Tulisan ini berupaya mengulas dan mengevaluasi jalannya Debat Sesi Pertama Pasangan Capres-Cawapres yang akan bertarung pada Pemilu 9 Juli mendatang. Debat yang mengangkat tema ‘Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum’ menarik untuk diteliti dari sudut pandang purely debating style and content. Sebab kenyataannya, apa yang kebanyakan diutarakan oleh publik mengenai penampilan dari masing-masing kandidat seringkali tidak berimbang, mengingat mereka adalah bagian dari atribut partai politik tertentu sehingga konklusi yang dihasilkan tidak sepenuhnya proporsional.
Dalam teknik debat (atau berargumentasi secara umum) kita mengenal tiga istilah berikut: manner, matter and method. Ketiga unsur ini kemudian dipadukan dalam sebuah argumentasi dengan mengacu kepada topik/pertanyaan yang diangkat dalam debat. Debat tidak hanya soal explaining or arguing, namun debat juga adalah convincing. Itulah sebabnya, dalam debat manapun seorang pembicara bukan hanya diminta untuk menjelaskan (explaining) tetapi juga harus mampu meyakinkan (convincing) khayalak bahwa ideas, solution, and mechanism mereka adalah hal yang vital dalam penyampaian argumen, dan paling penting adalah : logic serta dapat diimplementasikan.
Debat yang diselenggarakan KPU tanggal 9 Juni tadi malam terdiri dari 6 sesi sebagaimana telah kita ketahui. Bila mengacu pada substansi dan spirit of debating itu sendiri, menurut hemat saya debat ini dimenangkan oleh pasangan nomor urut 2, yaitu Jokowi-JK. Pasangan ini memenangkan Victory Point sebanyak 4 pada sesi 1, 2, 3, dan 5. Sementara Prabowo-Hatta unggul dalam sesi 4 dan 6. Berikut penjelasannya.
1. Penyampaian Visi dan Misi
Pada sesi ini, setiap pasangan kandidat diminta untuk menyampaikan visi dan misinya sesuai dengan tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum. Adapun pertanyaan mengerucut pada “apa agenda utama anda dalam mewujudkan ketiga poin diatas?”. Overall, setiap pasangan menyampaikan visi dan misinya dengan baik, jelas dan lugas. Namun, saya harus katakan bahwa sesi ini dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK. Mengapa?
Pertama, apa yang dikemukakan oleh Prabowo dan Hatta dinilai terlalu konseptual dan normatif sehingga argumen yang disampaikan menjadi hanging. Jika diukur secara normatif, apa yang disampaikan mereka baik, bahkan tidak ada cacatnya mengingat ketiga poin diatas diterjemahkan secara harfiah. Secara umum, Prabowo-Hatta menyampaikan bahwa :
“Demokrasi kita haruslah demokrasi yang produktif, bukan demokrasi yang destruktif. Demokrasi kita perlu diperbaiki karena sejauh ini nikmat demokrasi yang kita dapat masih dalam tataran pemilihan umum, sehingga rakyat membutuhkan partisipasi politik dan pendidikan politik yang menyeluruh demi terselenggaranya demokrasi yang adil”.
Saya harus katakan bahwa argumen diatas baik, bahkan sangat baik. Namun, jika argumentasi yang disampaikan hanya berada dalam tataran yang filosofis tanpa memperhatikan implementasi dari penerjemahan ketiga poin diatas, saya rasa argumennya tidak bersifat down to earth. Penjelasan bersifat ngawang-ngawang. Lagipula, spirit of the motion tersebut adalah “apa agenda utama anda?” sehingga setiap pasangan diminta untuk menginterpretasikan topik tersebut dengan cara-cara yang lebih terukur, lebih implementatif, dan lebih solutif. Saya kira, Prabowo-Hatta juga luput akan scope debat ini, bahwasannya argumen mereka bukan hanya diserap oleh kalangan akademisi, politisi atau mahasiswa semata, tapi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang pendidikan dan mata pencaharian yang beragam, sehingga tidak semua orang bisa menterjemahkan apa yang Prabowo-Hatta sampaikan.
Sementara, apa yang disampaikan tim Jokowi-JK dinilai lebih implementatif dan solutif. Meskipun memang harus kita akui juga, bahwa penerjemahan topik yang mengerucut pada pertanyaan “apa agenda utama anda?” belum terjawab maksimal. Namun, Jokowi mampu menjelaskan spirit of debating ini menjadi lebih clear and distinct (jelas dan terpilah). Berikut penuturannya :
“Bagi kami, demokrasi adalah soal mendengar suara rakyat. Kami, sejauh ini berupaya untuk datang dan mendengarkan apa yang dialami oleh rakyat. Kami makan, duduk, diskusi. Makan, duduk, diskusi. Sehingga tau apa yang betul-betul dibutuhkan rakyat, dan hal tersebut yang akan kami pertahankan dan sungguh-sungguh kami jalankan.”
Dari penjelasan ini, saya kira Jokowi lebih unggul dibanding Prabowo. Sebab, apa yang diutarakan lebih terukur, sehingga argumennya tidak ngawang-ngawang. Meski demikian, penjelasan ini tetap harus dikritisi, bahwa tidak selamanya persoalan rakyat perlu diselesaikan dengan cara ‘pemimpin turun dan blusukan ke jalan’. Untuk beberapa hal mungkin iya, namun pemerintahan juga memiliki komposisi struktural yang sudah diberikan wewenang. Disinilah rasionalitas Jokowi sebagai pemimpin itu diuji. Pemimpin juga perlu punya dignity, bukan hanya soal mendengar aspirasi, namun harus memaksimalkan kinerja aparatur dari hulu ke hilir, dari pusat ke daerah. Ada kalanya pemimpin harus berperan sebagai eksekutor, bukan administrator. Begitupun sebaliknya. Namun kembali pada sesi debat ini, meskipun convincing yang disampaikan tidak maksimal oleh pasangan Jokowi-JK, namun sesi pertama mereka dinilai unggul.
Sesi 1 : Prabowo 0 – Jokowi 1
2. Sesi Pertanyaan dari Moderator (Pertanyaan Berbeda)
Pada sesi ini, setiap pasangan diminta untuk menjelaskan argumen terkait pertanyaan yang disampaikan meoderator, adapun pertanyaan sebagai berikut :
-Jokowi-JK, “dapatkah anda melakukan evaluasi kritis terhadap RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) kepada pemerintah yang terdahulu, sehingga pembangunan berjalan secara berkesinambungan?”
-Prabowo-Hatta, “apa agenda utama anda untuk menyelesaikan kasus korupsi, efisiensi pemerintahan dan diskriminasi mengingat selama ini Indonesia dalam aspek tersebut masih dipersepsikan negatif?”
Khusus untuk sesi ini, saya pikir kedua pasangan tidak memberikan argumen yang memuaskan, karena kebanyakan dari mereka belum memberikan mekanisme yang terukur dalam merespon pertanyaan diatas. Kandidat Jokowi-JK cenderung menyampaikan argumen yang terlalu sirkular, bahkan sepertinya Jokowi agak grogi dalam sesi ini (entah belum terlalu menguasai atau karena hal lain), gesture menunjukan bahwa ia kurang siap, sehingga kata-kata yang dikeluarkan banyak pengulangan. Pun JK, hanya mengulang jawaban dari Jokowi meskipun penyampaiannya lebih lugas. Namun, clearing statement Jokowi yang menyatakan bahwa : “bagi kami, evaluasi itu penting, namun yang penting adalah pelaksanaan dan pengawasan, karena yang saya ketahui bahwa Indonesia masih lemah dalam hal pengawasan, sehingga manajemen pengawasan perlu dikedepankan”. Menurut hemat saya, clearing statement Jokowi agaknya bisa cukup diterima, karena dia mampu me-rebuild argumen yang sebelumnya masih lemah.
Sedangkan untuk pasangan Prabowo-Hatta, harus saya akui bahwa penyampaian Prabowo lebih jelas dan tegas dalam sesi ini. Meski demikian, ada hal-hal yang perlu digarisbawahi bahwa argumen yang disampaikan Prabowo terkait penyelesaian korupsi ini ‘berbahaya’. Mengapa?
Diawal pertanyaan ini, Indonesia yang masih dipersepsikan sebagai negara korup, Prabowo diminta memberikan argumen yang solutif mengenai apa agenda utama untuk menyelesaikan korupsi. Prabowo menjelaskan : “Korupsi disebabkan oleh kebocoran kekayaan nasional dalam skala besar, sehingga uang kita lari ke kantong asing, dan kita menjadi pasar di negeri sendiri. Korupsi juga disebabkan oleh demokrasi kita yang terlalu liberal dan bebas, sehingga ongkos demokrasi kita mahal. Kepala daerah digaji sebanyak 7-8 jt, sedangkan dana kampanye mencapai 18 milyar begitu juga dalam kasus menteri/polisi/jaksa. Maka solusi yang tepat adalah memberikan kesejahteraan kepada menteri/polisi/jaksa sehingga peluang-peluang mereka untuk melakukan korupsi menjadi tertutup”.
Sebagai warga negara, sesungguhnya saya tidak terima jika solusi yang harus diangkat harus demikian adanya. Meminjam istilah Donny G.A, pola demokrasi yang semacam ini hanyalah demokrasi yang sifatnya elitis, atau lebih tajam Donny menyebutnya sebagai ‘Demokrasi Tukang’. Tukang artinya adalah kita menjadi kacung Demokrasi, kita yang dikuasai sistem, bukan kita yang menguasai sistem. Solusi kesejahteraan bagi menteri/polisi/jaksa untuk menutup lubang-lubang korupsi saya rasa tidak bisa dibilang sebagai solusi. Mekanisme demikian hanyalah berupaya merongrong kekayaan negara yang semakin terkuras, sementara based on human being consideration, manusia adalah makhluk yang tak pernah puas. Saya kira argumen Prabowo dalam konteks ini ‘berbahaya’. Karena penggemukan gaji menteri/polisi/jaksa berarti mereduksi prinsip demokrasi yang roh dan spiritnya berasal dari rakyat. Kasarnya : harus ‘disejahterakan’ seperti apalagi wahai para teknokrat itu? Sementara banyak rakyat yang bisa survive dalam kondisi yang berkecukupan, saya misalnya, atau anda pembaca misalnya.
Namun kembali lagi pada penilaian debat sesi ini, saya rasa kelemahan Prabowo adalah ia tidak mampu menarik kausalitas antara sebab-akibat-solusi. Mengutip analisis David Easton, jika demokrasi merupakan input dan korupsi adalah output,seharusnya Prabowo mengeksekusi di tataran input. Diawal dia sudah benar, bahwa dia katakan ongkos demokrasi kita terlalu liberal dan mahal, sehingga korupsi menjamur. Namun, bukan outputnya yang harus dikotak-atik, namun input berupa sistem demokrasi yang ongkosnya terlalu mahal, itu yang perlu diperbaiki. Bisa saja melalui audit yang lebih transparan, pemilukada yang diselenggarakan serentak atau aturan dana kampanye yang seragam dll. Banyak solusi sebetulnya, namun menurut saya, mohon maaf, agaknya peningkatan kualitas hidup menteri/jaksa/polisi bukanlah solusi yang tepat karena gap antara si miskin dan si kaya akan semakin melebar. Tentu bukan itu yang kita inginkan. Sehingga, penilaian saya dalam sesi ini :
Sesi 2 : Prabowo 0 – Jokowi 2
3. Sesi Pertanyaan dari Moderator (Pertanyaan Sama)
Pada sesi ketiga, setiap pasangan calon diminta untuk menjawab dan memberikan pandangan seputar topik yang diangkat, terdapat dua pertanyaan yang harus dijawab masing-masing calon dalam sesi ini, yaitu :
a. Bagaimana cara anda menyikapi proposisi pemerintahan paska menang dalam pemilu jika mengingat sebelumnya anda dengan beberapa gabungan parpol membuat sebuah konsensus (umumnya bagi-bagi kekuasaan) jika terpilih nantinya?
Singkatnya, untuk pertanyaan ini pasangan Jokowi-JK lebih unggul mengingat kelebihan argumen mereka didasarkan pada beberapa poin : proposisi gabungan parpol pendukung mereka yang tidak gemuk, diusungnya pasangan capres-cawapres yang tidak sedang menjabat sebagai ketua parpol, dan dibukanya rekening pribadi sebagai alat untuk menggalang partisipasi publik. Ketiga poin ini saya rasa kuat jika harus dihadapkan dengan poin yang dikemukakan Prabowo-Hatta, dimana keduanya menjelaskan soal : pentingnya rekruitmen politik yang lebih profesional dan kompetitif.
b. Bagaimana cara anda menyikapi masalah diskriminasi etnis mayoritas-minoritas, prinsip patron-klien dan semacamnya dalam pemerintahan, sementara Indonesia harus menjalani kehidupan berbangsa dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika?
Pada sesi ini saya akui kedua pasangan sama-sama unggul, Jokowi mengangkat kasus Lurah Susan sementara Prabowo mengangkat fakta terpilihnya Ahok sebagai wakil Gubernur. Saya lihat, persepsi mengenai Bhineka Tunggal Ika sudah cukup baik dipegang oleh kedua pasangan sebagai prinsip yang patut dijunjung tinggi. Karena pertanyaan ini keduanya sama-sama unggul, sementara pertanyaan pertama dalam sesi ketiga dimenangkan Jokowi-JK, sehingga debat sesi tiga menghasilkan skor :
Sesi 3 : Prabowo 0 – Jokowi 3
4. Sesi Saling melempar Pertanyaan
Sesi keempat dimana setiap kandidat berhak melempar pertanyaan kepada kandidat lain. Pertanyaan apa saja boleh diajukan, asalkan masuk dalam kerangka topik yang diangkat dalam debat ini.
a. Prabowo kepada Jokowi : bagaimana mengatasi biaya kampanye Pemilukada yang mahal serta langkah apa yang harus dilakukan ketika setiap daerah meminta kebijakan pemekaran wilayah?
Dalam konteks meminimalisir biaya Pemilukada, Jokowi memberikan mekanisme yang cukup baik mengenai ide Pemilukada yang dapat dilaksanakan serentak. Namun soal pemekaran wilayah, Jokowi menuturkan bahwa : “apabila daerah tersebut minta dimekarkan dan memang harus dimekarkan karena sejumlah kriteria, kita dapat memprosesnya, namun jika pada pelaksanaannya daerah tersebut hanya memperkaya aparatur daerah, kita bisa melakukan punishment dengan cara memasukan kembali ke wilayah sebelumnya”. Dari segi rasionalitas dan asas manfaat, saya rasa mekanisme seperti ini kurang make sense karena daerah hanya akan terfokus pada harus dimekarkan/bergabung, sementara hal yang perlu ditingkatkan adalah pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintah yang efektif. Saya berasumsi Jokowi lemah di poin ini melihat dari mekanisme yang diajukan.
b. Jokowi kepada Prabowo : sesi ini diwakili oleh pak JK yang melempar pertanyaan : bagaimana cara anda menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu demi masa depan HAM yang lebih baik? Sementara jawaban Prabowo : “saya adalah abdi negara, tugas saya mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan demi keselamatan orang banyak dari kelompok radikal, saya mengerti arah pertanyaan bapak, tapi tidak apa terserah bapak menanggapinya”. Dalam situs jejaring sosial, sesi keempat mengundang kontroversial dan sempat menjadi trending topic bagi publik. Namun, saya kembalikan lagi pada teknis debat, saya berpandangan bahwa sesi ini Prabowo-Hatta unggul.
Mengapa? Dalam debat kita mengenal istilah government team dan opposition team. Government diberi wewenang untuk membangun diskursus, sementara opposite kebanyakan hanya mengikuti rules dari apa yang diutarakan government. Dalam sesi ini, tim Jokowi-JK bertugas sebagai government yang berhak melempar pertanyaan. JK menohok dengan bertanya soal HAM, sementara Prabowo sudah paham betul kemungkinan pertanyaan ini akan dimunculkan. Saya pikir, JK secara tidak langsung telah menggiring pertanyaan pada isu yang sifatnya personal, sementara core dalam debat ini menyangkut topik yang diidentifikasi sebagai masalah bangsa-negara, bukan track record personal. Meskipun saya sependapat dengan Cintya Enloe bahwa ‘personal is political’ namun saya kira JK telah menggiring isu ini kedalam sisi personal dan secara diplomatis, kemenangan ada di pihak Prabowo-Hatta karena penyampaian Prabowo terkait isu yang di highlight ini disikapinya dengan lugas dan tegas dalam penyampaian. Maka sesi empat :
Sesi 4 : Prabowo 1 – Jokowi 3
5. Sesi Problem Solving (Pertanyaan dari Moderator)
Sesi kelima membahas seputar problem solving yang akan dihadapi oleh setiap pasangan capres-cawapres ketika mereka melanggeng ke istana kelak. Pertanyaan seputar tentang “bagaimana menghadapi hambatan faktual yang masih menggerogoti budaya pemerintahan Indonesia yang dibagi kedalam tiga poin : 1. Daerah seringkali tidak menaati aturan yang diperintahkan oleh pusat, 2. Lembaga pemerintahan yang tumpang tindih, 3. Reformasi birokrasi”.
Pada tahap debat kelima, saya melihat Jokowi-JK lebih unggul argumennya dengan berlandaskan beberapa alasan : Jokowi menjelaskan mekanisme yang cukup distinct mengenai politik anggaran terkait daerah yang tidak menaati pusat, dimana perlu ada insentif dan punishment terhadap daerah mengingat anggaran daerah sebanyak 85% dari pusat. Kedua mekanisme melalui Sekneg untuk mengatasi persoalan kebijakan yang overlapping cukup dapat diterima mengingat teknis berjalannya kebijakan alurnya perlu diperhatikan. Dan poin terakhir terkait reformasi birokrasi, Jokowi menambahkan bahwa optimisme terhadap SDM Indonesia yang sesungguhnya bisa menuntaskan kasus birokrasi yang pada dasarnya, menurut Jokowi ‘tidak susah-susah amat’.
Sementara pasangan Prabowo-Hatta menjelaskan ketiga obstacle diatas bisa dihadapi dengan : prioritas sektor pada daerah, yaitu sektor pangan, pendidikan, pembangunan infrastruktur dan lapangan kerja. Kelemahan poin ini, adalah tidak menjawab soal bagaimana kasus jika ‘daerah tidak menaati pusat’, langkah apa yang harus dilakukan. Jika berkaca pada prioritas sektor, saya kira prioritas sektor masih berada dalam tataran ideas sementara pertanyaan soal ‘daerah tidak menaati pusat’ merupakan pertanyaan teknis. Kedua, Hatta juga menambahkan bahwa untuk mencegah lembaga yang overlapping bahwasannya perlu pengorganisasian yang efektif serta proses rekruitmen yang baik. Lagi-lagi, dalam tataran normatif argumen ini baik, namun belum pas jika dihadapkan dengan pertanyaan ‘bagaimana’. This question is about how? Not about what. Maka, dari segi substansi, Jokowi-JK unggul dalam sesi kelima. Skor sementara :
Sesi 5 : Prabowo 1 – Jokowi 4
6. Sesi terakhir : Penutup
Pada sesi ke-6, setiap pasangan capres-cawapres diminta untuk menyampaikan statemen penutup dan meyakinkan rakyat Indonesia bahwa pasangan tersebut layak dipilih dalam pemilu 9 Juli mendatang. Jika mengacu pada teknik debat, sesi ini merupakan bentuk art of convincing (seni meyakinkan). Dan jika dilihat dari penyampaian dan bobot argumen yang juga tetap harus dipertimbangkan, pasangan Prabowo-Hatta unggu dalam sesi ini. Pertama, Prabowo-Hatta mampu memaksimalkan waktu lebih baik dibanding Jokowi yang masih tersisa 1 menit. Kedua, menurut saya sesi ini tidak apa jika memasukan retorika dan penyampaian yang sifatnya normatif, karena sesi ini, seperti yang sudah saya sebutkan diatas, adalah bentuk art of convincing. Dan teknik penyampaian, Prabowo menyatakan bahwa : bangsa yang perlu berdiri diatas kaki sendiri, bangsa yang mandiri, bangsa yang berdaulat adalah bentuk retorika yang baik karena penutup debat lumrahnya diberikan bumbu-bumbu penyedap yang meyakinkan. Sementara Jokowi, saya melihat momentum sesi ke-6 debat digunakan sebagai formal statement dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang mendukungnya, penyampaian semacam ini tidak buruk, namun bobot art of convincing nya kurang mengena. Sehingga, menimbang dari argumen kedua pasangan ini, maka sesi debat ke-6 sekaligus sebagai sesi penutup pada debat putaran satu, hasil final :
Sesi 6 : Prabowo 2 – Jokowi 4
Demikianlah semoga pendapat saya bisa memberikan gambaran kepada pembaca sekalian supaya betul-betul memilih dengan hati nurani dan rasionalitas yang baik. Saya tidak condong kepada salah satu pasangan capres-cawapres, partai atau kelompok manapun. Tapi, selaku mahasiswa yang berkecimpung di dunia debat, teknik dan bobot argumen dalam debat perlu dipertimbangkan. Saya tidak sependapat dengan pernyataan salah satu stasiun Televisi yang menyatakan ‘Jokowi-JK menang telak atas Prabowo-Hatta’ atau statemen yang menilai ‘JK lebih dominan dalam soal penyampaian argumen dibanding Jokowi’. Selain itu, saya juga tidak sependapat dengan media massa yang mendiskreditkan pasangan Prabowo atau Jokowi, dimana pemberitaan Debat Capres-Cawapres mereka kemas sesuai kehendak mereka untuk mempengaruhi publik, misalnya yang menyatakan : ‘Jokowi lebih rileks dibanding Prabowo’, padahal faktanya tidak demikian. Atau pendapat yang berucap : ‘Retorika is nothing, rekam jejak is everything’, toh pada dasarnya tidak juga mesti harus selalu seperti itu. Masih ada empat sesi debat lagi, semoga pilihan anda adalah yang terbaik. Akhirul Kallam, Go for a better Indonesia!
Best Regards
Fini Rubianti
Majoring in International Relations,
Jakarta, State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H