Negara kita indonesia adalah negara yang memiliki posisi starategis dalam rute perdagangan dunia, sehinggah dulu banyak sekali negara yang ingin menguasai indonesia. Selain itu indonesia adalah negara kepulauan terbesar dan memiliki banyak kekayaan tersimpan di dalamnya. Dari sabang sampai merauke berjajar pulau-pulau indah dengan sumber daya alam yang tak terhiggah, minyak bumi, batu bara dan emas adalah bukti nayata kekayaan indonesia. Berbagai macam jenis flora dan fauna pun ikut menghiyasi keindahan negeri kita ini dan destinasi-destinasi wisata alam yang menawan semakin melengkapi keajaibannya.
Bahkan banyak yang bilang bahwa indonesia adalah surga yang turun ke bumi. Namun kekayaan indonesia bukan hanya dalam bentuk kekayaan alam tetapi juga kekayaan tradisi dan kebudayaan. Oleh karena itu islam bisa merasuk ke lubuk hati para pribumi karena islam bisa berakulturasi dengan budaya dan kearifan lokal. Begitu indahhnya negeri kita ini dengan segala keunikannya. Tetapi kenyataan yang kita lihat sekarang bertolak belakang dengan semua itu. Kemiskinan tersebar di mana-mana, pengangguran semakin merajalela, dan kriminalitas seakan tiada hentinya. kita secara formal memang sudah merdeka, tetapi secara mental kita masih terjajah dan terbelakang. Lalu tanggung jawab siapakah semua ini?
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Perlu di pertegas bahwa agama ini adalah agama rahmatan lil alamin bukan cuma lil muslimin. Sebab itu sebagai umat islam dan penduduk negeri ini maka kita lah yang bertanggung jawab atas semua masalah yang terjadi di negeri ini. Allah swt berfirman dalam surah Al-Baqarah 143 :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللّهُ وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
[Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Dalam ayat tersebut islam diidealkan sebagai ummatan washata. Idealisasi ini sangat relevan dengan usaha pembangunan identitas dan kepribadian bangsa yang merupakan bagian dari pembangunan jiwa. Ummah adalah kumpulan orang yang dihimpun oleh suatu ikatan berupa agama, waktu dan tempat. Ummah dalam ayat itu menunjuk kepada kumpulan orang yang dihimpun oleh ikatan agama dan menjalankan peran atau tugas tertentu. Dengan tugas ini kumpulan itu menjadi kelompok yang membentuk peri kehidupan berbudaya dan dikenal dengan masyarakat. Adapun wasath dalam bahasa berarti tengah dan digunakan dengan pengertian adil dan pilihan. Dengan demikian ummatan wasatha adalah masyarakat tengah, adil dan pilihan.
Apabila ketiga pengertian ini digabung bisa masyarakat tengah dan adil sehinggah menjadi masyarakat pilihan. Penggabungan ini bermana bahwa umat islam menjadi masyarakat pilihan karena karena berada di tengah dan adil diantara dua kecenderungan ekstrim dan gerakan sosial politik dan kebudayaan, misalnya gerakan kanan dan kiri dan kebudayaan materialisme dan spiritualisme. Kualitas pilihan ini menjadi tanda keberadaan umat islam dan karenanya menjadi identitas yang diidealkann bagi mereka sebagai masyarakat.
Dengan identitas itu, umat islam sebagai ummatan washata memiliki tugas eksternal (keluar) dan internal (kedalam) yang berat. Tugas eksternal yang harus mereka laksanakan diungkapkan dengan litakunu syuhada’ ‘alan nas (supaya kamu menjadi saksi atas manusia). Di dunia umat islam sebagai ummatan wasatha memiliki tugas menjadi saksi sejarah atas masyarakat-masyarakat yang lain. Dengan tugas ini mereka harus mampu memahami realitas masyarakat lain secara obyektif dan mengambil tanggungjawab sebagai konsekuensi atas pemahaman itu.
Apabila mereka melihat masyarakat lain rendah dan terbelakang, maka mereka memiliki tanggungjawab untuk mengangkat dan memaajukannya. Sebaliknya jika mereka melihat masyarakat lain tinggi dan maju, maka mereka pun bisa mengakui ketinggian dan kemajuan itu dengan konsekuasi bersedia mengambil pelajaran dari ketinggian dan kemajuan yang mereka saksikan.
Lalu bagaimanakah kita menyelesaikan problem-problem yang dialami negara kita saat ini? Dengan cara apa kita mengatasinya? Jawabanya adalah dengan islam itu sendiri, Sebab islam sebagai agama yang universal dan komperhensif sudah menyediakan segudang solusi bagi permasalahan umatnya. Lalu bagaima dengan solusi khilafah islaiyah? Tentu ini bukan solusi yang tepat, karena indonesia bukanlah negara islam dan penduduknya tidak semuanya muslim.
Sedangkan khilafah sendiri adalah sebuah solusi yang belum tentu bisa mengatasinya. Permasalahan baru yang akan mucul pasca khilafah diterapkan adalah siapa yang akan menjadi khalifah? Dari orang NU kah, atau Muhammadiyah, atau HTI atau bahkan wahabi. Sudah pasti setiap ormas tersebut akan berebut untuk menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Dan akhir yang akan didapat bukanlah sebuah solusi melainkan terjadi perang sesama orang-orang islam itu sendiri.
Dibalik itu semua, Islam memiliki mu’jizat yang tidak akan musnah dan selalu terjaga sampai akhir zaman, yaitu Al-Qur’an Karim. Di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai macam hikmah dan solusi bagi umat islam, baik untuk masalah keagamaan ataupun masalah duniawi, termasuk didalamnya adalah masalah kenegaraan. Islam mempunyai konsep ideal kepribadian masyarakatnya yang relevan dengan identitas kepribadian bangsa sebagai solusi keterbelakangan mental bangsa ini. Adapun kepribadian masyarakat islam tersebut adalah :
1. Berjiwa besar. Sifat berjiwa besar ini dapat kita pahami dari munasabah antara surat al-Baqarah ayat 142 dan 143:
سَيَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ يَهْدِيْ مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu : Apakah yang memalingkan mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada mereka padanya ? Katakanlah :Kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللّهُ وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
[Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Dalam ayat pertama disebutkan as-syufaha’, jamak dari safih yang dalam bahasa digunakan dengan arti orang yang mengalami keterbelakangan mental karena kurang akal atau idiot. Kata as-syufaha’ dalam ayat itu menunjuk kepada orang yang membodohkan diri sendiri dengan tidak mau menerima millah Ibrahim yang disebutkan dalam al-Baqarah ayat 130. Dari hubungan ini diketahui bahwa as-syufaha pengertianya bukan orang-orang idiot yang tidak berpengetahuan karena kurang akal, tapi orang kurang akal karena tidak mau mengerti kebenaran millah Ibrahim dan kebenaran perubahan arah kiblat dari baitul maqdis ke masjidil haram. Orang-orang yang tidak mau mengerti kebenaran ini adalah orang-orang berjiwa kerdil karena berpikiran picik. Dengan dinyatakanya umat islam menjadi masyarakat pilihan, mereka tidak diperbolehkan memiliki jiwa kerdil seperti itu. Mereka harus menjadi antitesa dari as-syufaha’, yakni menjadi orang-orang yang berjiwa besar. Kalau dikontekskan ke masa sekarang dalam urusan duniawi maka tentu kita sebagai orang islam harus berjiwa besar untuk mengakui kemajuan peradaban dan IPTEK yang diraih oleh bangsa barat. Namun kita tidak boleh terlarut begitu saja sebagai bangsa yang hanya menjadi korban dari teknologi, tetapi kita harus bisa bangkit dengan mencontoh dan meniru hal-hal baik dari bangsa barat sehingga kita bisa ikut andil dan terjun langsung dalam mengontrol arus perkembangan teknologi sehinggah teknologi-teknologi baru yang bermunculan dapat menghasilkan kemaslahatan bagi ummat islam khususnya dan bagi alam semesta.
2. Terkemuka, sifat ini dapat difahami dari ungkapan fastabiqul khairat dalam surah al-Baqarah ayat 148:
وَ لِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيْعًا إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Dan bagi tiap-tiapnya itu satu tujuan yang dia hadapi. Sebab itu berlomba-lombalah kamu pada serba kebaikan. Di mana saja kamu berada niscaya akan dikumpulkan Allah kamu sekalian.Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa.
Fastabiqul khairat, fa adalah kata penghubung untuk menyatakan jawaban yang berarti “maka” dan secara bebas bisa diterjemahkan dengan “kerena itu”. Istabiqu merupakan kata perintah dari kata kerja bentuk lampau istabaqa, dibentuk dari sabaqa yang berarti mendahului atau berada didepan. Jadi istabaqa merupakan tsulasi mazid dengan tambahan hamzah dan ta yang bermakna lit thalab, menyatakan usaha. Adapun al-khairat adalah jamak dari al-khair, berarti kebaikan yang disenagi semua orang. Berdasarkan ini, ungkapan itu berarti “maka (karena itu) berusahalah kamu sekalian untuk berada di depan dalam semua kebaikan yang disenagi semua orang”. Ungkapan ini merupakan perintah kepada umat islam untuk merespon idealitas sistem sosial egaliter dan struktur sosial masyarakat negara yang di idealkan oleh al-Qur’an.
Dengan demikian mereka diperintahkan untuk memberi respon kreatif terhadap pluralitas masyarakat dalam masyarakat global dan pluralitas komunitas atau warga dalam masyarakat islam. Dalam hidup ditengah masyarakat global dan plural itu mereka harus menjadi masyarakat dan komunitas yang selalu berusaha untuk berada didepan atau terkemuka dalam semua bidang yang disenangi oleh seluruh warga, tidak terbatas pada bidang spiritual saja baik itu bidang ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, atau pengetahuan yang lain.
3. Bersih, berkearifan tinggi, berwawasan luas dan religius. Keempat sifat ini dapat difahami dalam surah al-Baqarah ayat 151:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلاً مِّنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَ يُزَكِّيْكُمْ وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ يُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ
Sebagaimana telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul , dari kalangan kamu sendiri, yang mengajarkan kepada kamu ayat-ayat Kami dan membersihkan kamu dan akan mengajarkan kepada kamu Kitab dan Hikmat, dan akan mengajarkan kepada kamu perkara-perkara yang tidak kamu ketahui.
Yang pertama yaitu bersih, sifat ini dapat difahami dari ungkapan wa yuzakki kum. Nabi mensucikan mereka dari segala kotoran yang melekat pada batin dan lahir mereka di jaman jahiliyyah. Jadi ungkapan ini menunjukkan sifat bersih yang harus dimiliki ummat sebagai pribadi dan kelompok. Sebagai pribadi dan masyarakat yang bersih, mereka tidak hanya bersih akidah dari kemusyrikan, tapi juga harus bersih dalam bidang-bidang kehidupan yang lain seperti bersih ilmu dari mitos, bersih akhlak dari perilaku tercela, bersih ekonomi dari eksploitasi dan korupsi, dan bersih hukum dari ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Yang kedua yaitu berkearifaan tinggi, sifat ini dapat difahami dari ungkapan wal hikmah. Hikmah adalah mendapatkan kebenaran secara tepat dengan ilmu dan akal. Oleh karena itu umat islam harus menjadi masyarakat yang berkearifan tinggi dalam menyelesaikan segala masalah yang mereka hadapi. Kemudian karena kehidupan itu semakin kompleks dan untuk menjalaninya dibutuhkan kearifan yang harus terus ditingkatkan, maka Nabi menhanjurkan orang beriman untuk terus menemukan hikmah di manapun berada.
Yang ketiga yaitu berwawasan luas. Sifat ini dipahami dari ungkapan wa yu’allimukum ma lam ta’lamun. Dengan mengajarkan apa yang sebelumnya tidak diketahui, umat islam bisa memiliki wawasan yang luas. Secara tersirat ungkapan itu berisi perintah kepada mereka untuk terus belajar. Jadi ummat islam harus melakukan never ending process of learning sehingga menjadi masyarakat belajar, learning society, yang memiliki wawasan yang luas untuk terus memperbaikai kehidupan dari waktu ke waktu dan dari satu taraf ke taraf lain yang lebih tinggi.
Yang terakhir adalah religius, karena religius ini adalah pondasi utama yang harus dimiliki. Sifat religius ini dapat difahami dari ungkapan fadzkuruni adzkurkum. Ungkapan ini tidak hanya menganjurkan umat islam untuk berdzikir dengan membaca kalimat puji-punjian, tetapi menganjurkan mereka untuk biasa memiliki kesadaran yang tinggi terhadap Allah sehingga bisa menghadirkan-Nya dalam kehidupan nyata. Menghadirkan Allah dalam kehidupan nyata itu dalam sebuah hadits dinyatakan dengan menjadi orang yang paling baik budi pekertinya. Dengan demikian mereka menjadi masyarakat religius dengan keberagamaan etis, tidak berkeagamaan spiritualistik dan formalitik seperti yang dialami umat islam sekarang.
Itu tadi adalah beberapa solusi yang ditawarkan oleh islam untuk mengentaskan bangasa ini dari keterbelakangan mental yang mengakibatkan kemunduran bangasa. Konsep-konsep tersebuat bukanlah konsep yang asing atau baru, tetapi konsep-konsep tersebuat adalah sifat-sifat yang sangat relevan dengan kepribadian bangsa ini sejak dulu kala. Sekarang semuanya kembali kepada kita. Apakah kita bersedia dan sanggup untuk mengemban tanggung jawab yang telah diberikan kepada kita. Jika kita memang bersedia dan sanggup hendaklah kita memulainya dengan idealita yang sudah diberikan oleh agama ini kepada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H