Terusik dari status facebook salah satu rekan sejawat saya yang berbunyi, "lg antri di apotik. Ngeliatin para pembeli yg bengong pas tau harga obat yg harus ditebus dan akhirnya milih nebus obatnya sebagian aja pdhl dlm tu resep ada obat penting yg harus ditebus utuh (antibiotik, dll). Kapan ya pelayanan kesehatan yg memadai benar2 terjangkau sluruh rakyat di Indonesia ni...?? "miris.miris.miris*". Saya pun jadi teringat dengan pengalaman-pengalaman saya semasa kuliah dulu. Beberapa teman saya selalu meminta pendapat saya, kira-kira obat mana yang penting dan harus ditebus seluruhnya, mana yang bisa ditebus sebagian saja, dan mana yang kira-kira cuma "bumbu" saja. Hal ini mereka lakukan untuk menghindari tagihan apotek yang terlalu mahal dan di luar jangkauan kocek mahasiswa. Saya sendiri menyadari bahwa di Indonesia ini banyak dokter-dokter yang "pelit" bicara. Banyak hal yang menyebabkan mereka seperti itu. Jika mau berprasangka baik, mungkin mereka memang pendiam, atau pasien yang harus mereka tangani terlalu banyak sehingga mereka tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien. Jika mau berprasangka jelek, bisa jadi mereka memang malas menjawab, tidak peduli, tidak profesional, atau bahkan tidak tahu jawabannya karena kurangnya kompetensi mereka. Padahal yang namanya obat itu sebetulnya adalah racun bagi tubuh kita, dan jika cara penggunaanya salah, bukan hanya ketidaksembuhan yang diperoleh, melainkan nyawa pun bisa melayang. Untuk itu ada baiknya pasien mengenali dengan baik obat-obat apa saja yang diresepkan untuk mereka. Pasien harus agresif bertanya jika dokter tidak secara inisiatif menjelaskan. Toh bertanya adalah hak pasien. Jadi, tuntulah hak anda itu! Jika penjelasan tidak juga didapatkan, sebetulnya pasien juga bisa menuntut penjelasan itu dari pihak apotek. Dalam resep tertulis instruksi pemberian yang harus dijelaskan dan dituliskan dalam label obat. Jika tulisan dokternya terlalu "amburadul" sehingga sulit dibaca, pihak apotek wajib menanyakannya langsung kepada dokter yang bersangkutan agar tidak terjadi kesalahan. Obat-obatan yang ditulis dalam resep ada bermacam-macam. Berikut adalah perinciannya, Obat-obatan "kuratif". Sesuai dengan namanya, kuratif, yang berarti menyembuhkan, obat-obat jenis ini adalah inti dari pengobatan. Tujuan utamanya tentu saja untuk menyembuhkan penyakit. Yang termasuk dalam kategori ini biasanya adalah golongan antibiotik. Obat jenis ini harus ditebus secara utuh (seperti kata teman saya di atas). Itulah sebabnya mengapa dokter atau petugas apotek sering berkata "antibiotiknya habiskan ya!". Antibiotik harus diminum secara rutin, tidak boleh tertunda ("bolong-bolong"), apalagi terhenti sebelum habis. Harus dihabiskan, bahkan jika pasien sudah merasa sembuh. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi resistensi, atau kekebalan kuman terhadap antibiotik. Jika antibiotik diminum "bolong-bolong" atau tidak dihabiskan, kuman yang hendak dibunuh dengan antibiotik itu tidak mati, justru menjadi lebih kebal terhadap antibiotik itu. Di kemudian hari, jika daya tahan tubuh melemah, atau kuman masuk ke dalam tubuh orang lain yang daya tahan tubuhnya lebih lemah, maka antibiotik yang sudah pernah diberikan itu menjadi tidak mempan lagi. Akibatnya, dokter harus memberikan jenis antibiotik yang lebih kuat. Semakin kuat suatu antibiotik, semakin besar efek sampingnya, dan semakin mahal harganya. Bahkan ada yang hingga jutaan rupiah. Ingat kata-kata yang saya tulis sebelumnya "obat adalah racun", jadi semakin kuat obat yang diberikan, semakin besar "racunnya". Obat-obatan "paliatif". Paliatif berarti "penyerta", pengurang atau penghilang gejala. Obat-obatan ini tidak menyembuhkan suatu penyakit, tapi hanya menghilangkan gejala. Ambil contoh penyakit radang tenggorokan. Penyakit ini menyebabkan nyeri tenggorokan, batuk dan kadang disertai demam. Penyakit ini sebetulnya sering disebabkan oleh infeksi bakteri, dan untuk menyembuhkannya cukup dengan antibiotik saja (untuk membunuh kuman penyebab). Jika kuman tersebut hilang, gejala pun akan hilang. Hanya saja, pasien terkadang tidak sabar dan ingin segera sembuh, karena gejala inilah yang dirasa amat mengganggu dan yang menyebabkan pasien mencari pertolongan dokter. Oleh sebab itu, dokter sering menambahkan obat-obat lain, seperti obat batuk, obat penurun panas, obat kumur pelega tenggorokan, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu tergolong obat-obatan paliatif. Obat-obatan jenis ini boleh ditebus sebagian saja, dan boleh dihentikan jika pasien sudah merasa agak baikan. Obat-obatan "pengontrol". Sebetulnya obat-obatan jenis ini termasuk ke dalam obat-obatan kuratif, tapi saya pisahkan karena memerlukan perhatian khusus yang berbeda dari obat-obatan kuratif. Obat-obatan seperti ini harus diminum terus-menerus dan tidak boleh berhenti, kecuali atas petunjuk dokter. Jika obat yang diresepkan habis, pasien harus kembali ke dokter yang bersangkutan atau membeli kembali obat tersebut di apotek (yang pertama jauh lebih baik). Disebut "pengontrol" karena obat-obatan ini yang mengontrol penyakit agar tidak kambuh atau semakin parah. Jika dihentikan tanpa petunjuk dokter, penyakit dapat kambuh bahkan lebih parah dari sebelumnya. Yang tergolong obat ini adalah obat-obatan untuk darah tinggi, diabetes mellitus (kencing manis), penyakit tiroid, asma menetap, dan lain sebagainya. Sebaiknya pasien segera kontrol atau membeli kembali obat tersebut di apotek (jika memang pasien dalam pengobatan tersebut untuk jangka waktu lama) sebelum obat habis, agar pasien tidak putus obat secara tiba-tiba, dan penyakit kembuh kembali. Untuk obat jenis ini boleh dibeli sebagian, asal sebelum obat habis, harus sudah dibeli lagi sisanya. Obat-obatan "suplementasi". Obat-obatan jenis ini biasanya berupa vitamin. Dokter biasanya meresepkan vitamin dengan asumsi bahwa asupan makanan pada orang-orang yang sakit biasanya berkurang, sedangkan orang sakit memerlukan vitamin lebih banyak dari orang sehat. Obat jenis ini bisa jadi sangat penting, bisa juga tidak. Jika anda merasa makan anda cukup banyak dan gizinya seimbang, anda tidak perlu mengonsumsi suplementasi vitamin. Cukup dari makanan saja. Menurut pengalaman saya, vitamin-vitamin inilah yang harganya justru lebih mahal dibanding harga obat-obatan kuratif. Padahal kandungannya bisa didapat dari asupan makanan kita sehari-hari. Akan tetapi, suplementasi vitamin ini bisa jadi sangat penting. Terutama pada orang-orang yang asupan gizinya kurang selama sakit. Pada keadaan seperti itu, vitamin diperlukan agar obat-obatan yang lain dapat bekerja dengan baik. Seberapa pun mujarabnya obat yang diberikan, namun jika tubuh kekurangan zat gizi, maka proses penyembuhan pun akan terhambat. Oleh karena itu, obat-obatan seperti ini boleh tidak ditebus jika anda merasa asupan gizi anda cukup. Artikel ini hanya sekedar saran saja. Dapat digunakan jika dokter atau apoteker anda terlalu pelit untuk menjelaskan isi resepnya pada anda. Yang terbaik, tetap saja dengan menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Jika anda tidak mampu menebus seluruh obat yang diresepkan, ada baiknya anda kembali lagi ke dokter yang meresepkan dan memintanya untuk mengganti dengan resep obat generik, atau menanyakan padanya obat mana yang bisa ditebus lebih dahulu. Hal itu tentu saja jauh lebih baik dibandingkan memutuskan menebus setengah resep tanpa mengonsultasikannya dengan dokter yang bersangkutan. Anda harus sedikit "cerewet" mengenai urusan ini, karena andalah yang akan meminum obat ini. Jadi, jangan ragu untuk bertanya! Mudah-mudahan bermanfaat. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H