Mohon tunggu...
findraw
findraw Mohon Tunggu... Administrasi - Indescripable

Indescripable

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jangan Bayar Pajak di Kantor Pajak

6 Juli 2012   02:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:15 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_199091" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Sebagai salah seorang praktisinya, mendapati berbagai macam ujian yang mendera Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akhir-akhir ini membuat saya prihatin sekaligus tertantang (mungkin lebih tepatnya: ingin tahu kemana nasib membawa instansi ini). Dimulai dengan gong kasus Gayus Tambunan, kemudian disusul kasus Gayus II, III, dst. saya jadi optimis bahwa reformasi yang tengah dijalankan DJP mulai membuahkan hasil, meski bagi sementara orang reformasi ini pula yang sering kali dijadikan landasan untuk menghujat dan memvonis kegagalan DJP dalam pengembanannya. Bagi saya, rentetan ujian yang tengah mendera DJP ini bak sepertiga malam terakhir sebelum terbit fajar; saat yang paling gelap dan dingin dalam amplitudo malam. Bila DJP bisa melalui periode berat ini dengan baik, maka insya Alloh, DJP akan mendapatkan fajar yang terindah pada saatnya. Dan saya rasa kasus semacam Gayus ini tidak akan terhenti pada jilid III atau jilid X sekalipun. Pasti akan ada satu demi satu yang menyusul bukan sebagai cerminan budaya kerja DJP yang buruk, melainkan lebih disebabkan karena faktor mental individu ataupun faktor pengawasan yang belum menyeluruh. Ibaratnya, jangankan instansi sebesar DJP yang mempekerjakan +/- 32.000 karyawan ini, satu karung jeruk varietas terbaik sekalipun pasti tersusupi 1-5 persen buah yang busuk atau masam rasanya. Tugas DJP saat ini adalah mengambil tindakan yang benar terhadap kebusukan/kemasaman ini agar tidak mencemari buah-buah yang masih baik yang jumlahnya tentu lebih banyak. Maka daripada menyesali kasus Gayus yang hingga berjilid-jilid itu, ambil saja sisi positifnya. Setidaknya sekarang sebagian besar rakyat Indonesia jadi mengetahui bahwa DJP sudah tidak seperti dulu lagi; DJP sedang berusaha berubah ke arah yang lebih baik. Dan seberapa baik perubahannya, silakan masyarakat sendiri yang membuktikan dan menilainya. Untuk membuktikannya, saya mohon kepada masyarakat untuk tidak mempercayai bulat-bulat kabar dari pihak lain yang sumbernya juga masih 'katanya'. Agar lebih adil, silakan datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, dan mengobrol dengan para Wajib Pajak yang ada di sana waktu itu (sebaiknya sih lebih dari 5, dan lebih baik lagi jika dilakukan di hari-hari yang berlainan pula) untuk mengetahui tingkat kepuasan atas pelayanan yang diberikan. Tapi tulisan saya kali ini tidak ingin mengulas tentang pengaruh rentetan kasus tersebut bagi DJP. Saya lebih tertarik untuk membahas efek yang terjadi pada masyarakat akibat deraan kasus-kasus tersebut. Yang paling segar dan gampang diingat tentulah munculnya gerakan TOLAK BAYAR PAJAK yang sempat ramai, baik yang pro maupun yang kontra. Saya rasa gerakan TOLAK BAYAR PAJAK ini muncul dikarenakan minimnya akses masyarakat terhadap info tentang pajak yang telah dibayarkan oleh para Pembayar Pajak. Sementara selama ini DJP masih berkutat pada informasi a.k.a iklan mengenai perubahan citra dan pengenalan fungsi dasar pajak seperti: apa itu NPWP, apa itu PPh, apa fungsi pajak, dan semacamnya. Namun tidak ada satu pun yang menyebutkan bagaimana cara membayar pajak yang benar, bahwa pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak (WP) telah aman dalam kas negara, bahwa pegawai pajak (hampir) mustahil mengkorupsi uang tersebut, dan hal-hal lain yang bersifat menentramkan hati para pembayar pajak. Untuk itulah saya di sini ingin mencoba membantu DJP menjelaskan tetek-bengek tersebut. CARA MEMBAYAR PAJAK YANG BENAR, haruslah dilakukan di bank atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Jika anda membayar pajak di tempat-tempat tersebut, saya berani menjamin bahwa pajak yang Anda bayarkan telah sampai langsung ke Kas Negara. Tidak ada satu pun pegawai pajak yang bisa mengkorupsinya. Kenyataan yang diyakini masyarakat saat ini adalah kasus-kasus tersebut selama ini diduga sebagai tindakan korupsi uang pajak oleh pegawai DJP yang jika dikonfirmasikan kebenarannya adalah kasus penipuan dimana WP menitipkan pembayaran pajaknya melalui orang lain (bisa konsultan atau pegawai pajak nakal) yang bukannya menyetorkan uang titipan tersebut ke Kas Negara namun malah memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Untuk itulah saya mewanti-wanti para pembayar pajak sekalian agar jangan sekali-sekali membayar pajak di tempat selain bank atau kantor pos. Jangan pula di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sekalipun! Bahkan, jangan bayar apa pun di KPP. Karena semua bentuk pelayanan yang diberikan di sana adalah gratis. Juga KPP tidak berhak dan dilarang menerima pembayaran apa pun, kecuali KPP telah melakukan MOU dengan bank/pos untuk membuka gerai bank/pos di lingkungan/gedung KPP. Untuk diingat pula, setiap kali usai membayar pajak dengan menggunakan SSP, mintalah pula kepada teller bank/pos lembar bukti pembayaran yang didalamnya tercantum Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Jika semua itu telah dijalankan, saya berani menjamin bahwa pajak yang Anda bayarkan telah sampai dengan selamat di kas negara, untuk selanjutnya digunakan untuk membiayai pembangunan negeri ini. TIDAK ADA PEGAWAI PAJAK BISA MENGKORUPSI PAJAK YANG TELAH ANDA BAYARKAN, karena sekali uang masuk ke Kas Negara maka (hampir) mustahil bagi pegawai pajak untuk mengkorupsinya. Bahkan orang-orang semacam Gayus berjilid-jilid sekali pun tidak akan dapat mengkorupsinya. Kasus-kasus tersebut terjadi disebabkan karena uang pajak tersebut tidak pernah dibayarkan melalui mekanisme bank/pos tadi. Malahan pengusaha/perusahaan yang memiliki uang tersebut meminta 'tolong' kepada Gayus agar mereka tidak usah membayarkan pajak tersebut yang ndilalahnya kok ya ketepatan Gayus mau 'menolong'nya. Akhirnya, berdasarkan 'kesepakatan' bersama antara Gayus dan pengusaha itu, pajak yang seharusnya 100% masuk ke kas negara dibagi menjadi tiga bagian: 10% dibayarkan melalui mekanisme bank/pos, 10% menjadi milik Gayus, dan 80% tetap menjadi milik Wajib Pajak tersebut. Jika rupiahnya dimisalkan 10 milyar, maka: pajak dibayar 1M, Gayus dapat jatah 1M, pengusaha bisa hemat 8M. Ketika kasus ini akhirnya terbongkar, opini yang beredar luas di masyarakat adalah Gayus (sebiji jeruk masam) mengkorupsi uang negara a.k.a. rakyat!!! Maka ramailah tudingan masyarakat kepada para pegawai DJP (sekwintal jeruk lainnya) sebagai pengkorupsi uang rakyat. Padahal yang sebenarnya terjadi, uang yang diambil Gayus itu adalah: uang pajak SEORANG/SEBUAH pengusaha/perusahaan yang berusaha untuk mencurangi negara saja. Jadi bukan uang pajak para pembayar pajak yang telah dengan tertib menyetorkan pajaknya melalui mekanisme bank/pos yang benar. Bukan maksud saya untuk mengecilkan makna korupsi yang dilakukan oleh Gayus dkk. Yang saya sampaikan ini semata-mata agar masyarakat dapat memandang DJP dan karyawan-karyawannya dengan lebih fair, tanpa praduga. Yang terutama lagi, saya ingin meyakinkan masyarakat bahwa uang pajak yang telah mereka bayarkan dengan benar benar-benar telah aman di kas negara. JANGAN MENGGODA PETUGAS PAJAK, karena sesungguhnya pegawai pajak itu sudah banyak godaannya, lebih-lebih karena mereka manusia biasa seperti kita-kita juga. Bisa jadi selama ini mereka telah berhasil menepis ratusan godaan. Namun ketika kebutuhan darurat akan uang muncul, dan godaan ke-947 hadir, siapa yang bisa menjamin pegawai pajak ini akan bisa lulus kali ini. Kita, sebagai warga negara yang baik, berkewajiban juga untuk terlibat aktif dalam reformasi birokrasi, yang mana DJP sebagai pilot projectnya, maupun instansi-instansi lain yang saat ini mulai menerapkannya juga. Bagaimana caranya? Dengan 1) tidak merongrong proses tersebut dengan menawarkan persekongkolan, atau 2) tidak mencela usaha-usaha yang dilakukan demi perubahan yang baik tersebut, atau 3) melaporkan (via website dan telepon di akhir artikel) jika mengetahui ada usaha-usaha melawan hukum yang dilakukan oleh petugas pajak nakal maupun pengusaha/perusahaan nakal. Karena sebaik apa pun sebuah sistem, jika tidak dibarengi dengan pengawasan yang berkesinambungan dapat menimbulkan kejenuhan dan akhirnya kelonggaran di dalamnya. Dengan peran serta aktif dari masyarakat diharapkan reformasi birokrasi yang telah digulirkan sejak enam tahun silam dapat berputar makin cepat dan lancar sehingga manfaatnya pun dapat segera dipetik oleh negeri ini. Sambil mencoba menyambung tulisan ini pada tema KORUPSI: Mungkin masih diperlukan, semoga tulisan ringan ini bisa sedikit menentramkan hati para pembayar pajak. Negeri ini berterima kasih atas kepedulian Anda semua membantu keberlangsungan berdirinya negeri ini dengan kokoh dan bangga. Layanan Pengaduan DJP Website: http://pengaduan.pajak.go.id Kring Pajak: 500200

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun