Kita sempat bersua,
Persis pada lisan dan tulisan-tulisan tua.
Menumbuk rasa pada irisan kata-kata,
Dengan atau tanpa geliat belati di pelosok kepala.
Meski ada yang nyaris kalah,
pun saat kombatan rindu menusuk seribu jenis hermeneutika.
Tapi hanya kita berdua,
Mengobral omong kosong serupa media.
"Sejak kapan kau jadi atheis, bung?!" Sergahmu senjakala.
"What wrong bro?" Lidahku memang tak lazim merapal dwi bahasa.
"Kita tidak berdua,
Ada yang perlu kau arsir seirama tarik garis horizontal."
Ya, tentu.
Tentu saja aku tak luput dengan wacana-wacana kelabu itu.
Atau setidaknya,
Jejak rekam polemik gestapu,
Penghujung tahun sembilan delapan puluh,
Hingga miniatur kingdom in republic,
Masih terkemas apik ditempeli manik-manik.
Dan kini,
entah kali ke berapa langit berganti warna,
Awan-awan menghujat dirinya,
Hujan meneteskan sajak-sajak fiksi,
Meski seringkali terjadi bencana,
Setelahnya.
Lalu kita bertransisi seolah apatis,
Bermain pantun ontologi,
Dan kelimpungan mengisi teka-teki ideologi.
Marxis meringis,
Gramsci menangis.
Muncul bigot fasis dengan buhul katarsis.
Darimu sahabatku,
Di mana risalah tersirat dan tersurat,
Pelipat genap ambisi tersendat,
Kala dunia terjungkal minta dirawat?
Egosentris wajah dusta,
Kacang lupa cangkang,
Gentayangan di simpang berhala,
Menggantung bendera paranoia.
Sedang para pengepul mortar dan berangkal pesta pora di tengah wabah,
Dan keparat omnibus terlampau busuk untuk dibungkus.
Aku rindu peluru-peluru Munir itu,
Aku rindu mesiu perlawanan rancanganmu,
Aku rindu semburat langit biru,
Tanpa tangis terpenjara,
Tanpa jerit terbungkam.
Bila kau tahu.
Sukabumi 11 April 2020
Fingga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H