Setelah selama ini menyerahkan tetek-bengek pendidikan kepada sang ibu, akhirnya setelah lewat tiga tahun saya mengalami juga yang namanya menemani hari pertama anak masuk sekolah. Kebetulan tahun ajaran baru ini, Junior masuk Taman Kanak-Kanak (TKK), dan kebetulan juga jumlah cuti sang ibu sudah kritis sementara cuti milik saya masih bisa dipandang mending, maka saya putuskan mengambil cuti lima hari untuk mendampingi Junior mencicipi hari-hari pertama TKK-nya.
Atas masukan calon gurunya agar Junior (4 tahun 10 bulan) diajak terlibat langsung dalam persiapan memasuki ajaran baru, seperti memberi label nama dan menyampul buku-buku pendamping, sering-sering memberikan informasi tentang TKK yang akan dimasuki, mengkondisikan bahwa Junior sudah besar dan sudah waktunya masuk TKK, akhirnya lega juga melihat semangat besar dan antusiasme yang diperlihatkan Junior dalam menyongsong tahun ajarannya yang baru ini. Namun sayangnya, semangat besar dan antusiasme tersebut hanya bertahan hingga dia memasuki lapangan sekolah barunya. Seperti biasa, saya maklum jika Junior merasa malu saat pertama kali berada di lingkungan baru dan dikelilingi oleh orang-orang yang masih asing baginya. Masih wajar, batin saya. Saya tidak pula kuatir karena guru-gurunya pun mengatakan hal yang sama.
Kebetulan agenda hari pertama adalah sholat Dhuha berjamaah dilanjut dengan istighosah dan senam pagi bersama, baru setelah itu masuk kelas masing-masing. Saya mematuhi nasihat para guru di awal masa pendaftaran agar membawa Junior 15 menit sebelum agenda dimulai untuk memberikan kesempatan baginya bermain-main sekalian beradaptasi. Namun ketika waktu 15 menit telah berlalu dan Junior masih saja bergelayut enggan di kaki-kaki saya, mulai timbul rasa kuatir jika anak saya ini termasuk dalam kategori anak 'susah' (yeah, saya sudah tahu bahwa setiap anak itu berbeda-beda tingkat tumbuh dan berkembangnya, tapi tetap saja tapi itu ada). Apalagi demi menyaksikan bahwa teman-teman sepantaran Junior sudah berani ambil air wudhu sendiri, membeber sajadah sendiri, kemudian duduk-duduk menunggu iqomat dikumandangkan, sementara anak saya sendiri masih 'begini-begini' saja, sebagai orangtua perasaan cemas saya pun tergugah.
Akhirnya setelah dibujuk-bujuk, Junior pun akhirnya mau melepas kaos kaki dan sepatunya sendiri. Namun ya itu, berhenti sampai disitu saja. Akhirnya saya gendong dia ke tempat wudhu. Setelah dibantu mengambil wudhu oleh gurunya, saya gendong lagi Junior ke tempat sholat. Namun rupanya saya masih harus menikmati kecemasan ini lebih lama lagi karena Junior betul-betul tidak mau lepas dari saya. Demi memberikan dukungan penuh kepada pendidikan anak, akhirnya saya telan rasa malu dan ikutan duduk ditengah-tengah kebun krucil tersebut, mendampingi Junior yang tidak mau berbuat apapun kecuali berusaha mengalihkan pandangan dari lingkungannya. Ketika sholat Dhuha 2x2 rakaat dilaksanakan, Junior masih belum juga mau bekerjasama. Bahkan saya perhatikan, wajahnya makin lama makin merah. Saya hanya berusaha untuk bersabar dan memahami bahwa 'semua ini' termasuk tanggung jawab saya selaku orangtua; bahwa saya pun mempunya andil dalam membentuk Junior menjadi anak yang 'begini'. Pun saat istighosah dikumandangkan, dia malah membikin gerakan-gerakan membentur-benturkan punggungnya ke dada saya seolah protes mengajak segera pergi dari tempat ini. Dan disinlah saya membuat kesalahan dengan menghardiknya, "Jangan gitu, ah! Ntar ayah tinggal, lho!" Seakan mengesahkan kesalahan yang telanjur saya buat, tangis Junior pun kencang membahana. Astaghfirullah..! Saya langsung menyesal; menyesal karena telah merusak pelajaran-perjuangan Junior, karena telah merusak kesabaran saya, dan yang pasti, malu yang bertambah-tambah itu setimpal dengan keteledoran singkat tadi. Akhirnya saya rengkuh Junior dan sepanjang istighosah itu dia menghabiskan isakannya di dalam pelukan saya.
Ketika senam bersama dimulai hingga selesai dilaksanakan pun keadaannya masih sama saja; Junior tidak mau lepas dari kaki-kaki saya. Baru ketika senam berakhir dan murid-murid TKK dikumpulkan di panggung untuk menyanyi bersama, Junior mulai berani mempertahankan jarak dari saya dan duduk sendiri seraya bertepuk-tepuk tangan (meski tidak jauh dan masih mencuri-curi kesempatan nempel ke saya lagi). Itu pun sebenarnya karena saya masih bersamanya (dan kawanannya) berada di atas panggung, sambil berusaha menebus kesalahan yang saya perbuat tadi dengan ikut bernyanyi dan bertepuk-tepuk tangan dan melancarkan segala bentuk dorongan. Ketiga agenda ini terlewati, saya bisa sedikit lega melihat dia sudah bisa tertawa dan ceria lagi.
Namun lagi-lagi, rupanya Kecemasan belum rela melepaskan anak-beranak ini. Ketika Junior sedang berdiri di pinggir panggung menunggu giliran untuk memasang sepatu, salah seorang kawan menyenggolnya hingga jatuh dan.. menangislah (lagi) dia. Beruntung saya tidak diberi kesempatan untuk memperhatikan maupun mengingat wajah sang penyenggol kecil itu sehingga saya dihindarkan dari dendam kesumat yang berkepanjangan jika mengingatnya ;-) Hhhh.. sabar.. sabar.. Untungnya masih untung, kali ini tangis Junior tidak lama. Setelah beberapa usaha menghibur dan mendinginkan hatinya, akhirnya Junior mau ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya, ala kereta api, menuju ruang kelas mereka.
Sesampai di ruang kelas, saya pasrah jika masih harus bercokol di tengah-tengah kerumunan para krucil ini. Kali ini, malu (atau obsesi orangtua?) sudah bukan jadi prioritas saya lagi. Namun bukan berarti saya akan menyerah begitu saja dalam perjuangan mendidik anak saya untuk mandiri. Sambil terus berusaha membesarkan hatinya, saya dorong dia untuk mau melepas sepatu (kelasnya memang yang ala no-shoes-allowed deh), masuk kelas, menyimpan tasnya, dan memilih tempat duduk sendiri. Ternyata, A.L.H.A.M.D.U.L.I.L.L.A.H.!! Junior mau! Dan inilah kelebihan atas para orangtua yang tidak dimiliki para bujangan: hal sekecil-seremeh-sebiasa itu bisa membuat kami, para orangtua, (dalam hal ini: saya) bahagia. Subhanallah! Dan ketika prosesi demi prosesi berikutnya dilalui (ada mengambil-menyimpan kembali botol minum sendiri, ada minta ijin ke kamar kecil, ada makan sendiri, ada mengembalikan peralatan makan ke tempatnya sendiri, ada menjawab teka-teki guru, dan lain-lain yang tidak kalah kecil-remeh-biasa itu), saya hanya bisa bersyukur dan berdoa semoga proses selanjutnya selalu diberi kemudahan dan kelancaran.
Buat yang ingin tahu:
Alhamdulillah, hari kedua dan ketiga berjalan dengan lancar, kecuali saat kegiatan senam bersama. Tapi itu sudah bisa saya tebak karena selama tiga tahun Junior makan bangku Playgroup, tidak sekalipun dia berkenan bergabung dalam aktifitas itu ('Ntar aku diliatin orang-orang,' alasannya waktu saya tanya). Melihat perkembangan tiga hari ini, besar harapan saya Junior akan sudah siap ketika cuti yang saya ambil telah habis. Saya hanya bisa berdoa dan berharap semoga Alloh, Tuhan Seru Sekalian Alam, memberkahi doa ini. Aamiin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H