Di zaman sekarang ini tidak akan mungkin suatu kebudayaan berkembang sendiri tanpa bersinggungan dengan kebudayaan lain. Kita memang harus mengakui bahwa kebudayaan yang kuat cenderung mempengaruhi kebudayaan yang lemah. Jika pendukung kebudayaan yang lemah itu bersikap pasif, tentu ada kemungkinan ia hanya mendapatkan yang diberikan sekedarnya saja. Jika ia bersikap aktif, ia bisa memilih segala sesuatu yang terkandung dalam kebudayaan lain, yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya dan memperkuat diri sendiri.
Berbicara mengenai pengaruh kebudayaan, masalah yang sering kita anggap mendesak adalah ancaman kebudayaan asing. Sebelum melangkah jauh sebaiknya kita merunutkan dulu tentang kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan di mana pun, hanya bisa hidup dan berkembang wajar apabila mengalami benturan, pergeseran, dan perubahaan. Seorang budayawan berpengaruh pada abad ke- 20, Raymond Williams, membedakan tiga cara berpikir tentang kebudayaan.
Pertama, cara berpikir “ideal” yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keadaan atau proses yang menyempurnakan manusia, berdasarkan nilai- nilai yang mutlak dan universal. Nilai- nilai itu ditentukan oleh suatu lapisan tipis dalam masyarakat yang disebut kaum elit. Kedua, cara berpikir “rekaman dokumenter” yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah teks serta segala pelaksanaan kebudayaan yang terekam. Ketiga, definisi “sosial”, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah penggambaran mengenai cara hidup tertentu, yang mengungkapkan makna dan nilai- nilai tertentu yang tidak hanya terekam dalam hasil kesenian dan perenungan manusia tetapi juga dalam berbagai lembaga dan tindak- tanduk sehari- hari.
Kita lihat cara berpikir ketiga, yang dalam uraiannya secara otomatis memasukan juga dua cara berpikir yang lain. Segala sesuatu yang sudah disebut itu jelas akan senantiasa mengalami perubahan, tidak terpisah dari kegiatan pergaulan masyarakat dengan masyarakat lain di sekitarnya.
Kebudayaan Daerah
Selama pendukungnya masih ada dan selama pendukungannya masih meyakini pentingnya ciri- ciri khas dalam bentuk komunikasi, lembaga sosial, hubungan keluarga dan sebagainya, maka kita tidak usaha khawatir akan lenyapnya kebudayaan daerah. Hanya saja lebih- lebih dalam situasi seperti ini kita harus sepenuhnya menyadari bahwa kita tidak akan mampu lagi hidup terasing dan harus menerima kehadiran berbagai hal yang bertentang- tentangan dalam hal makna serta nilai- nilainya. Namun, kita semua telah membuktikan bahwa manusia telah memiliki kemampuan untuk menjadi pendukung lebih dari satu kebudayaan; manusia bisa bergerak dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain dengan bebas, seperti halnya dengan “mudah” kita beralih dari satu bahasa ke bahasa lain dalam kehidupan sehari- hari.
Dalam suatu kesempatan, kita bisa menjadi “orang Sunda”, di kesempatan lain bisa menjadi “orang Indonesia”, dan di kesempatan lain lagi bisa dan kalau perlu menjadi “orang Barat”. Kemampuan semacam itu tampaknya semakin diperlukan, dan ternyata semakin banyak di antara kita yang memiliki serta bisa melaksanakannya dengan sangat baik. Kita tahu bahwa di zaman lampau, salah satu kebudayaan yang kuat yang pernah bersinggungan dengan kebudayaan kita dalah kebudayaan India dan bahkan sekarang kita sebenarnya tidak bisa membayangkan suatu kebudayaan Indonesia tanpa pengaruh India. Beberapa jenis aksara yang ada di Indonesia, seperti aksara- aksara Sunda, Jawa, dan Bali berasal dari India. Mitologi dan filsafah kita sebagian juga berasal dari Mahabrata dan Ramayana; demikian pula sastra klasik kita. Bahkan boleh dikatakan sebagian besar hasil sastra klasik di Jawa merupakan saduran belaka dari sastra yang berasal dari India. Ini tidak bisa dipisahkan dari pergaulan antarbangsa pada masa lampau, yang mencakup kegiatan ekonomi, perdagangan, pendidikan, kebudayaan, militer, dan keagamaan.
Indonesia Terbuka Bagi Kebudayaan Asing
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari gambaran tersebut adalah bahwa bangsa kita ini ternyata senantiasa terbuka terhadap pengaruh asing dan sama sekali tidak menujukan sikap khawatir atau rendah diri menghadapinya. Bangsa kita bahkan sengaja mengambil anasir kebudayaan asing tersebut dan mengembangkannya sesuai dengan keperluannya sendiri. Kita sekarang tentunya tidak mengatakan bahwa bangsa kita telah kehilangan kebudayaannya, telah digusur dan dikuasai oleh kebudayaan asing. Kebudayaan mana pun di dunia ini mengalami hal yang serupa. Kita mengetahui bahwa kebudayaan- kebudayaan Korea dan Jepang bersumber pada kebudayaan Cina, tetapi sekarang kita dengan mudah bisa membedakan ketiga kebudayaan tersebut. Sastra serta aksara Jepang dan Korea klasik bersumber pada sastra dan aksara Cina, namun ketiganya sekarang masing- masing mengembangkan sastra modern yang mau tidak mau bersinggungan dengan sastra Barat.
Kebudayaan Massa
Sebenarnya, yang harus kita perhatikan di sini setiap kali berbicara mengenai penyelusupan atau pengaruh kebudayaan asing, kita berbicara mengenai apa yang disebut kebudayaan massa. Kebudayaan massa adalah istilah kita untuk mass culture, istilah Inggris yang konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Kebudayaan massa sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan; istilah yang merupakan pasangan dari high culture, kebudayaan elit atau kebudayaan tinggi. Kebudayaan tinggi mengacu tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pikiran dan perasaan kaum yang menjatuhkan pilihan atas jenis kesenian dan produk simbolik tersebut.
Mass atau Masse mengacu kepada masyarakat Eropa yang tak terpelajar dan nonaristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Jadi, jika kebudayaan elit dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya” , maka kebudayaan massa dianggap milik mayoritas masyarakat yang uncultured atau unlettered “tak berbudaya”, ini jelas mengandung ejekan dan sikap merendahkan.
Dalam khasanah kritik kebudayaan Barat, berbagai istilah yang nadanya merendahkan telah dipergunakan untuk menggambarkan hasil kebudayaan massa dan pendukungnnya. Dalam tulisan Dwight Macdonald, misalnya, disebutkan bahwa pendukung kebudayaan massa disebut adulttized children “anak yang didewasakan” dan infantile adults “orang dewasa yang kekanak- kanakan”. Alasannya adalah karena anak- anak zaman sekarang ini menonton segala jenis acara televisi yang sebenarnya sama sekali tidak disediakan untuk mereka, sementara orang- orang dewasa gemar membaca komik dan menonton film, terutama yang kartun, yang dimaksudkan untuk anak- anak. Dalam keadaan semacam itu, masyarakat mengalami perkembangan yang aneh: anak- anak menjadi sangat cepat dewasa, tetapi pada batas tertentu orang dewasa tidak lagi bisa berkembang cita rasanya.