Sejatinya, fenomena Golongan Putih (golput) ini sudah dikenal di negara ini sejak lama berselang. Tapi tahukah anda bahwa fenomena ini mulai digulirkan oleh aktivis Arief Budiman dan kawan-kawannya menjelang pemilihan umum (pemilu) Orde Baru 1971? Yang mana karena menganggap pemilu ala Pak Harto saat itu tidak demokratis, mereka menganjurkan agar orang-orang mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan mencoblos bagian putih mana pun pada lembar suara asalkan tidak pada gambar sepuluh Partai Politik (parpol) yang menjadi kontestan saat itu. Itu adalah golput orisinil yang dilandaskan kepada kesadaran sikap berpolitik. Dan seiring berkembangnya peradaban, landasan orang menjadi simpatisan golput pun kian terdeferensiasi menjadi beberapa turunan. Oleh masyarakat, turunan-turunan ini dilabeli dengan beberapa istilah, antara lain:
GOLPUT (ORI)
Golput yang ini adalah golongan yang memutuskan untuk menjadikan golput sesuai dengan filosofi asalnya; datang ke TPS ~ coblos bidang non-pilihan ~ celup jari ~ pulang. Golongan ini biasanya dihuni oleh orang-orang dengan tingkat pendidikan yang rata-rata tinggi, melek politik dan mengikuti dinamikanya, serta berpandangan idealis. Saat ini, diperkirakan jumlah golongan ini sedikit tidak banyak.
Sebagai ilustrasi, dari sekitar 250 juta penduduk negeri ini, penduduk yang mendaftarkan dirinya sebagai Calon Legesltif (caleg) pada pemilu kali ini sekitar 200.000-an orang, mulai dari caleg DRP RI, DPD, DPR Propinsi, sampai DPR Kabupaten/Kota. Harapan kita, tentunya dari jumlah 200 ribu caleg itu termasuk orang-orang yang sudah 'melek'. Namun sayangnya, liputan-liputan media telah membuktikan menunjukkankan bahwa tidak seluruh caleg mengerti apa yang seharusnya mereka pahami selaku calon wakil rakyat. Tidak jarang caleg-caleg tersebut terlalu naif atau terlalu cuek atau terlalu pede sehingga termakan oleh rayuan parpol yang ingin memanfaatkan popularitas mereka (entah itu hasil atas prestasi, kontroversi, atau kisah pilu) demi meraih simpati massa. Menurut hasil perhitungan cepat CSIS dan lembaga survey Cyrus Network, sebagaimana dilansir oleh Merdeka.com, jumlah golput dalam pemilu kali ini mencapai 24,8%. Dan bila jumlah itu masih harus dibagi-bagi dengan pastisipan turunan lainnya yang lebih ngetrend, bisa diperkirakan bahwa golpot kategori ini sudah tidak banyak lagi.
GOLKAT (Golongan Terikat)
Istilah ini biasanya disematkan kepada para pemilik suara yang mendapatkan undangan mencoblos, tapi karena berstatus sebagai buruh-bermajikan-diktator akhirnya mereka tidak bisa menyalurkan aspirasinya karena dilarang berangkat ke TPS oleh sang juragan. Jumlah golongan ini tidak bisa diidentifikasi karena sebagian besar penghuni golongan ini adalah orang-orang yang pasrah dan tidak terlalu keberatan dengan laranganan sang majikan. Pikir mereka, toh, hasil pemilu tidak akan banyak mengubah nasib; karena nasib mereka terletak di tangan juragan mereka.
GOLBAI (Golongan Terabaikan)
Kelompok ini dihuni oleh orang-orang yang kesulitan menjangkau TPS. Entah karena lokasi TPS terlalu jauh, ataukah jalur aksesnya terlalu memberatkan. Bisa jadi orang-orang ini bahkan tidak mengetahui haknya; karena namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak ada yang mau bersusah-payah untuk mengedukasi mereka. Atau bisa juga mereka adalah para pekerja yang hidup di lokasi-lokasi ekstrem (semisal kilang minyak lepas pantai) yang jika ngotot menuntut hak suaranya malah akan memberatkan diri mereka sendiri.
GOLCU (Golongan Cuek)
Kelompok ini diisi oleh orang-orang yang mungkin bahkan tidak tahu kapan tanggal pencoblosan dilakukan. Itu tidak penting. Mereka tidak peduli siapa yang mengelola negeri ini, akan diapakan negeri ini, akan dibawa kemana negeri ini, selama kebutuhan mereka sendiri sudah tercukupi. Penghuni kelompok ini adalah orang-orang oportunis; bagaikan bunglon (atau kecoak?), mereka bisa cepat beradaptasi dengan segala perubahan yang ada dan mampu mengeruk keuntungan bagi diri mereka sendiri dalam kondisi dan situasi apa pun; perang nuklir sekalipun! Bagi mereka, negara di dunia ini bukan cuma Indonesia; persetan dengan nasionalisme!
GOLEG (Golongan Egois)
Nah, golongan satu ini kelihatannya mulai menjadi favorit pada beberapa pemilu terakhir ini. Golongan ini banyak dimotori oleh kasta masyarakat kelas menengah (pendidikan lumayan, penghasilan lumayan, konsumtif, dan mampu mengakses fasilitas yang disediakan negara dalam jumlah yang lumayan besar) yang karena telah terbuai oleh zona nyaman merasa bahwa perjalanan menuju TPS adalah salah satu aktivitas yang melelahkan. Dalih pun dikemukakan, "Malas, ah!". Sayang sekali, padahal sejatinya mereka adalah orang-orang yang peduli dengan negara ini dan mengikuti dinamika perpolitikannya (meski sebatas headline berita media mainstream, komentar di jejaring sosial, dan obrolan pengantar merokok dan coffee break). Maka karena informasi yang didapat kebanyakan berupa kasak-kusuk dan provokasi, tidak aneh jika mereka pulalah yang paling keras menyuarakan cemoohan dan caci-maki kepada pemerintah. Mereka merinci hal-hal yang harus diperbaiki, cara untuk memperbaikinya, dan bagaimana seharusnya mengelola negara ini. Dengan demikian, mereka kemudian merasa telah berperan dalam membangun negeri ini lalu menitipkan semua daftar dan tips tersebut kepada pemerintah untuk segera ditindaklanjuti. Namun ketika mereka diminta untuk ikut aktif memilih pemerintah mana yang harus memenuhi tuntutan mereka, mereka menolak dengan dalih pemerintah tidak bisa dipercaya. Jika diibaratkan mereka sama dengan orang yang berdoa kepada Tuhan, minta cepat kaya-raya, tapi tidak mau susah-payah bekerja, lantas marah-marah karena beranggapan Tuhan tidak becus mengabulkan doa. Golput type ini adalah orang-orang yang menuntut hari pencoblosan dijadikan hari libur, tapi bukannya mencoblos malah plesiran ke tempat-tempat wisata. Termasuk juga orang yang marah-marah ketika mendapati namanya tercantum dalam daftar piket lembur saat hari pencoblosan dilaksanakan, karena menjadikan rencana pelesirnya kacau-balau.
Tapi apa pun istilahnya, ada yang menyebut golput bisa dimaknai sebagai GOLMAN/GOLPUTAS (golongan orang-orang manja yang putus asa); mereka menginginkan kemajuan, tapi lantas tidak yakin mereka akan mampu mencapainya setelah melihat bahwa perangkat yang tersedia tidak seperti yang mereka harapkan. Tanpa mau berusaha lebih keras lagi, mereka akhirnya memasrahkan masa depannya diombang-ambingkan oleh orang-orang sekitar yang belum tentu sepaham ataupun peduli kepadanya, lantas sambil mengomel-omel menggantungkan harapannya kepada nasib baik semata.
Terinspirasi oleh tulisan Rohman Budijanto
MENCANDAI, MENYEMANGATI COBLOSAN
JAWA POS, 9 April 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI