Mohon tunggu...
Fina Rudati
Fina Rudati Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Sedang berusaha mendalami jurnalistik. Pecinta drama Korea.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menulis untuk Siapa?

3 Januari 2017   09:32 Diperbarui: 3 Januari 2017   13:36 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: psikologikita.com

Sejak kecil saya suka menulis. Bagi saya, menulis bukan hanya sekedar berbagi cerita, namun juga juga sebagai wadah untuk mengekspresikan diri. Setiap hari, saya selalu menyempatkan diri untuk menulis. Memang lebih banyak curhat, sih. Tapi kata ibu tidak apa-apa. Setidaknya, saya sudah berani menulis, kata beliau. Sebagai wujud dukungan, ibu selalu menyediakan stok buku harian untuk saya. Tidak lupa, beliau juga meminta untuk membaca buku untuk meningkatkan skill menulis saya. Kebiasaan ini terus berjalan bertahun-tahun. Sejak saya masih di rumah, hingga saya di pesantren. Saya terus menulis tanpa henti.

Baru ketika saya kuliah di Jogja, kebiasaan itu berhenti. Mungkin karena kemana-mana sudah membawa gadget, jadi rasanya malas sekali mau menulis. Pernah saya mencoba menulis di buku harian, tapi gagal. Hanya bertahan beberapa hari, lalu berhenti.

Hingga akhirnya, dosen saya meminta agar kami menulis di Kompasiana sebagai tugas semester. Ketentuannya, setiap artikel akan mendapat poin. Dan untuk artikel yang mendapat stempel “highlight” dan “headline” akan mendapat poin lebih. Tentu saya semangat mendengarnya. Saya terus menulis sampai tengah semester. Saat itu, saya sudah mendapat dua stempel “highlight”. Lalu suatu ketika, saya melihat profil teman sekelas saya. Dia sudah mendapat tujuh stempel “highlight”. Saya tersentak. Bagaimana mungkin?pikir saya. 

Selama ini saya mengira, saya yang paling rajin menulis. Tapi ternyata, ada yang jauh lebih rajin dari saya. Akhirnya saya ngebut. Saya terus menulis agar bisa melampaui poinnya. Namun bukannya mengejar, saya justru semakin tertinggal. Dia semakin produktif, dan saya semakin terpuruk. Apa yang terjadi? pikir saya. 

Saya terus memikirkan persaingan sampai saya stuck. Saya buntu. Tidak ada lagi ide untuk menulis. Baru saat itu saya merasa lelah luar biasa. Seperti film, perjalanan saya kembali berputar, dan saya tersadarkan satu hal: saya terlalu fokus dengan pencapaian orang lain, tanpa peduli bagaimana pencapaian saya sendiri. Saya lupa apa tujuan utama saya menulis. Saya lupa bahwa menulis bukan untuk bersaing. Menulis adalah berbagi. Berbagi ilmu, berbagi pengalaman, atau sekedar berbagi kisah hidup. Bukan untuk mengalahkan seseorang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun