Jalanan selalu dapat memberikan pelajaran tentang hidup kepada kita. Misalnya pagi ini, saat berpacu dengan waktu menuju lokasi kerja, sempat terlintas dalam pikiran saya tentang apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan oleh manusia dalam hidupnya di dunia ini.
Di sela-sela rutinitas dahulu mendahului di jalan raya saya jadi merasa bahwa selama ini lebih banyak aksi-aksi yang sebenarnya tidak perlu saya lakukan tetapi tetap saja saya lakukan hanya karena saya ingin atau mumpung ada kesempatan. Seperti di jalanan pagi ini, saya sempat sewot ketika ada kendaraan di depan saya jalannya tidak laju, atau ketika jalanan lengang godaan untuk ngebut muncul, atau saat merasa puas sewaktu ada kendaraan yang ingin mendahului kita harus gagal karena kita tidak mau menurunkan (atau bahkan menambah?) kecepatan, atau saat kita memotong laju kendaraan lain karena pengen cepat-cepat belok, atau atau-atau yang lain. Sementara sebenarnya tanpa aksi-aksi seperti tersebut di atas kita pun tidak akan terlambat sampai di tempat kerja. Bahkan dengan aksi-aksi tersebut kita sebenarnya malah membahayakan keselamatan pribadi dan orang lain.
Menyadari hal-hal tersebut, jadi ingin mengkalkulasi sudah berapa banyak aksi-percuma (bahkan merepotkan orang lain) yang telah saya lakukan, dan apa-apa saja hal yang saat ini sedang saya rencanakan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Selama ini aksi-aksi kita seringkali digerakkan hanya oleh rasa (iseng) ingin tahu dan (memperbaiki/menjaga) gengsi. Padahal tanpa mengetahuinya, toh kehidupan kita tidak akan terpengaruh; atau setelah mengetahui kesudahannya malah bisa jadi mendatangkan rasa sesal. Kita semua tahu bahwa rasa ingin tahu itu bagus bahkan mampu mengantarkan kita ke gerbang pencerahan, hanya saja rasa ingin tahu itu pun bermacam-macam kategorinya. Nah, proses belajar yang telah kita tempuph selama inilah yang harusnya dapat menjadi filter untuk membantu memilah mana rasa ingin tahu sejati dan mana yang iseng belaka. Dan tentang gengsi, kita semua tahu bahwa itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan nama-baik atau martabat. Karena sejatinya orang-orang bermartabat tidak akan ambil pusing dengan yang namanya gengsi; mereka sudah merasa cukup dengan apa yang mereka miliki. Sementara orang-orang yang berlomba-lomba menaikkan gengsi dengan harapan akan membantu mengatrol martabatnya, alam bawah sadarnya mengatakan bahwa martabatnya sedang dalam kondisi rawan sehingga butuh dikatrol. Sayangnya, martabat itu mahal harganya. Dan tak mungkin terbeli oleh materi atau sensasi-sensai bombastis. Seperti ungkapan yang sudah sering kita dengar:
Uang dapat membeli takut, bukan hormat
Uang dapat membeli bawahan, bukan sahabat
Uang dapat membeli seks, bukan cinta
Uang dapat membeli pendidikan, bukan ilmu
Uang dapat membeli rumah, bukan tempat tinggal
Uang dapat membeli obat, bukan sehat
Uang dapat membeli gengsi, bukan martabat
Lihat saja betapa banyak seleb-seleb muda saat ini yang melakukan hampir semua sensasi demi meningkatkan daya jualnya. Namun apakah itu semua mampu mendongkrak martabatnya sebagai manusia? Kita tentu sudah tahu jawabannya.. ;-p
Akhirnya, marilah kita berdoa semoga diberikan kemampuan untuk mengenali peristiwa-peristiwa dan kemudian bereaksi dengan tepat, serta semoga kita selalu merasa cukup dengan apa-apa yang ada dan dikaruniakan kepada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H