Mohon tunggu...
Sharfina Roeslan
Sharfina Roeslan Mohon Tunggu... -

Berakar di sosiologi, berkembang di manajemen: a social science person.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Arisan Keluarga

9 Januari 2016   06:34 Diperbarui: 9 Januari 2016   08:58 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Arisan keluarga merupakan salah satu fenomena sosial yang cukup umum di Indonesia. Tujuannya asalnya memang untuk 'menjalin silaturahmi'. Namun, kegiatan ini bisa menjadi momok tersendiri bagi para anggota keluarga. Kenapa?

Bagi mereka yang hidupnya sedang baik-baik saja dan tidak sedang dirundung banyak pertanyaan dan ketidakpastian, arisan keluarga mungkin terasa ringan bak nongkrong-nongkrong lainnya. Anak gimana? Baik, baru naik pangkat dia. Kemarin habis liburan dari luar negeri ya? Biasa, lagi liburan aja. Lagi hamil ya? Iya nih, anak ketiga. Bayangkan posisi-posisi lain ketika seseorang baru menghadapi situasi sulit dalam hidup: belum diterima sekolah idaman, masih pengangguran, baru keluar dari pekerjaan, baru bercerai, baru keguguran, tidak jadi menikah, belum menikah-menikah, belum dikaruniai momongan......... tak heran bahwa banyak yang menghindar untuk hadir di arisan keluarga. Males ditanya-tanya, katanya. 

Hal ini menarik bagi saya. Keluarga, yang seyogyanya memiliki fungsi mengayomi dan merupakan salah satu support system yang bisa dimiliki oleh seorang anggota, justru menjadi audiens yang harus dibuat kagum. Yang harusnya jadi kawan, salah-salah bisa jadi lawan. Ketika mendengar kerabat sedang dirundung masalah, alih-alih bersimpati dan membantu menawarkan solusi, justru komentar mirislah yang terlontar. Kok belum isi-isi sih? Pasti istrinya deh dulu jarang minum jamu. (Bagaimana dengan suaminya? Apakah sudah pernah ada langkah medis yang diambil?) Kamu kok keluar kerjaan sih? Ngapain bisnis, gajinya gak tetep! (Entahlah apabila kami beda keyakinan, tapi saya percaya bahwa rejeki ada dimana saja untuk mereka yang mencarinya, karena rejeki dari Tuhan). Kuliah dimana? Kok di swasta? Padahal pakde-pakdemu ITB lho! (Universitas swasta banyak sekali yang berkualitas, lho. Tidak semua universitas negeri menyediakan jurusan-jurusan kontemporer). Itulah segelintir contoh-contoh percakapan yang sering kita dengar di arisan keluarga. Saya sering menghadiri acara arisan keluarga dari teman-teman dekat saya karena dianggap 'keluarga', dan terkadang keluarga besar teman saya bersikap lebih hangat pada saya dibandingkan dengan teman saya yang kerabat sendiri. Mungkin banyak pembaca yang merasa familiar dengan situasi tersebut. 

Menjadi bagian dari keluarga Indonesia membuat saya menyadari bahwa keguyuban ini tidak selamanya berbuah manis. Hal yang baiknya menjadi urusan pribadi seolah wajib untuk dibagi. Semua boleh dinilai dan dikomentari oleh floor. Pembaca, alangkah baiknya apabila kita bersikap netral dan tidak menggurui ketika mendengar kerabat sedang dirundung masalah. Hal tersebut sudah cukup sulit untuk mereka, tanpa perlu kita maksa menjelaskan atau menceritakan pada kita. Menjadi bahu untuk bersandar, atau memberikan pelukan dan kata-kata yang positif terkadang jauh lebih berguna ketimbang kita memberi makan keingintahuan kita akan masalah orang lain. Ingatlah bahwa tidak semua hal baik untuk dibagi dan tidak semua orang ingin berbagi.

To be fair, tentu hal ini tidak dapat digeneralisasi di semua keluarga. Namun, bagi Anda yang berada dalam situasi tersebut, alangkah baiknya diam sejenak dan melakukan refleksi diri. Mari jadikan arisan keluarga ajang silaturahmi yang hangat, dengan cara mendekatkan diri dengan sanak saudara lain, terutama yang seumuran. Bayangkan, betapa indahnya apabila kita arisan keluarga dan mendapat dukungan moril atas situasi berat yang kita hadapi, didoakan bersama, ditertawai bersama untuk meringankan suasana. Bagi mereka yang sedang berbahagia, alangkah baiknya dibagi kebahagiannya. 

Nah, pembaca, kapan arisan keluarga lagi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun