Ketika ada yang mengatakan, "Mengapa, sih, tidak mau sekedar mengucapkan selamat? Kan cuman sebatas kata saja" sebagai ungkapan keheranannya atas ketidaktoleran saya akibat tidak memberikan ucapan selamat natal kepada teman-teman Nasrani yang tengah merayakannya, dahulu saya suka kebingungan memberikan jawaban. Penjelasan bahwa itu semua adalah masalah keyakinan rasanya sudah terlalu jamak dilakukan dan tidak banyak membantu meredakan keheranan tersebut. Namun sekarang, ucapan terimakasih saya tujukan kepada Ustadz Fathulbarri yang telah membantu memunculkan kembali memori atas sebuah ungkapan yang pernah saya dengar/baca entah kapan-dimana yang meneguhkan alasan saya kemudian tidak mengucapkan selamat hari natal kepada teman-teman Nasrani saya: "Jika ucapan selamat hanyalah sebuah kata-kata, maka akankan ada orang Nasrani yang akan legawa jika diminta untuk mengucapkan dua kalimah syahadat?" Jika jawabannya adalah 'tidak' maka tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan ini. Namun jika kemudian ada seorang yang mengaku Nasrani mengklaim bahwa dirinya bersedia mengucapkan dua kalimah syahadat dengan pemahaman bahwa itu hanyalah sebatas kata-kata, maka saya hanya bisa mengatakan mungkin dia lupa bahwa konsep nilai diri kita di dunia ini ditentulan oleh keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Jika ada seseorang mengatakan sebuah perkara namun kemudian menolak melakukan/menerima konsekuensi dari ucapannya sendiri, maka tidak berlebihan jika masyarkat kemudian menyematkan predikat pendusta dan munafik kepada orang itu.
Penjelasan lain dari sang Ustadz adalah bahwasanya, secara terminologi, ucapan selamat adalah ungkapan kegembiraan atas suatu hal; tidak ada orang yang tengah berduka akan merasa senang jika diberi ucapan selamat. Dan bahwa Natal sendiri dirayakan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Isa, Sang Anak Allah. Sementara pokok iman yang diyakini oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia adalah bahwa Tuhan Pencipta Seru Sekalian Alam tidaklah memiliki anak dan tidak pula diperanakkan. Maka memberikan ucapan selamat merayakan Natal dapat diartikan sebagai tindakan yang akan melukai hati-Nya. Sekalipun sejatinya apa pun yang diperbuat oleh manusia tidak akan ada yang bisa menyakiti Allah atau mengurangi kemuliaann-Nya, namun secara etimologi tetap saja pemberian ucapan tersebut akan terasa tidak pantas.
Bayangkan saja anda memiliki seorang sahabat yang sangat baik sekali dan sering memberikan bantuan kepada anda, kemudian dia ditimpa musibah berupa fitnah bahwa dia telah melakukan zina dan dari perzinahan itu telah lahir seorang anak. Meski telah berkali-kali sabahat anda membantahnya, tetap banyak orang yang lebih mempercayai tuduhan tersebut. Dan sebagai sahabatnya, sebagai orang yang telah mengenal dia dengan amat baik, apakah etis jika anda ikut larut dalam hiruk-pikuk orang-orang itu, dengan meng-approve tuduhan mereka? Kalaupun anda adalah orang yang teramat baik, bisa jadi anda akan memberikan ucapan selamat kepada sang ibu atas proses kelahiran anaknya, bukan atas siapa ayah dari bayi itu, tentunya. Maka berbekal iman muslim, saya mengakui bahwa Maryam adalah seorang wanita terhormat yang dari rahimnya Alloh memuliakan dirinya dengan lahirnya Isa alaihissalam, seorang nabi sekaligus rasul yang diutus oleh Alloh untuk memperbaiki kondisi akhlak dan moral bangsa israil pada masa itu.
Tidak mengucapakan selamat merayakan natal bukan lantas berarti saya membenci umat Nasrani. Sama sekali bukan. Saya memiliki beberapa teman Nasrani. Bahkan dalam pengamatan saya, beberapa di antara mereka ada yang dalam menunaikan kebaikan universalnya mengalahkan banyak teman-teman muslim yang saya miliki. Saya sangat salut dan hormat kepada orang-orang itu; tanpa diminta pun, saya akan rela memberikan bantuan ketika mereka memerlukannya. Namun, kembali kepada ke-klisce-an, ini adalah masalah keyakinan. Ada saatnya ketika perbedaan telah sampai di tapal batasnya, kita harus menentukann sikap. Ada seorang ulama menyatakan: Agama bukanlah tentang logika, agama adalah tentang dalil; dalil yang bersumber dari Sang Maha Esa, yang melingkupi seluruh hikmah & pengetahuan sejak milyaran juta tahun yang lalu, saat awal dimulainya masa penciptaan alam semesta ini hingga pada era-era mendatang. Yang mana keseluruhan hikmah & pengetahuan itu tidak akan pernah tersingkap sepenuhnya oleh logika peradaban modern yang baru berusia +/- 200.000 tahun ini.
Kesepakatan universal menyatakan bahwa berlebih-lebihan hanya akan menuntun pada kehancuran. Termasuk membabi-buta dalam memberikan dukungan atas nama kehormatan dan cinta. Jangan sampai rasa hormat dan sayang yang kita rasakan malah akan menjadikan kita kehilangan jati diri kita sendiri. Perbedaan bukanlah sebuah bencana. Dengan toleransi dalam takaran yang tepat, maka perbedaan itu akan tertata dengan tepat sehingga menciptakan keindahan yang harmonis dan memberikan ketenteraman antar sesama penghuninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H