Mungkin sobat Kompasianer bertanya-tanya darimana saya mengambil judul tersebut? Tentu saja judul tersebut tidak akan jauh dengan kehidupan pesantren yang identik dengan pejuang pencari keberkahan hidup dunia akhirat. Lantas apa hubungannya dengan secangkir cokelat?
Kali ini saya akan berbagi cerita hidup saya, yang masih tinggal di pesantren. Sebut saja Abah (panggilan untuk pak kyai ) dipondok yang kini sedang saya tinggali. Setiap pengajian malam beliau selalu menyema' (menyimak bacaan Qur'an) para santrinya, dan salah satu minuman setia yang menemani beliau adalah secangkir coklelat hangat yang selalu ada di meja beliau. Saya adalah salah satu santriwati yang tergolong baru di pondok ini, namun saya sendiri tergolong santri yang dianggap cukup berani menurut para santri lama, karena dianggap paling sering berinteraksi dengan abah juga berdialog dengan beliau sesaat setelah mengaji.
Dalam hal mengaji sendiri, saya masih tergolong kurang lancar, terlebih karena ini kali pertama saya belajar menghafal. Hingga akhirnya yang menjadi alternatif saya adalah maju di barisan akhir. Dan biasanya, memang santriwati yang terakhir maju itu biasa mendapat wejangan (pepatah/nasihat) dari abah. Hingga suatu malam, saya maju terakhir dan abah memberi wejangan padaku, "Minum o banyu bekasanku sing ndek gelas, cek ngajimu lancar (minumlah air bekas minumku yang ada di dalam gelas, supaya ngajimu lancar)" Secara serontak hatiku langsung tergerak, "Oh, mungkin ini salah satu alasan mengapa para santri langsung menyerbu makanan atau minuman bekas Pak Kyai, karena mereka berharap ada keberkahan di dalamnya.Â
Sesaat setelah beliau pergi meninggalkan majlis pengajian, saya pun langsung menuangkan air sisa minum beliau ke alas mangkok kecil dan langsung meminumnya bergantian dengan santri-santri yang lain. Saya bersyukur, tahu alasan secara langsung dari sumbernya (Abah/Pak Kyai), mengapa para santri rela berdesak-desakan mengantre untuk mendapat sisaan minuman atau makanan Pak Kyai. Padahal sebelumnya saya beranggapan bahwa hal itu tidak sopan karena belum ada izin dari empunya. Namun setelah beliau bertutur seperti itu, saya pun menjadi salah satu yang rajin mengantre antrean secangkir cokelat Abah. Saya juga yakin bahwa Pak Kyai juga dengan sengaja menyisahkan makanan atau minuman beliau untuk para santrinya yang mau dan percaya akan hal itu. Saya percaya itu adalah salah satu wasilah keberkahan ilmu selain do'a dan ikhtiar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H