Sebuah viral story yang beredar luas di kalangan facebooker maupun whatsapper, yang bersumber dari majalah internasional Qiblati, dengan judul 'Tas Siswa SMA' mengajarkan kembali kepada kita tentang apa itu prasangka buruk dan kepedulian sosial.
Seperti di Indonesia, sebuah sekolah putri setara SMA di San'a', ibukota negeri Yaman, rutin melakukan razia terhadap tas-tas para siswinya guna menegakkan disiplin dan aturan di kalangan anak didiknya. Tak dinyana, pada satu kesempatan razia kedapatan seorang siswi, yang tergolong pandai dan tidak neko-neko, berkeras tidak mau mengijinkan tim pemeriksa menggeledah tasnya seraya mengarahkan pandangan penuh kebencian kepada tim pemeriksa maupun siswi-siswi lain di sekelilingnya. Bahkan saat tim pemeriksa memaksa merampas tas dari tangan siswi tersebut, sang gadis berkeras mempertahankannya sehingga terjadi aksi tarik-menarik yang membuat suasana kian hingar-bingar dan diakhiri dengan meledaknya tangis putus-asa siswi tersebut. Mendapati respon yang luar biasa dari siswi yang terkenal bereputasi baik tersebut membuat suasana menjadi hening. Ada yang bersimpati kepada siswi tersebut, namun banyak pula yang mulai menaruh prasangka pada isi tasnya? Apa sebegitu memalukannnyakah sehingga gadis itu rela menjadikan dirinya pusat perhatian? Jika begitu memalukan, perbuatan macam apa yang akhirnya mengantarkan 'benda' yang kini ada dalam tasnya? Kecurigaan pun makin intens. Untunglah sekolah tersebut memiliki kepala sekolah yang bijaksana. Maka dibawalah siswi tersebut ke sebuah ruang khusus yang mana guru maupun siswi lain tidak diperkenankan kehadirannya, kecuali sang siswi, kepala sekolah beserta tim pemeriksa. Setelah gadis itu merasa tenang bahwa aibnya tidak akan tersebar luas, akhirnya gadis itu memperbolehkan tim pemeriksa menggeledah tasnya. Setelah menggeledah dengan seksama, tim pemeriksa sama sekali tidak menemukan benda-benda janggal dalam tas tersebut, sebagaimana yang mungkin telah dipersangkakan menilik aksi luar biasa yang telah diperlihatkan sebelumnya. Selain barang-barang perlengkapan belajar, isi tas tersebut hanya berupa beberapa potongan-potongan sisa roti yang tak termakan. Dan jawaban gadis itu sebagai konfirmasi atas pertanyaan kepala sekolahnya membuat udara dalam ruangan itu bergetar:
1) Potongan-potongan roti tersebut adalah sisa-sisa roti milik siswi-siswi lain yang telah dibuang di lantai atau tempat sampah oleh pemiliknya. Dan karena dirinya berasal dari keluarga fakir, maka potongan-potongan roti itulah yang menjadi sarapan baginya. Sedangkan sisanya akan dia bagikan kepada anggota keluarganya yang lain di rumah, sepulangnya ia dari sekolah;
2) Bahwa dirinya berkeras tidak mau digeledah di depan umum karena jika hal itu sampai diketahui oleh siswi-siswi yang lain, dia tidak yakin dirinya akan mampu menanggung rasa malu, yang selain akan mengancam kelanjutan pendidikannya juga akan mengancam kelangsungan pangan keluarganya. Untuk itu dia pun rela menanggung sendiri prasangka buruk dari teman-temannya.
Mendengar penjelasan tersebut, tidak seorang pun yang ada dalam ruangan itu mampu membendung air mata mereka. Akhirnya kasus itu pun ditutup tanpa harus mempertaruhkan kemuliaan sang siswi. Dan kalau pun masih terdapat rasa penasaran maupun prasangka, setidaknya kelangsungan pendidikan dan kehormatan keluarga gadis itu tetap terjaga.
Dan ketika akhirnya kisah itu sampai kepada kita, entah itu benar ataukah rekaan semata, setidaknya kita akan dapat mengambil hikmahnya. Betapa banyak di antara kita yang berprasangka bahwa reaksi sang siswi atas razia tersebut hanya terkait hal-hal yang memalukan semata. Kalau pun ada yang berusaha positif thinking, tidak akan mampu membayangkan dalih kebaikan macam apa yang berusaha dilindungi oleh gadis itu dengan bertindak demikian. Namun akhirnya terbukti juga, bahwa memang ada beberapa kemuliaan yang harus berkelindan dengan hal-hal yang telanjur ditempeli label 'hina' oleh masyarakat sehingga terjadilah hal-hal sebagaimana kisah di atas. Pernah penulis membaca di sebuah koran lokal mengenai kisah seorang mahasiswi yang berhasil menyelesaikan kuliah S1-nya dari hasil usahanya memulung sampah. Gadis itu bercerita bahwa sebenarnya ada juga beberapa pihak yang memandang rendah aktivitas yang dia lakukan. Namun terbukti, pimpinan redaksi maupun sebagian besar pembaca harian Radar Malang mengangkat topi akan usaha sang gadis dalam memperjuangkan cita-citanya.
Untunglah masih ada media-media yang berkenan mengangkat isu-isu sosial semacam ini sehingga mampu menggugah kesadaran masyarakat yang seringkali terlelap akan realita yang dihadapi oleh sesamanya yang sesungguhnya masih ada dalam lingkaran yang sama. Bahwa di luar komunitas yang selalu berlomba-lomba memandang ke atas, bahwa seperti pepatah di atas langit masih ada langit, maka di bawah tanah yang kita pijak saat ini masih ada komunitas lain yang hidup di bawahnya. Jika saja sekolah-sekolah mau mengembangkan kapasitasnya dengan menggali profil anak-anak didiknya secara lebih mendalam, saya rasa kejadian siswa harus memulung demi kelangsungan cita-citanya tidak harus terjadi. Dan dalam skala yang lebih luas, seandainya saja masyarakat mau lebih aktif meningkatkan kepedulian sosialnya--tidak hanya terpaku pada usaha meningkatkan kapasitas pribadinya sendiri--serta berani bertindak, saya rasa tidak akan terjadi kondisi yang sedemikian terpuruk. Karena sebagaimana fitrah manusia yang sebenarnya akan merasa iri (baca: tidak rela) jika ada manusia lain yang lebih sukses dari dirinya, maka sesungguhnya dia pun tidak akan tega jika menyaksikan ada manusia lain yang hidupnya amat menderita. Sehingga kalaupun dia tidak menginjinkan dirinya dilampaui, setidaknya dia tidak akan membiarkan sesamanya berada dalam kondisi memilukan di hadapan matanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H