Mohon tunggu...
Fina Thorpe-Willett
Fina Thorpe-Willett Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Sekarang berpuas hati hanya menjadi istri dan ibu dari 3 bos yang masih balita. Tapi gak lupa dengan hobi lama, eksplorasi dan menulis. Intip rangkumannya di kompasiana dan www.travelwithfina.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Di Bawah Lindungan Ka'bah, Dicemil Kacang Garudanya. Atau lebih suka chocolatos?

12 September 2011   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:01 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mungkin teman sudah membaca resensi film yang satu ini dari berbagai jenis sumber. Saya tidak sempat membaca resensi apapun sebelum menonton film ini, padahal biasanya sih baca sana sini dulu. Maklum, saya cukup picky soal meluangkan waktu ke bioskop. Film yang biasanya saya tonton di bioskop adalah film-film action dengan efek yang dahsyat sehingga sayang kalau nonton di TV biasa di rumah. Jarang saya nonton film drama Indonesia, kecuali yang lucu atau resensinya bagus sekali. Mengingat saya mulai jarang pulang ke Jakarta, kali ini ingin sekali nonton film Indonesia di bioskop. Saat melewati XXI dan melihat poster film 'coming soon' di dinding, dengan latar belakang rumah gadang dan judul roman terkenal ini terpampang besar, tanpa melihat siapa yang terlibat, saya langsung memutuskan akan menonton film ini segera setelah diputar. Harapan saya film ini penuh nuansa klasik khas Sumatra Barat, yang merupakan daerah asal kedua orangtua saya. Buya HAMKA pun seorang figur yang sangat disegani, termasuk karya-karyanya. Sehingga, ekspektasi saya terhadap film ini cukup tinggi. Hanya cukup tinggi, bukan tinggi (sekali). Apalagi setelah saya membaca poster dengan baik terteralah produser, sutradara dan pemainnya bukanlah orang-orang yang saya percaya mampu memenuhi harapan saya. Jalan ceritanya sih simpel dan biasa. Dua sejoli yang tidak bisa bersatu. Akting yang kaku (apalagi para figurannya, ampun! kaku sekali), setting yang itu-itu saja, membuat 15 menit pertama film ini saya mulai menyesal nonton di bioskop. Pada saat saya berfikir macam-macam, termasuk 'kok mereka 'gak latihan dialek orang padang sih?'- tiba-tiba jeduar, pemain utama pria melafalkan dialog, "Kacang Garudanya satu." Serta merta telinga saya meninggi. 'Apa saya gak salah dengar??' Sama sekali tidak salah. Karena adegan berikutnya adalah, Hamid (yang diperankan Herjunot) menerima sebungkus besar kacang garuda dan memasukkan kemasan itu ke dalam tasnya, tentu dengan cover bungkusan bertulis Kacang Garuda besar-besar menghadap kamera. Memang, bukan kali pertama saya melihat iklan terselubung di dalam film. Berapa ratus film amerika memiliki adegan pemainnya lari-lari dan antri panjang untuk membeli kopi Starbucks? atau polisi yang nikmat melahap donat Krispy Kreme? Menurut saya, film Hollywood yang selama bertahun-tahun memperkenalkan Starbucks dan Krispy Kreme juga memiliki andil besar untuk menggerakkan banyak manusia di Jakarta (dulu) rela antri dari tengah malam untuk bisa membeli selusin donat penuh gula itu atau merasa keren kalau bisa ke Starbucks, di awal-awal mereka baru buka gerai di sini. Soal jalan cerita, silakan intip resensi lain juga. Yang saya baca sih, secara umum untuk film banyak yang kecewa karena menjual nama Buya Hamka tanpa menjaga dengan baik nama besar itu. Apalagi ada plot yang menyimpang. Saat saya mau nonton, sepupu yang sudah nonton mewanti-wanti jangan lupa bawa tisu, akan nangis loh. Oke, saya bawa saputangan. Tapi  bahkan saat adegan ibunya Hamid meninggal di pangkuan putra satu-satunya, saya sudah tidak mampu menangis. Yang teringat justru adengan membakar obat nyamuk dengan alas kertas bertuliskan Baygon. Saat keduanya meninggal di tempat yang berbeda, yang saya ingat malah adengan sang mamak yang ngemil Chocolatos di teras rumah. Haruskah produser meminta sutradara 'main kasar' begitu? Begitu kekurangan uang kah? Masak tidak ada strategi yang lebih halus dan tidak merusak film untuk menjual produk? Di luar soal marketing parah, kekurangan film ini juga terletak pada pemeran pembantu. Terutama yang sering muncul, seharusnya diarahkan lebih spesifik, karena sering merusak suasana. Lagi-lagi pemain senior yang menolong, terutama Widyawati. Sisi positifnya hanya sountrack yang menarik, apalagi irama talempong yang membuat rindu. Beberapa properti yang sudah sulit diadakan (terutama kereta). Serta baju-baju yang representatif dengan jamannya. Untunglah masih ada dialog yang memperkaya batin, tentunya kalimat yang didapat langsung dari novel aslinya. Yang rasanya masih akan saya ingat hingga bertahun-tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun