Mohon tunggu...
Eva Basuno
Eva Basuno Mohon Tunggu... -

I am who I am, deal with it!

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sepoi-sepoi Semilir Angin di Atas Becak

7 September 2010   09:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jika ditanya, "transportasi umum apa yang paling saya senangi?". Jawabannya bukan pesawat terbang, bukan pula taksi mewah, tapi becak. Sejak kecil saya sangat menyenangi becak. Semilir anginnya yang sejuk, kayuhan abang becaknya yang santai, serta pemandangan yang bisa saya nikmati dari atas becak, membuat saya ingin selalu naik becak tiap ada kesempatan. Bahkan hingga sekarang. Walaupun semilir anginnya sudah tidak sesejuk dulu. Walaupun pemandangannya pun sudah tidak seindah dulu. Tapi suasana santai yang ditawarkannya benar-benar menggoda saya untuk menaikinya lagi, lagi, dan lagi. Beruntung saya lahir dan besar di pinggiran kota Jakarta sehingga obsesi saya ini (jika bisa dikatakan demikian) dapat tersalurkan. Di sekitar rumah saya masih banyak sekali becak-becak yang siap mengantarkan ke tujuan kapan saja. Betul, kapan saja! Berhubung sebagian besar tukang becak secara teknis "berdomisili" di atas becaknya, mereka siap dibangunkan kapan saja, pagi-pagi buta sekali pun. Saya ingat semasa saya bersekolah di Sd dulu. Salah satu teman saya pergi ke sekolah cukup berada. Ibunya menyewa becak langganan setiap harinya untuk mengantarkan anaknya ke sekolah. Saya ingat, 500 rupiah untuk sekali jalan. Berhubung becak yang ditumpanginya cukup 3 bahkan hingga 6 anak (kapasitas akan lebih besar jika atap becak dibuka, dan si anak duduk di sandarannya), maka temanku ini berinisiatif untuk mengajak teman-temannya serta dengan hanya membayar tambahan 100 rupiah/anak saja. Jadi, si tukang becak dapat mengantarkan kami ke sekolah dengan ongkos hingga 1000 rupiah sekali jalan. Saat itu ia terlihat senang, dan kami pun senang. Saya tidak terlalu ingat sejak kapan peraturan pelarangan becak berlaku di kota Jakarta. Seingat saya, dulu waktu saya kecil, saat beberapa kali saya mengunjungi pusat kota Jakarta, saya sering merengek-rengek ingin naik becak. Ibu saya waktu itu akan menjawab, "Di sini gak ada becak. Naik bajaj saja ya?!" Lalu saya pasti akan menjawab, "Ga mauuu!!! Bajaj panas! Bau lagi!" (maaf bagi para pecinta bajaj). Sedikit beranjak dewasa saya mulai mengerti mengapa becak dilarang di kota Jakarta. Selain menyebabkan macet, para tukang becak terkadang tidak mengindahkan peraturan dan parkir sembarangan. Yah, mirip-mirip pedagang kaki lima. Tapi, inilah jeleknya Pemda. Segala sesuatu yang dirasa mengganggu bukannya diatur supaya jadi tidak mengganggu, tapi malah disingkirkan. Persis seperti rencana pelarangan sepeda motor yang konon akan diberlakukan jika kemacetan Jakarta semakin menggila (saya tidak bisa membayangkan apa yang lebih gila dari ini). Kata "ditertibkan" waktu itu artinya bukan dibuat supaya "tertib", tapi justru supaya "tidak ada". Waktu kecil saya sering melihat tayangan "penertiban" becak di TV, yang rasanya terlalu sadis, persis seperti tayangan penggusuran yang sekarang sering ditayangkan di TV. Becak-becak yang mungkin saja dibeli para tukang becak dengan berhutang dipukul-pukul hingga rusak. Sebagian diangkut (entah dibawa ke mana).

Saya selalu menganggap bahwa becak, sepeda, delman, dan kendaraan-kendaraan ramah lingkungan lainnya seharusnya tetap dipertahankan. Ingin rasanya Pemda Jakarta memikirkan ini masak-masak. Daripada sibuk memikirkan bagaimana mensterilkan jalur Busway (yang rasanya jelas-jelas tidak mungkin), akan jauh lebih baik jika jalur itu digunakan para pengendara kendaraan ramah lingkungan ini. Saya yakin, busway yang katanya "ramah lingkungan", pasti tidak bisa mengalahkan ke"ramah-lingkungan"an kendaraan bebas bahan bakar ini. Bahkan di kota-kota besar dunia seperti New York, Washington, dan London, becak mulai diperkenalkan ke masyarakat dan diizinkan melalui jalan protokol. Yang pasti hal itu bukan suatu regresi bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun