Tari Remo dalam Pendekatan Prespektif  Struktural dengan Teori Fungsionalisme Malinowski
Kesenian merupakan salah satu contoh dalam unsur kebudayaan yang terjadi dikarenakan adanya keinginan manusia untuk memuaskan nalurinya akan estetika. Hal ini berkaitan dengan pendirian teori fungsionalisme Malinowski mengenai segala aktivitas kebudayaan pada dasarnya digunakan untuk memuaskan berbagai rangkaian dari sebuah kebutuhan naluri seseorang yang memiliki hubungan dengan keseluruhan kehidupan seseorang tersebut (Koentjaraningrat, 1987). Contohnya ialah seni tari dalam pertunjukan yang di mana merupakan bentuk seni yang lahir dalam masyarakat, dikembangkan dan ditonton oleh masyarakat.
Jawa Timur memiliki kesenian beraneka ragam yang sangat unik seperti reog, tayub, tari remo, tari topeng dan masih banyak lagi. Seperti di Kota Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur sendiri memiliki kesenian yaitu tari Remo (Jalal, 2019). Tari Remo merupakan tari selamat datang khas Jawa Timur yang menggambarkan karakter dinamis masyarakat Surabaya/Jawa timur yang dikemas sebagai gambaran keberanian seorang pangeran.Â
Tari tradisional ini biasanya ditampilkan pada pembukaan Ludruk (Rakasiwi etal., 2015). Tari remo merupakan sajian tari yang digunakan untuk penyambutan tamu pada tradisi pertunjukan di Jawa Timur. Dalam perkembangannya, seni tari tradisional termasuk tari remo mengalami sedikit penurunan dari peminat dimana masyarakat kurang mengetahui tentang makna dan filosofi tari yang ada di Indonesia dan kebanyakan mereka tahu adalah modern dance, shuffledance, breakdance, dan lain-lain.Â
Padahal dalam tari remo, terdapat bagian gerakan yang saling berhubungan dan memiliki makna tersendiri yang nantinya secara struktural mendukung terciptanya kesenian sebagai kebudayaan yang utuh dan padu. Salah satu nilai yang terkandung dalam tari remo ialah estetika, dalam tiap gerakannya, terdapat makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai estetika.Â
Selain itu juga terdapat unsur simbolik pada gerakan tari remo, yang pertama yaitu Gedruk yang merupakan gerakan kaki membuka dan kaki kanan sedikit ke depan, serta kaki kanan menghentak lantai memiliki arti suatu eksadaran diri terhadap setiap kehidupan di muka bumi.Â
Selanjutnya ialah gerakan Gendewa, yang memiliki makna representasi sikap gesit ksatria layaknya anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Lalu terdapat gerakan Tepisan yang bermakna penyatuan seseorang dengan kekuatan alam.Â
Tidak hanya itu, terdapat gerakan Ngore Remo yang bermakna perbaikan fisik. Pada dasarnya, ragam gerak dalam sebuah tarian merupakan representasi kehidupan sehari-hari manusia. Pada gerakan tari Remo sendiri, gerakannya didominasi oleh gerakan kaki yang rancak dan dinamis.
Gerakan tersebut merupakan representasi dari gerakan yang gagah layaknya ksatria di medan pertempuran. Selain itu, gerakan yang merepresentasikan kegagahan dan kemaskulinan pada tari Remo juga didukung dengan adanya paduan anggukan dan gelengan, gerakan tangan.
Busana yang dikenakan penari remo sendiri beragam, dibedakan menjadi tari remo Surabayan, Sawunggalingan, Malangan serta Jombangan. Walaupun begitu, terdapat kesamaan yang menjadi ciri khas penari remo yaitu penggunaan ikat kepala berwarna merah, baju berlengan panjang, kain batik corak pesisiran, kain setagen, selendang bahu, lonceng gelang kaki serta celana setinggi lutut. Penari Remo juga memakai riasan wajah pada bagian alis dengan ciri khas tebal dan bercabang. Pada bagian pipi diberi warna merah pekat lengkapdengan kumis serta jambang.Â
Tata rias tersebut bertujuan agar penampilan penari sesuai dengan konsep gerakan serta makna yang ada dalam Tari Remo. Riasan wajah juga meningkatkan penyampaian maksud tarian kepada penonton Busana dan riasan tersebut diseragamkan dengan tujuan menonjolkan sifat gagah dan maskulin layaknya seorang ksatria.