Seseorang sabdakan luka sedari jahanam malam, hingga menggantungkannya lewat lika-liku menuju bulan resah. Dan bintang-bintang terjajah. Sementara mentari dikebiri hari semakin tua. Dia bukan dewa mabuk. Tapi ocehan simpang tiga kian memberinya permadani merah. Warna permadani yang tak biasa baginya. Sebuah warna yang tercelup dari masbah darah, serupa sayatan di kepala.
Di ujung pintu terbuka, aku menghampirinya membawa keranjang berisi buah, dan kotak 'P tiga K'. Tapi percuma saja, dia menatapku meratap menganggap kehadiranku adalah bagian rintang bercabang ranting. Aku belum menyerah. Biar kesia-siaan bala bantuan itu menjadi benih yang terbuang. Karena aku percaya, suatu ketika ada yang tumbuh dan ada juga yang rentan ditebang. Terlepas dari sesiapa yang memiliki tangan-tangan jahil dan hasrat berkabung pitam.
Di ujung pintu terbuka, kutitipkan bala bantuan itu, yang seketika berubah menjadi kasih sayang, kepada lampu temaram. Atau mungkin sebaiknya kasih sayang itu kubawa pulang saja. Lalu membuatkan satu jus tomat untuk memperbaiki paru-paruku yang berontak, ketika melihat seseorang yang lebih dulu melebarkan bahu untuknya bersandar. Serta menaruh kotak 'P tiga K' di simpang tiga. Supaya aku mendapat giliran di antara barisan lika-liku luka, berjalan di atas permadani merah. Serupa sayatan di kepala. Mungkin juga lebih dari padanya. Menanti rantai kasih sayang selanjutnya.   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H