Banyak yang bilang perempuan itu tidak pandai baca peta. Mereka lebih pintar berhitung dan membaca angka (di atas uang terutama. haha). Saya sulit juga menyanggah hal ini, karena para wanita di sekitar saya memang menyerah kalau disodorkan peta, apalagi kalau berupa peta kota yang tidak pernah didatangi sebelumnya. Tapi sebaliknya, buat saya peta adalah benda keramat. Saya menikmati membaca peta setelah mulai berezeki menginjakkan kaki di kota lain hingga negara baru. Asal mulanya memang dilatih ketika aktif di Pramuka hampir 20 tahun lalu. Kemudian istilah 'bisa karena terbiasa' benar-benar terasa. Setelah terbiasa baca peta, apakah saya pernah tersesat? Jawabannya: SERING! Begini modus operasi saya. Sebelum datang ke tempat baru saya usahakan sudah memiliki petanya. Biasanya lewat peta saya sudah bisa membayangkan situasi dan 1-2 obyek utama yang ingin saya tuju. Sesampainya di tujuan saya hanya melihat peta sejenak untuk mengetahui posisi awal. Setelah itu saya mengikuti rasa ingin tahu saja ditambah sedikit info dari mempelajari peta sebelumnya sesuai waktu yang sudah dialokasikan. Istilahnya, saya sengaja tersesat demi merasakan atmosfir asli daerah itu. Seringkali justru karena 'tersesat' inilah saya menemukan hal-hal yang menarik yang sebelumnya tidak dibahas di petunjuk perjalanan. Entah berupa toko atau tempat makan unik yang nyempil di gang, kehidupan dan kebiasaan asli warga setempat hingga hal-hal negatif yang sering ditutupi buku panduan wisata. Setengah jam sebelum alokasi waktu berakhir, saya buka peta lagi untuk mencari jalan pulang. Modus ini seringkali berhasil untuk mendatangi tempat yang sama sekali baru dan obyek wisatanya kurang populer. Untuk suatu kota yang banyak obyek wisata populernya, peta menjadi asisten pribadi paling handal karena saya tidak selalu mengikuti paket tur. Buku-buku petunjuk perjalanan biasanya menyediakan bagian khusus 'wisata jalan kaki' yang mudah untuk dijalani namun mencakup banyak obyek wisata sekaligus tentunya dilengkapi peta dan jalur yang dianjurkan. Dengan cara ini, saya bisa menghemat waktu mencari-cari tempat 'wajib datang'. Tapi saya pernah nekat mengeksplorasi satu wilayah yang sama sekali baru tanpa peta tercetak di tangan dengan batasan waktu mepet. Suatu keputusan yang nekat dan berbahaya. Ceritanya saat itu kami sekeluarga mudik ke kampung suami di Redcar, Inggris. Untuk mencapai Redcar kami harus naik kereta dari kota York yang sangat terkenal dengan peninggalan bangsa Viking. Dalam perjalanan pulang, kami memiliki waktu transit 2 jam sebelum kereta menuju London berangkat (York terletak di sebelah utara London, 3,5 jam dengan kereta cepat). Daripada menunggu 2 jam di stasiun, saya nekat mencari museum Viking di kota York sementara suami dan anak-anak memilih menunggu di stasiun. Andalan saya hanya google maps lewat jaringan 3G di handphone. Menurut google maps, museum Jorvik terletak tidak jauh, sekitar 15 menit berjalan kaki dari stasiun kereta. Didorong minat eksplorasi dadakan saya memilih berjalan kaki. Udara dingin 8 derajat tidak menyurutkan rasa ingin tahu saya. Saya berjalan kaki dengan kecepatan sedang sambil sesekali mengambil foto toko dan jalanan berbatu peninggalan romawi ribuan tahun lalu. Sesampai di area museum (yang ternyata memakan waktu hampir 30 menit) saya tidak bisa menemukan Jorvik center itu! berbagai petunjuk arah saya ikuti hanya membuat saya berputar-putar saja. Diliputi rasa panik karena kehabisan waktu, arahan dari penduduk setempat tidak bisa saya pahami dengan jelas. Jam saya menyatakan kereta akan berangkat 30 menit lagi. Di kepala saya sudah terbayang wajah suami penuh murka. Semua barang dan tiket saya ada di stasiun. Akhirnya saya menyerah dan mencari taksi untuk kembali ke stasiun dan gagal! Menurut petugas valet parking di hotel terdekat, di kota York sebaiknya taksi dipesan dan butuh waktu sekitar 10-15 menit hingga penumpang dijemput. Alamak! Tidak ada pilihan, saya harus berlari ke stasiun. Sebagai orang yang tidak pernah olahraga, berlari sambil membaca google maps di tengah cuaca yang beroksigen tipis sukses membuat saya sesak napas. Untunglah sebelum saya berhenti bernafas dan kaki patah, saya tiba di platform kereta menuju London sesaat sebelum kereta berangkat. Anak-anak dan koper sudah masuk di dalam kereta. Dari jauh saya bisa melihat suami saya menanti di depan gerbong. Butuh waktu lama untuk saya mengatur nafas dan ternyata tubuh saya sangat panas dan berkeringat.  Setengah jam kemudian saya baru bisa menguasai diri dan minta maaf ke suami dan anak-anak yang menanti penuh cemas. Banyak 'what if' terlintas di kepala saya di sepanjang perjalanan. 'Bagaimana kalau saya benar-benar tersesat?', 'Bagaimana jika handphone saya hilang?', 'Bagaimana kalau jaringan 3G mati?', 'Bagaimana kalau saya tertinggal kereta?', 'Bagaimana kalau diperjalanan saya dirampok?', 'Bagaimana kalau saya pingsan saat berlari?', dan skenario horor lainnya berujung penyesalan. Pelajaran berharga dari kejadian ini: jangan nekat eksplorasi daerah baru tanpa persiapan memadai dan waktu terbatas. Sepintar apapun kita membaca peta dan terbiasa berjalan-jalan, kita harus menyiapkan beberapa rencana cadangan jika perjalanan tersebut tidak sesuai rencana awal. Berikut sedikit oleh-oleh dari tersesat traumatis saya. [caption id="attachment_175823" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu gerbang masuk kota York"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H