Mohon tunggu...
Fina Umi N
Fina Umi N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi

joined 2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dehumanisasi Perempuan akibat Pelecehan dan Kekerasan Seksual

30 Desember 2021   10:50 Diperbarui: 30 Desember 2021   11:29 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan kerap kali mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Hal tersebut terjadi tidak memandang pakaian, tempat, dan waktu. Berpakaian tertutup tidak menjamin seseorang aman dari pelecehan dan kekerasan seksual. Rumah, sekolah, dan tempat ibadah yang seharusnya menjadi tempat paling aman pun justru menjadi tempat yang paling rentan terjadi pelecehan dan kekerasan seksual. 

Terlebih lagi ketika ada penyalahgunaan relasi kuasa yang berlaku menguasai dan menganggap lemah individu lain, seperti dosen terhadap mahasiswa, atasan terhadap karyawan, atau orang tua terhadap anaknya. Pelecehan pun dapat terjadi di media sosial, seperti ketika seorang perempuan mengunggah fotonya lalu mendapati komentar yang cenderung mengobjektifikasi seakan-akan perempuan itu hanya objek untuk "dinikmati". 

BERATNYA MENJADI KORBAN

Perempuan yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual menjadi cenderung merendahkan dan menyalahkan diri sendiri diri mengapa saat itu diam saja atau mengapa saat itu tidak melawan. Padahal memang korban pelecehan dan kekerasan seksual dapat mengalami tonic immobility, yakni kelumpuhan tubuh sementara ketika berada dalam situasi berbahaya. Hal tersebut merupakan respon alami dari tubuh manusia yang tidak disengaja. 

Korban pelecehan dan kekerasan seksual pun takut dan enggan bercerita karena judgement dari masyarakat biasanya cenderung menyalahkan korban dengan ungkapan "Kok, kamu mau?", "Makanya, mbak, pakai baju yang tertutup. Aurat jangan diumbar-umbar", "Namanya pacaran pasti begitu, makanya mending nikah muda aja", "Kenapa nggak nolak?", atau "Kamu juga pasti menikmati kan?". 

Respon-respon seperti itu sangat tidak menunjukan empati pada korban dan hanya membuat korban semakin menyalahkan sampai merendahkan dirinya sendiri. Masyarakat masih menganggap pelecehan dan kekerasan seksual terjadi karena pakaian korban, korban tidak melawan, atau korban tidak menolak. Pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi karena ada pelaku.

Ungkapan agar menikah saja dan tidak pacaran dengan alasan pacaran itu mendekati zina menunjukkan bahwa adanya pemikiran seolah-olah menikah merupakan solusi untuk mencegah pelecehan dan kekerasan seksual. Padahal pelecehan dan kekerasan seksual pun dapat terjadi di dalam ikatan pernikahan. 

Tindakan seksual dapat dikatakan sebagai pelecehan dan kekerasan adalah ketika tindakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan kedua belah pihak atau tidak adanya consent. Anggapan bahwa "istri harus selalu melayani suaminya dan jika istri enggan maka istri berdosa" menyiratkan bahwa perempuan hanya dianggap sebagai objek dan persetujuannya tidak dipedulikan. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi pelecehan dan kekerasan seksual dalam pernikahan, meskipun keduanya sah sebagai pasangan suami istri.

EFEK BUDAYA PATRIARKI

Dengan adanya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan menunjukkan kentalnya budaya patriarki karena perempuan hanya dianggap sebagai objek seksual, bersifat lemah, dan tidak berdaya, berbanding terbalik dengan laki-laki yang dianggap sebagai yang berkuasa dan mendominasi. Hal ini selaras dengan pembahasan di atas mengenai penyalahgunaan relasi kuasa untuk mendominasi perempuan. 

Begitu sulit menjadi perempuan, tidak diberi hak untuk berkata "tidak", tidak memiliki ruang aman, dan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki. Seolah-olah hidup perempuan berada di tangan laki-laki dan perempuan tidak boleh menentukan kehendaknya sendiri. Perempuan seharusnya boleh menentukan segala sesuatu bagi dirinya sendiri, terlebih lagi mengenai tubuhnya sendiri seperti istilah "my body my authority". Tubuh perempuan itu milik perempuan itu sendiri, bukan milik laki-laki atau orang lain. Perempuan berhak menolak dan tidak dipaksa dalam segala hal yang dilakukan pada tubuhnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun