Mohon tunggu...
findraw
findraw Mohon Tunggu... Administrasi - Indescripable

Indescripable

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Riyaa' dalam Keikhlasan

2 Oktober 2014   21:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:37 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Untuk bisa mencapai dataran ikhlas, maka sebelumnya kita pasti harus mengarungi lautan riyaa' (baca: bangga akan keadaan diri). Tidak akan mungkin seseorang dapat menjadi pribadi yang ikhlas jika dirinya tidak mawas diri terhadap gejala-gejala riyaa' yang harus dia kenali. Untuk megenalinya, maka pengalaman adalah cara terbaik untuk mempelajarinya. Tapi sekali pun nantinya dataran ikhlas telah terengkuh, jangan lantas mengira syaitan akan rela membiarkan anak-cucu Adam bersuka-cita menggapai kemuliaan ikhlas. Masih banyak debu-debu riyaa' yang ditaburkan oleh syaitan, sedemikian halusnya sampai-sampai orang-orang sholeh pun harus selalu waspada, serta radar ke-riyaa'-annya senantiasa terasah dan berfungsi.

Adapun bentuk-bentuk riyaa' halus itu bisa berupa:

1) Menceritakan kelemahan orang lain dengan maksud agar pendengar tahu bahwa dirinya tidak memiliki kelemahan itu. Misalnya, seseorang menyebutkan kelemahan saudaranya yang jarang sedekah sedekah, sebagai ungkapan pengganti akan pernyataan bahwa dirinya adalah seorang ahli sedekah. Ini adalah riyaa' dobel dosa dimana selain dia mendapatkan dosa riyaa', dia pun mendapatkan dosa besar lainnya, yaitu ghibah;

2) Memuji-muji Alloh atas nikmat dan karunia yang telah Alloh limpahkan kepadanya dengan maksud menunjukkan bahwa dirinya termasuk orang yang telah meraih kecintaan Alloh sehingga patut mendapatkan seluruh nikmat dan kemuliaan itu;

3) Menyanjung kehebatan gurunya dengan maksud menunjukkan bahwa dirinya pastilah sosok hebat karena telah menimba ilmu dari guru yang hebat;

4) Merendahkan diri dalam rangka meninggikan mutu agar dilihat sebagai pribadi yang tawadhu/rendah hati;

5) Menyatakan kegembiraan atas keberhasilan dakwah yang dilakukannya, semisal berbangga diri mengenai kian bertambahnya jumlah jamaahnya, atau tentang jumlah orang yang mendapatkan hidayah/kebaikan lantaran kepintaran dirinya dalam berdakwah;

6) Menyebut-nyebut musibah orang-orang yang pernah menyelisihi dirinya, seakan ingin menunjukkan bahwa dia adalah wali Alloh sehingga barang siapa yang mengganggu dirinya akan segera mendapatkan kemurkaan dan azab Alloh;

7) Memamerkan kedekatannya dengan para da'i atau ustadz karena ingin dianggap sebagai pribadi yang disenangi oleh orang-orang sholeh tersebut. Maksudnya tentulah karena ingin dianggap sebagai orang yang berkedudukan mulia juga. Padahal kemuliaan bukanlah diukur dari kedekatannya seorang hamba dengan orang sholeh, melainkan dari ketakwaannya;

8) Menyebut-nyebut ibadah yang dilakukannya dengan dalih ingin menyiarkan sunnah, padahal sebenarnya ingin dilihat sebagai orang yang ahli ibadah;

9) Meremehkan/mencela kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang lain seolah dirinya sendiri tidak memiliki kekurangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun