Minggu pagi adalah hari dimana kebanyakan -jika tidak mau dikatakan semua- para suami menunggu pelayanan terbaiknya dari sang istri. Kopi hangat, gorengan panas plus sambel kacang siap menemani pagi dengan sarapan nasi putih yang masih mengebul meski hanya bertahta ceplok telor.
Tidak ketinggalan, berita pagi pun turut menemani dengan sajiannya yang lebih santai. “Ini hari Minggu men... gila kali gue mesti pake setelan jas dan muka ditekuk tegas mulu!” mungkin itu yang menjadi kebijakan stake holder perusahaan media untuk menyajikan berita ringan di hari Minggu. Ya.. siapa yang tidak ingin. Bagi sepasang suami-istri, momen akhir pekan adalah saat terbaiknya untuk saling mengisi setelah enam hari sebelumnya banyak dipenuhi rutinitas.
Namun, momen di atas tengah banyak ditinggalkan oleh para istri yang notabene berada di kawasan Serpong. Disadari atau tidak, momen hari Minggu pagi dengan suami mereka kalah oleh keinginan untuk mengikuti senam rutin akhir pekan, tepatnya di sepanjang Jalan Pahlawan Seribu, Serpong, Kota Tangerang Selatan.
Kala Minggu datang, ibu-ibu yang rumahnya tidak terlalu jauh dari kawasan tersebut, sudah berpakaian rapih. Dandanan olahraga necis celana trening plus handuk dikalungkan ke leher. Botol minum ditenteng di kiri, tidak ketinggalan ponsel pintar untuk mengabadikan momen Minggu paginya. Belum lagi, update status BBM yang menegaskan bahwa mereka akan segera memulai senam. “Mau senam nich.. rampingin badan” atau “Papa sabar yaa mamah mau senam dulu, sampe jam 9 aja kok.” dan lain-lain.
Rutinitas senam pagi dan hari bebas kendaraan (car free day) sudah mulai diagendakan Pemerintah Kota Tangsel sejak November 2014 lalu. Respon yang baik datang dari warga terutama ibu-ibu dan remaja. Dalam acara hari bebas kendaraan setiap minggunya, warga Tangsel dapat bebas berlari dan berolahraga di sepanjang jalan yang sudah ditetapkan pada pukul 5-10 pagi. Adapun yang menjadi target utama para ibu-ibu, yaitu senam rutin yang dipandu oleh instruktur yang berpengalaman.
Instruktur senam difasilitasi oleh sebuah bank terkemuka yang memiliki cabang di Tangsel dan oleh sebuah pusat perbelanjaan. Ini merupakan bagian dari CSR mereka, mungkin. Senam dilakukan pada pukul 7-8.30 dipandu oleh 2 orang instruktur senam yang handal. Tidak ketinggalan, lagu-lagu pun diputar untuk menyemangati. Dari aliran RnB sampai Koplo, dari mulai musik Beat sampai Jaipong.
Gerakan demi gerakan terlantun, diikuti oleh 700 hingga 1000 orang disana. Berbagai kalangan mengikuti senam tersebut, dan didominasi oleh perempuan. Jika dikuantifikasi, sebanyak 80% adalah ibu-ibu, 20% remaja dan perempuan lajang dewasa (termasuk saya) sementara sisanya adalah anak-anak (anak-anak tidak dihitung karena hanya lari-lari saja).
Selaku pembaca, anda mungkin bertanya-tanya. Apa menariknya tulisan ini dan apa menariknya dari sebuah rutinitas senam ibu-ibu? Bagi saya selaku mahasiswa (eh aku bukan mahasiswa lagi) yang menyukai isu gender merasa melihat isu ini lebih dalam. Lebih dari sekedar senam yang dilakukan oleh ibu-ibu dan gerakan-gerakan koplo macem kang gendang yang ketepak-ketepuk ke kanan ke kiri.
Saya melihat ini sebagai corak gender yang khas di Indonesia. Dan saya optimis bahwa nilai-nilai Feminisme sudah mulai membumi bahkan dalam tataran yang praktis nan personal.
Perlu saya tegaskan bahwa komposisi ibu-ibu yang mengikuti senam di Serpong cukup beragam. Mereka umumnya kalangan menengah. Kalangan menengah ke bawah. Sebagian dari mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang rutinitas setiap harinya mengantar anak sekolah. Sebagian yang lain, ibu-ibu yang berprofesi sebagai pedagang di pasar atau menjadi penjaga toko baju di ruko-ruko pusat perbelanjaan. Sebagian lainnya, berfrofesi sebagai guru TK/SD hingga jenjang SMA.
Saya berimaginasi, mereka bukanlah ibu-ibu sosialita yang gemar mengoleksi tas-tas ori. Atau, ibu-ibu yang kemana-mana meski dianter palu (read: hammer) untuk sekedar ikut kocok arisan bulanan. Sejatinya, mereka hanyalah ibu rumah tangga biasa, keluar hanya untuk kondangan atau membeli kebutuhan anak.
Namun, saya melihat bahwa sejatinya ada sikap permisif dan kooperatif yang luar biasa dari kaum laki-laki. Bayangkan jika ada 1000 ibu-ibu yang ikut senam pagi di hari Minggu, itu artinya terdapat 1000 orang suami yang kehilangan layanan terbaiknya di Minggu pagi. Belum lagi, Minggu pagi adalah saat dimana ibu-ibu direpotkan oleh setrikaan yang menumpuk, cucian segunung dan lain-lain.
Ya anda semua pasti tahu, meski hanya urusan dapur, masalah beberes itu tidak akan pernah ada habisnya. Selalu saja ada. Menariknya, ibu-ibu ini meninggalkan pekerjaan rumah dan suami mereka untuk mengikuti senam barang sejenak. Mereka terlihat antusias dan sangat ceria. Rutinitas ibu-ibu yang mengikuti senam ini kemudian mengerucutkan pemikiran saya akan unik dan indahnya corak gender di Indonesia. Rasa syukur ku panjatkan padaMu Yaa Rabb, engkau ciptakan aku sebagai salah satu perempuan Indonesia.
Corak Gender di Indonesia
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, corak didefinisikan sebagai ‘ragam, pola atau warna dasar yang memiliki sifat tertentu.’ Jika dikaitkan dengan analogi yang sederhana, contoh saat seseorang membeli baju batik, ia akan memperhatikan bagaimana bentuk corak itu mengalir dalam kain. Entah itu lekukannya, warna atau perpaduan warnanya. Corak bukanlah fondasi utama dari kain, namun corak umumnya sebagai pemanis, pemanis yang signifikan. Itu artinya, selain daripada seseorang yang membeli batik akan memperhatikan kualitas kainnya, maka satu hal yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri adalah corak batik tersebut.
Kaitannya dengan gender, saya menilai bahwa fenomena ibu-ibu yang mengikuti kegiatan senam setiap Minggu pagi, dapat dianalogikan sebagai corak gender di Indonesia. Corak gender seperti apa? Yaitu corak gender yang mampu berada di titik yang seimbang antara karakteristik gender di Barat dan di Timur.
Ya. Fenomena ibu-ibu Tangsel yang ikut dalam senam di Minggu pagi merefleksikan bahwa perempuan di Indonesia sudah memiliki ruang untuk melakukan aktivitas yang mereka senangi. Berita baiknya, ada sebuah konsensus tidak langsung yang kooperatif dari para kaum laki-laki untuk memberi izin pada istri mereka melakukan senam di Minggu pagi.
Perempuan Indonesia bukanlah perempuan Dhaka di Bangladesh yang amat dibatasi ruang geraknya. Menurut harian The Economist tahun 1998 yang dikutip dalam Buku IPE karya David N. Balaam menyebutkan bahwa sebanyak 21 perempuan yang sudah berumah tangga tewas disiram air keras oleh suami mereka sepulang bekerja sebagai penjaga toko di pusat perbelanjaan Bangladesh.
Setelah dilakukan investigasi, ternyata ke 21 perempuan ini disiram air keras akibat kaum laki-laki merasa tidak dilayani oleh para istri sepulang mereka bekerja. Balaam memaparkan, bahwasannya globalisasi telah membuka peluang bagi kaum perempuan Bangladesh untuk bekerja di beberapa pusat perbelanjaan.
Namun, kaum laki-laki Bangladesh tidak memberikan alarm afirmasi bagi perempuan. Mereka justru berfikir bahwasannya kaum perempuan menjadi lalai akan keadaan rumah tangga, memasak seadanya dan harus pulang sore bahkan malam hari sehingga ‘rumah tangga menjadi tidak terurus.’
Lain lubuk lain ikannya. Perempuan Indonesia juga bukanlah kaum perempuan Barat dimana lekuk tubuh dapat menjadi barang yang dikapitalisasi bahkan dianggap sebagai sesuatu yang komersil. Barat dengan keran Liberalisme-Kapitalisme sudah mampu membuat kaum perempuan menjadi mereka yang bebas berekspresi, mengaktualisasikan diri dan hasrat tanpa perlu lagi berpedoman pada nilai-nilai yang masih dijunjung tinggi layaknya di Indonesia, seperti konsep tabu, dosa, haram dan sebagainya.
Perempuan bebas melakukan apa yang mereka kehendaki selama itu mampu memberikan kebahagiaan dan self esteem pada diri mereka. Di lain pihak, afirmasi yang datang dari kaum laki-laki akan hal ini tentu mengalir deras, mereka pun khatam akan pentingnya aktualisasi diri bagi kaum perempuan tanpa memandang usia dan latar belakang.
Indonesia – A Proportional Place for Women
Dari salah satu kasus yang sangat kecil mengenai rutinitas senam ibu-ibu Tangsel di atas, saya mengamini bahwasannya Indonesia adalah tempat yang ideal bagi tumbuh kembang kaum perempuan. Jika tatanan gender dalam konteks global terdiri dari dua keping mata uang, maka pola-pola gender di Indonesia adalah penyeimbang diantara keduanya.
Benar. Perempuan di Indonesia berbeda dengan perempuan Timur-Tengah, kita dapat berekspresi, melakukan aktualisasi dari, dan uniknya hal ini mendapat tanggapan yang positif dari kaum laki-laki. Saya pernah mendengar sebuah percakapan, si Bapak B dan Bapak Y sedang duduk di warung kopi. Kala itu, saya sedang membeli setengah kg telur untuk stok nyeduh mie instan (yang ini skip aja).
Bapak B: “Pak, itu ibunya sekarang ikut senam di Tangsel ya tiap Minggu? Emang ga kesel apa pak istrinya pagi-pagi udah ninggalin kerjaan?.” Bapak Y: “Iya kasian pak, istri saya pengen ikut senam. Ya gak tiap hari juga kan pak cuma seminggu sekali kasianlah tiap hari urus rumah terus. Lagian kalo istri kita ramping dan sehat, buat kita-kita juga pak nantinya.” Timpal bapak Y sambil tertawa. Akhirnya seminggu kemudian, saya melihat istri Bapak Y juga mengikuti senam bersama kami.
Dilain pihak, perempuan Indonesia juga bukanlah perempuan Barat dimana nilai-nilai adat seperti tabu dan kesopanan masih kita junjung tinggi. Saya optimis meski senam aerobik sejatinya adalah manifestasi dari Budaya Barat, namun kita, perempuan Indonesia masih kental akan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi identitas diri. Salah satu contohnya, gerakan senam kerapkali diiringi oleh lagu Demi Lovato feat Cher Lloyd yang berjudul Really don’t care dan musik Barat lainnya. Sangat mengglobal? Tentu.
Namun, apa yang mereka lontarkan selama senam berlangsung. Bukannya berstatemen ‘Come on guys, let’s enjoy our Sunday morning with a rhythm of the song’ tapi malah justru berkata ‘Geus lah ilukeun bae naon ieu dak aing teu ngarti lah, asal awak teu rarentek bae ieu mah (udahlah ikuti saja apa lagi ini nak.... saya ga ngerti, asal badan engga pada pegel aja ini mah).’
Atau berstatemen ‘We totally sure we’re gonna be fresh after this’ tapi justru ‘Hayu lah balik seseuhan aing numpuk yeuh di imah, bapakna pan deuk aya ngariung muludan engke sore (yang ini artiin sendiri yaa..).’
Selain itu, sebagaimana yang kita lihat pada umumnya, kaum perempuan Indonesia yang mengikuti senam pastilah masih menjunjung identitas islami mereka, kerudung/jilbab tentu tidak ketinggalan. Namun, uniknya lagi, mereka juga tidak segan-segan untuk ikut bergoyang atau menggerakan pinggul ke kanan/kiri ketika diminta oleh instruktur senam. Bahkan, ada juga beberapa ibu-ibu yang keterusan bergoyang meski sudah harus berganti gerakan lain. Sungguh mengasyikan.
Sebagai mahasiswa HI (ih aku sudah bukan mahasiswa lagi) saya membayangkan jika ini diterapkan di Afganistan/Pakistan. 1000 perempuan berkumpul untuk ikut senam pagi, tentu bukanlah jumlah yang sedikit. Jika perempuan Afganistan berada pada posisi kami, hampir pasti milisi Taliban sudah berjaga ketat di sepanjang area senam dengan bermodalkan pistol/senapan di tangan mereka. Hampir pasti juga, milisi Taliban tidak akan segan-segan menembakkan pistol di udara manakala ada ibu-ibu yang over gerakannya seperti kasus ibu-ibu senam tadi. Musik sudah berhenti, namun masih bergoyang. Tak terbayang bukan bagaimana mengerikannya?
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa mengikuti senam di Minggu pagi adalah sesuatu yang mahal meski perempuan Indonesia tidak harus merogoh rupiah mereka. Mahal karena belum tentu hal seperti ini mampu dirasakan oleh kaum perempuan di belahan dunia lain, seperti Afganistan, Pakistan ataupun Bangladesh.
Saya juga bersyukur karena meskipun kebebasan berekspresi sudah mampu dirasakan oleh perempuan Tangsel, namun kebebasan milik Indonesia adalah kebebasan yang beradab. Kebebasan yang masih menghargai aing-sia dibanding I-You, kebebasan yang masih menjunjung kata isuk-isuk dibanding in the morning serta kebebasan yang masih menempatkan jilbab/kerudung di atas segala-galanya.
Saya pun mengiyakan bila di beberapa bagian Indonesia lain mungkin masih banyak tatanan patriarki yang sulit mendapat afirmasi dari laki-laki. Namun, mengutip Ane Soetjipto dan Pande Trimayuni (ed.) dalam karya Gender dan Hubungan Internasional, hendaklah perbedaan ini dilihat sebagai anak-anak sungai yang meski mengalir berkelok-kelok, namun akhirnya akan bermuara tetap di laut.
Artinya tetaplah optimis dan penuh kesyukuran menjadi Perempuan Indonesia. Jadikan ini sebagai personal branding perempuan pribumi. Sebuah branding yang menjadikan kita unik dan khas di mata dunia.
Kebebasan kita hari ini adalah sebuah harga mahal yang tidak mampu dibayar oleh apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H