aku gunakan untuk melihat hal-hal baik? bibirku apakah aku gunakan untuk berbicara yang baik-baik pula? aku selalu abai dari ingatan semacam itu.
Yang aku lakukan di depan cermin hanya melihat dan mengamati mukaku dari sudut cantik atau tidak. Mematut diri hanya agar terlihat indah dari luar. Sudah paskah ketebalan bedak yang aku pakai? Sudah lentikkah bulu mataku? apa bibirku sudah merah? dan pipiku yang tembem ini, ah ... aku selalu memaksanya agar nampak tirus. Kupakai produk-produk dengan harga selangit agar sesuai dengan kehendak hati. Dan lihat sekarang, waktu tak bisa berbohong dan menyembunyikan apa-apa. Aku sudah tak lagi muda.
Lucunya lagi, kepalaku. Aku selalu melihatnya dari sisi kotor karena ketombe. Disaat yang sama pikiran-pikiranku tak lebih sekarung sampah. Otakku hanya kugunakan untuk menilai orang lain tanpa pernah mengenal diri sendiri.Â
Pikiranku berkelana jauh menyambangi mimpi-mimpi yang terus berdengung sebelum mataku terpejam di malam hari. Betapa kacaunya hidupku sebagai seorang hamba. Aku sadar dengan hal itu, tapi apalah daya hatiku ini sangat kecil. Kesalahan terus kubuat dengan sadar. Aku membuat orang lain merasa sakit atas lakuku yang kuanggap baik. "Itu hakku, aku juga berhak bahagia," kataku mebela diri.
Dan di depan cermin ini, aku begitu merasa muak untuk memandang diri sendiri. Ada sesal, kesal, dan kecewa. Ada banyak orang yang mendoakanku selalu berumur panjang saat ulang tahunku menginjak usia lima puluh lima tahun hari ini. Kuberi tahu kau! tidak setiap orang memiliki keinginan berumur panjang. Umur yang panjang hisabnya tentu lebih lama. Jika ingin memberi doa, doakan aku agar hatiku tidak melulu mendahului akalku tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H