“Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain terbuka; tetapi, sering kita menatap begitu lama pada pintu yang tertutup sehingga kita tidak melihat pintu yang telah terbuka bagi kita.”
-Hellen Keller (Yuliani, 2009)
Ya! Kutipan diatas pasti sudah tidak asing lagi bagi anda yang mengagumi sosok Hellen Keller. Seorang yang terlahir dalam keadaan fisik tidak sempurna. Tidak mampu mendengar, melihat, apalagi berbicara. Namun, kesungguhan, kerja keras dan kerendahan hati rupanya dibayar oleh prestasi Hellen yang luar biasa. Tuhan berkata lain. Bahkan, seorang tokoh Winston Curchill menyebutnya sebagai ‘perempuan paling hebat di abad ke-20’ (Yuliani, 2009:h.10). Keberhasilan Keller dibidang akademis dan sosial menunjukan bahwa keterbatasan diri seseorang bukanlah jalan menuju kegelapan, tetapi akses yang potensial menuju pencapaian yang terang benderang.
Kutipan tersebut semoga bisa menjadi pembuka bagi anda yang membaca tulisan ini, betapa seorang perempuan yang penuh dengan keterbatasan saja mampu melakukan hal luar biasa. Saya yakin, Indonesia pasti memiliki jauh lebih banyak Hellen-Hellen lainnya, bahkan mungkin lebih dari yang kita bayangkan. Sebelum masuk keranah tulisan saya seputar caleg perempuan, saya ingin tegaskan bahwa kita selaku perempuan yang terlahir dengan fisik dan psikis sempurna (seharusnya) bisa berkontribusi lebih bagi bangsa. Saya harap, tulisan saya mampu menjadi inspirator bagi khalayak yang membaca, khususnya perempuan Indonesia.
Terkait dengan peraturan yang diselenggarakan @perempuancaleg dalam lomba penulisan blog, maka harus saya akui bahwa tulisan ini sedikit banyak masih lekat dengan identitas saya sebagai mahasiswa, penstudi, dan tentunya perempuan sehingga sisi objektivitas sebagai penulis sangat minim disini. Namun, saya akan berusaha memposisikan diri sebagai seorang yang bebas nilai bahwa saya berusaha melihat diskursus perempuan menjelang pemilu adalah fenomena yang menarik untuk dibahas dan direnungkan bersama.
Pemilu 2014 memang tinggal sejengkal lagi. Dan bila dianalisis lebih dalam, terdapat diskursus yang seringkali kurang diangkat ke ranah publik, yaitu mengenai partisipasi politik perempuan. Untuk menjawab peraturan topik tulisan ini, yang mengambil pertanyaan ‘kenapa harus caleg perempuan?’ jawabannya simpel sekali. ‘Kenapa tidak?’. Cukup hanya dengan respon kalimat itu, saya pikir semuanya akan terjawab. Maksud saya, tidak perlu banyak beretorika bahwa caleg perempuan itu a,b,c,d dan sebagainya. Karena sedikit banyak akan bertentangan dengan cita-cita dan perjuangan kaum feminis yang selama ini menyuarakan kesetaraan dan penghapusan akan bias gender.
Dengan demikian, mohon maaf. Menurut hemat saya, pertanyaan seputar ‘kenapa harus caleg perempuan’ yang ditetapkan dalam lomba ini agaknya sudah tidak perlu kita diskusikan lebih jauh lagi, karena implikasinya jelas, bahwa tidak akan ada kontribusi lebih pada diskursus akademis terutama terkait dengan perjuangan kaum feminisme yang selama ini selalu digulirkan. Mengapa demikian? Akan saya uraikan.
Pertama, kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa masuknya caleg perempuan kedalam perlemen (ranah publik) merupakan ide dari kaum feminis liberal. Feminis liberal meyakini bahwa salah satu penyebab mengapa perempuan mengalami subordinasi adalah karena kurangnya partisipasi perempuan di ranah publik (parlemen, pembuat kebijakan, dan aspek strategis lainnya). Dengan demikian, cara yang bisa membuat perempuan dan laki-laki menjadi setara adalah dengan mengintegrasikan perempuan kedalam tatanan politik, salah satunya adalah melalui lembaga legislatif (Ani dan Pande, 2013:h.12).
Secara umum, cita-cita kaum feminis adalah sama. Berusaha untuk memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan. Dan yang paling utama adalah menghapus stigma bahwasannya perempuan selalu diasosiasikan sebagai kaum yang emosional, lemah, irasional, sensitif, dan butuh perlindungan. Berbeda dengan laki-laki yang dianggap pemberani, rasional, independen dan pelindung. Feminisme berusaha menggugat itu. Bahwasannya, dalam hal tertentu karakter-karakter tersebut bisa dimiliki oleh perempuan ataupun laki-laki.
Dengan berlandaskan argumen diatas, menurut hemat saya adalah beresiko ketika kita mengangkat diskursus ‘kenapa harus caleg perempuan’. Mengapa? Pertama, jelas pertanyaan tersebut akan menggiring ekslusifitas perempuan sebagai calon legislatif. Eksklusifitas yang dimaksud adalah bahwa pertanyaan ‘kenapa harus caleg perempuan’ meminta kita untuk menjelaskan bagaimana karakter perempuan secara PEREMPUAN. Contoh : si A ditanya mengapa ia harus memilih caleg perempuan? (daripada caleg laki-laki). Maka secara otomatis, kurang lebih jawaban si A akan mendeskripsikan bagaimana caleg perempuan secara PEREMPUAN.
Nah, ini yang dikhawatirkan. Stigma perempuan selaku kaum yang berkarakter feminin akan tetap terbentuk. Melalui pertanyaan ‘kenapa harus caleg perempuan?’ kaum perempuan akan tetap merasa ekslusif. Entah eksklusifitas ini menuju pada arah yang positif atau negatif, yang jelas inti dari sebuah perekrutan politik melalui pemilu bukanlah dikotomi soal perempuan dan laki-laki. Artinya, jelas bahwa parlemen bukanlah sebuah wadah yang didalamnya ada dua sekat, yaitu laki-laki dan perempuan. Tetapi, parlemen adalah sebuah wadah yang didalamnya baik laki-laki maupun perempuan mampu berkoordinasi dan bekerja sama dengan baik dan sportif, dengan aspirasi rakyat selaku acuan utama mereka.
Dengan demikian, menurut saya pribadi bahwa pertanyaan ‘kenapa harus caleg perempuan’ akan sedikit banyak bertentangan dengan ide kaum feminis. Sebab, seperti yang dijelaskan sebelumnya, perjuangan kaum feminis adalah berusaha menghapus dikotomi perempuan dan laki-laki. Artinya, ketika perempuan masuk kedalam ranah publik, bukan identitas dia selaku PEREMPUAN lah yang dijadikan acuan utama. Melainkan, perempuan harus dilihat sebagai individu yang mampu berkompetisi karena kualitas dan kapabilitas mereka. Ingat, bukan karena sistem memberikan hak-hak istimewa pada mereka. Bukan pengistimewaan hak, tetapi jaminan hak.
Ketika saya mengkritisi, saya harus mengajukan solusi. Maka, solusi dari saya, ketimbang menjawab topik seputar ‘kenapa harus caleg perempuan?’ saya lebih setuju menjawab pertanyaan ‘kenapa caleg perempuan juga layak dipilih?’. Pertama, saya beroptimis bahwapertanyaan ini akan menggiring kita pada status quo bahwasannya masih ada sebagian masyarakat yang ragu memilih caleg perempuan dengan alasan yang berasal dari stigma feminin-maskulin diatas. Kedua, kata ‘layak dipilih’ menegaskan bahwa perempuan dilihat bukan sebagai ekslusif PEREMPUAN, tetapi sebagai seorang individu, warga negara Indonesia, dan memiliki kapasitas untuk menyelesaikan masalah bangsa melalui keterwakilannya di parlemen.
Akhir kata, sesuai dengan judul yang saya ambil diatas. Saya mengajak dengan harapan yang optimis, bahwa caleg perempuan bukanlah sekedar ajang ekslusifitas. Caleg cantik, semua mata melirik. Bukan seperti itu. Perempuan dipilih karena kapabilitasnya. Jika dia tidak memiliki kapabilitas, ya tidak layak dipilih. Itulah dasar yang rasional dalam memilih wakil rakyat. Perempuan dipilih karena ia mampu membaca peluang, rasional, independen, bisa memimpin serta memberikan solusi bagi bangsa. Sejatinya, perempuan bukan gincu politik, pemicu konflik atau sekedar menarik ketika ia duduk di parlemen. Caleg perempuan harus cerdik, penuh taktik, hingga negara lain kagum melirik.
*tulisan ini hanyalah opini lepas pribadi saya, jika ada kekurangan atau salah dalam penulisan saya mohon maaf. Jika terdapat kesamaan yang anda temui, sejatinya itu karena kebetulan, karena saya tidak mencuri ide orang lain.
Referensi :
Yuliani Liputo, 2009. ‘Kisah Hellen Keller: Gadis Buta Tuli yang Menginspirasi Dunia’. (Bandung : PT Mizan Pustaka).
Ani Soetjipto dan Pande Trimayuni (ed), 2013. ‘Gender dan Hubungan Internasional, Sebuah Pengantar’. (Yogyakarta : Jalasutra).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H