Mohon tunggu...
Arief Doank
Arief Doank Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Aqidah Filsafat di IAIN DATOKARAMA..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tari Momata by To Wana (Suku Pedalaman Morowali) Pentas di Tiang Modernisasi

28 Juni 2013   17:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:17 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modernisasi sebagaimana ombak di lautan, setiap saat tanpa henti menerpa permukaan karang dan mengikisnya dengan perlahan. serupa mesin pencacah, modernisasi menuntut berbagai sisi kehidupan berubah. perubahan tidak hanya memporak-porandakan formasi kehidupan tradisional, namun pula membentuk formasi baru dalam tataran masyarakat kini. Banyak kearifan sosial (Social Wisdom) yang terpaku pada nilai tradisional, kian berkarat bahkan patah di hantam kuatnya Modernisasi.

Dari sudut berbeda, Weber mengemukakan, Modernisasi tak ubahnya suatu proses perubahan sosial yang cenderung meminggirkan Agama dari manusia, karena selalu berorientasi pada kehidupan multi sekuler ketimbang orientasi religios. kendatipun diakui, dalam berbagai hal, modernisasi juga berdampak super produktif.. dengan meningkatnya Need For Achievement (sebagaimana McClellend).

oke, akan tetapi, kita tidak akan membicarakan terlalu lama mengenai teori lee, namun lebih menitikberatkan pada peran generasi bangsa, khususnya pemuda-pemudi yang demi dan terus mengenggam jati dirinya sebagai insan kebudayaan Nusantara, bukan hanya sebatas mengikuti mainstream yang terjadi.

Berkecimbuk dengan era Globalisasi dan digitalisasi sekarang ini, banyak lee korban dari rentan umur yang dewasa hingga menyebar kepada para balita mereka, adanya anggapan bahwa sebagaimana masyarakat Internasional, yang "katanya" wajib menjunjung tinggi English Language ketimbang Etnict languages,! waww,  memangnya masyarakat internasional hanya orang Western?? anak umur 3-4 tahun sudah luar biasa dengan artikulasi.nya (Pronouncition barangkali), meski merupakan suatu perkembangan yang positip, namun, rentan akan jati dirinya, dengan memaksakan budaya orang ketimbang budaya nenek moyang. Luar Biasa... baiklah,  saya tidak usalah berbagi opini lagi di dunia ini, karena anda pun telah tahu suasana yang terjadi. ckckckck..

Kembali melihat hokum Newton III mengenai Aksi dan Reaksi, olehnya, beberapa pemuda di Nusantara yang menyimak fenomena ini, berusaha dan sebagaimanapun bisa menjaga suasana yang terkesima ini tidak meleburkan nilai-nilai budaya yang ada sebelumnya.

[caption id="attachment_263434" align="alignleft" width="270" caption="Tarian Momata yang di tampilkan pada Parade Tari Daerah 2013 di Gedung Kebudayaan Provinsi Sulteng"][/caption] Mari kita tenggok sejenak, reaksi pemuda dari Morowali menanggapi suasana yang terjadi dengan memberikan suatu kreasi pedalaman yang kini di pentaskan kembali pada "Parade Tari Daerah Nusantara" yang bertempat di gedung kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, 26 juni 2013, bernama Tarian "Momata" atau Tarian kematian yang diangkat dari suku To Wana yakni orang Wana, suku pedalaman di Morowali, Indonesia yang menempati wilayah kecamatan Bungku Utara tepatnya di kawasan Hutan-hutan yang sangat sulit untuk dijangkau.. Secara etimologi, Wana berasal dara bahasa Sanskrit yang berarti Hutan. To Wana (outside term) merupakan pula penamaan orang Belanda pada zaman koloni terhadap suku ini yang kemudian menjadi populer dan masih digunakan hingga sekarang. To Wana sendiri tidak keberatan dengan istilah tsb, meski mereka menyebut dirinya dengan "Topo Ta'a" atau "Ta'a Wana". [caption id="attachment_263442" align="alignright" width="300" caption="Penari dengan hati-hati memegang simbol jenazah yang di bungkus menggunakan kulit kayu, suku Wana membungkus mayit dengan kulit kayu karena mereka percaya tak ada yang lebih berharga dari pada kulit pohon di hutan."]

13724154351318477343
13724154351318477343
[/caption] (insider term) yang berarti orang dengan menggunakan bahasa Ta'a, seperti halnya sukusuku di Sulawesi Tengah untuk menyatakan "orang" pun dengan kata bantu (Prefiks) "To" yaitu seperti "To Kaili", yang menandakan Orang Kaili, dan "To Wana" untuk mereka yang berasal dari suku Wana.

Sekilias mengenal suku Wana, mereka adalah peladang yang suka berpindah-pindah dengan system rotasi, menggunakan aturan barter dalam transaksi, dan mempunyai cara pandang sederhana tentang hidup dan alam, sebagai penyumpit yang ulung mereka percaya bahwa hutan adalah rumah sekaligu tempat dari nenek moyang mereka.

Dalam pementasan yang ditampilkan, pada Parade Tari Daerah 2013, para penari dari Kab. Morowali menampilkan beberapa tahapan yang dimana disetiap gerakannya, mendeskripsikan mengenai seluk kehidupan suku Wana dari awal hingga akhir hayat (Kematian) dari suku mereka, dan terangkum dalam :

1.      Kayori (syair pembuka)

Merupakan sastra tutur To Wana yang mengungkap pesan melalui syair dengan maksud tertentu secara tidak langsung, serentak ditabu bersama iringan beberapa instrument To Wana seperti Talili (Suling), Tutubua (alat berdawai dari bambu, dipetik lee) gong, dan denda (gendang)

2.      Kemudian Tari-Tarian Tiga jenis tarian yang ditampilkan, yakni Dendelu, Salonde, kemudian Tandebomba. Pertama Dendelu merupakan tarian melingkar dangan iringan syair yang dinyanyikan oleh penarinya sendiri, kemudian Salonde tarian yang diperagakan penari dari Wana untuk menyatakan rasa syukur atas berbagai hal, serta Tandebomba merupakan Tari yang dimainkan bersama penari pria dan wanita suku Wana.

3.      Atraksi Manyopu (menyumpit)

[caption id="attachment_263447" align="alignright" width="300" caption="Menyumpit, dalam istilah suku Wana disebut Monyopu."]

1372416098452884480
1372416098452884480
[/caption] Merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam kehdupan Wana lee, yakni untuk keperluan berburu binatang seperti burung, monyet, babi, serta sebagai salah satu senjata perang atau bela diri.

4.      Upacara Pengobatan (Momago)

To Wana memanfaatkan kekuatan roh yang mereka percaya dan bersemayam dialam seperti pohon besar, mata air, dsb yang bersifat mistik. dan dalam upacara ini, peran dukun (Walia) sangatlah penting sebagai perantara kekuatan roh untuk menyembuhkan orang sakit.

[caption id="attachment_263454" align="alignleft" width="300" caption="Tarian Momata, makna setiap gerakan yang melambangkan awal kehidupan hingga proses penghormatan kematiannya. "]

1372416462329538931
1372416462329538931
[/caption] 5.      dan upacara Momata

Upacara masyarakat Wana untuk menghilangkan kenangan pada orang yang meninggal dunia, kebiasaan ini di tandai dengan menghancurkan rumah yang mereka tinggali dan pindah ke tempat yang lain. Tradisi ini, mereka lakukan atas dasar keyakinan, bila ada yang telah meninggal dunia di suatu tempat maka itu tanda ketidakberuntungan. dan penghancuran rumah merupakan puncak dari kataris orang Wana lee.

Alangkah uniknya negeri kami, dengan nuansa keberagaman yang luar biasa eksottik..

Semoga kita, sebagai insan budaya, insan nusantasa dapat mengambil hikmah dari padanya. Wallahu a'lam

(Arf)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun