Mohon tunggu...
findraw
findraw Mohon Tunggu... Administrasi - Indescripable

Indescripable

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seorang PNS dan Kartu BPJS

4 Oktober 2015   08:11 Diperbarui: 4 Oktober 2015   13:59 2301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | Foto: health.kompas.com"][/caption]Saya pernah membaca Celestine Prophecy karya James Redfield yang salah satu buah pikirnya mengungkapkan bahwa kebetulan-kebetulan yang kita alami sepanjang hidup bukanlah sebuah kebetulan; melainkan telah terencana dan akan berimbas pada momen-momen berikutnya dalam hidup kita. Saya pribadi tidak meragukan pendapat tersebut. Namun tidak terlalu serius pula memikirkannya; hingga beberapa tempo kemaren saya dipaksa untuk menyikapinya.

Saat itu saya tengah mengantarkan istri ke sebuah RSIA untuk menjalani persalinan. Kejadian pertama diawali di meja resepsionis saat saya harus mengurus tetek-bengek administrasi perawatan pasca persalinan. Ketika saya tengah mengisi formulir-formulir yang diperlukan, saya mendengar percakapan seorang petugas RS dengan seorang bapak muda terkait pendaftaran persalinan istrinya:

"Bapak PNS?" tanya resepsionis.
"Iya."
"Bapak di formulir ini memilih untuk tidak menggunakan BPJS."
"Betul, Mas."
"Mengapa, Pak? Sayang lho.."
"Ga papa, Mas."

Saya tidak terlalu memperhatikan kejadian tersebut hingga keesokan harinya ketika saya hendak membayar biaya persalinan di kasir, dalam antrean di depan saya telah berdiri bapak-bapak muda yang sama, yang kemaren sempat bersua di meja resepsionis. Dan di loket kasir ini kembali saya manjadi saksi percakapan antara bapak muda itu dengan sang kasir:

"Persalinan normal tanpa BPJS, ya, Pak?" tanya Kasir.
"Iya, Bu.."
"Empat juta lima ratus, Pak."
...
"Bapak PNS?"
"Betul, Bu."
"Kok, ga pake BPJS, Pak? Sayang, lho.."
"Ga papa, Bu."

Saat itu saya kembali hanya berlaku sebagai pendengar, dan segera berlalu setelah urusan saya selesai. Namun ketika sambil menunggu waktu check-out, saya mampir ke lobby dan mendapati bapak muda yang sama berada di situ juga, sementara satu-satunya tempat duduk yang memungkinkan untuk saya singgahi adalah kursi di sebelahnya, ingatan tentang ide James Redfield dalam Celestine Prophecy sempat mengusik saya. Dus, ketika saya kemudian menetapkan niat untuk duduk di sebelahnya dan di latar belakang mendengar obrolan tentang BPJS-Kesehatan dari segerumbulan orang di ujung lobby, dengan sedikit gundah saya berpikir bahwa 3 kejadian dalam kurun 24 jam ini, dengan orang yang sama, tentang obrolan yang serupa, tidakkah ini penanda adanya sesuatu yang harus dituntaskan?

Pada akhirnya, ketika ada dua orang yang benar-benar asing harus ngobrol, pun saya bukanlah pembasa-basi ulung, maka apalah yang harus saya lakukan untuk membuka percakapan--dalam waktu yang terbatas, kecuali dengan cara berterus-terang dan apa adanya. Dan didukung fakta bahwa penampilan bapak muda tersebut jauh dari kesan mengintimidasi, bahkan terlihat sederhana, membuat saya lebih mampu menekan gengsi saya untuk 'negur duluan'.

"Permisi, Pak.. maaf sebelumnya saya ingin bertanya tentang sesuatu." Dan demi mendapatkan sambutan yang menentramkan dari lawan bicara, maka lancarlah aliran cerita saya tentang keterikatan tiga peristiwa dengan manusia dan bahan obrolan yang sama. "Jadi sekiranya Bapak tidak keberatan, boleh saya tahu menggapa Bapak memutuskan tidak menggunakan BPJS njenengan?"

Sambil tersenyum, bapak muda itu mengatakan bahwa dia kasihan kepada pemerintah, khususnya BPJS-Kesehatan. Dalam penjelasannya, banyak berita di media yang mengabarkan bahwa selama usianya yang belum genap 1 tahun saja BPJS telah membukukan puluhan milyar kerugian operasional. Sehingga akhirnya dia memutuskan untuk menahan dirinya sendiri dari menambahi beban pemerintah yang telah banyak berhutang demi memenuhi tuntutan kesejahteraan rakyatnya, termasuk demi membayari upah bulanan yang diterimanya selaku PNS.

Merasa kurang 'sreg' dengan jawaban yang terkesan terlalu generik tersebut, saya pun dengan lancang nyerocos, "Kalo menurut perkiraan saya bisa jadi kerugian terjadi itu hanya karena BPJS masih baru saja beroperasi. Mestinya, nanti ketika BPJS telah lebih mengenali tantangan dan peluang sehingga makin berpengalaman menghadapi segala perubahan yang terjadi maka keseimbangan baru pun akan didapat sehingga kerugian pun tidak akan terjadi lagi."
"Lagipula, banyak banget PNS yang memanfaatkan BPJS ini. Gaji kita tiap bulannya kan juga sudah otomatis dipotong preminya to, Pak? Mulai kita menerima gaji awal kita dulu, hingga saat nanti kita sudah pensiun pun masih akan tetap dipotong premi BPJS. Jadi saya kira wajar saja jika kita memanfaatkan fasilitas BPJS yang memang diperuntukkan bagi kita."

Bapak muda itu hanya tersenyum tipis saja mendengar argumen yang saya utarakan. Kelihatannya alasan yang saya kemukakan itu sudah bukan barang baru lagi baginya. Beberapa saat lamanya dia tidak menanggapi argumen saya. Mungkin dia tengah menimbang-nimbang 'kepantasan' saya; akankah saya akan mampu memahami alasan asli yang telah berusaha ditutupinya, ataukah saya malah hanya bakal menjadi pencemoohnya. Tebakan saya, alasan yang sebenarnya pastilah bersifat subyektif sekali sehingga dia merasa orang lain akan kesulitan menanggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun