selamat malam, bermula dari koleksi film film jadul dan berbagi dengan beberapa rekan komunitas dimana mendapatkan referensi 3 film perjuangan bangsa indonesia yang katanya dilarang beredar di indonesia. ketiga film tersebut adalah :
1. MURUDEKA 17805
Film ini diawali dengan mendaratnya pasukan Jepang pada bulan Maret 1942 di pulau Jawa yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintahan Belanda. Kemudian dilanjutkan dengan kisah perjalanan regu pimpinan Letnan Takeo Shimazaki (Yamada Jundai) dan Nobutaka Miyata (Hosaka Naoki) yang ditugaskan untuk menghimpun tenaga muda lokal untuk dilatih sebagai tentara dalam kelompok bernama Shonen Dojo alias Barisan Pemuda.
Dari judulnya, sekilas dapat kita tafsirkan bahwa film ini merupakan film tentang sejarah negara Indonesia saat masih dalam penjajahan Jepang. Namun pada kenyataannya, dalam film ini justru terdapat banyak penyelewengan-penyelewengan kisah yang jauh berbeda dengan sejarah yang sebenarnya terjadi. salah satunya adalah dalam film ini digambarkan betapa gagahnya pasukan Jepang dalam melaksanakan tugas dalam rangka membebaskan saudara muda di benua asia dari belenggu penjajahan bangsa kulit putih. Padahal nyatanya??? hmmmm…. dan masih banyak kebohongan dan keganjilan dalam film ini yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. berarti selain memang cerdas dalam teknologi dan disiplin, ternyata beberapa orang Jepang juga ahli dalam mencuci otak ya? alias meracuni pikiran para penonton di Jepang hingga para rakyat Jepang mungkin merasa sangan bangga terhadap negaranya setelah menonton film ini.
Hingga pada akhirnya, film Merdeka 17805 tidak lolos sensor untuk tayang di Indonesia karena perintah sekaligus syarat dari pihak Indonesia tidak digubris oleh sang produser yaitu untuk untuk menghilangkan 2 adegan yang dianggap tidak layak. Adegan pertama adalah adegan seorang nenek tua yang bersujud dan mencium kaki Shimazaki sambil berucap telah menunggu legenda menjadi kenyataan dimana akan datang bangsa kulit kuning yang membebaskan mereka dari penjajahan kulit putih. Adegan kedua adalah lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan cara yang kurang hormat. Seandainya rakyat Indonesia menyaksikan film ini pastilah akan merasa tersakiti hatinya oleh adegan-adegan dalam film yang “ngawur” yang hanya benar sesuai versi pemerintah Jepang. Itulah mengapa para pecinta film tidak akan bisa menikmati film ini di bioskop di seluruh Indonesia.
2. OEROEG Kisah tentang kebimbangan orang yang berada pada dua dunia yang saling bermusuhan. Yohan (Rik Launspach), anak pemilik perkebunan Kebon Jati, sejak anak-anak bersahabat dengan Oeroeg (Martin Schwab), anak pribumi pegawai perkebunan, meski tak disukai oleh ayahnya. Kisah lalu meloncat saat Yohan berlatih militer di Belanda dan ditugaskan ke Indonesia. Ia sangat merindukan ayahnya, sahabatnya Oeroeg, dan negeri yang selalu hidup dalam kenangannya. Ternyata negeri itu telah berubah. Ayahnya ditemukan meninggal. Ia menduga Oeroeg membunuhnya. Maka sepanjang film pencarian terhadap Oeroeg merupakan obsesinya. Kisah pun maju-mundur sesuai dengan perkembangan Yohan: antara masa kini dan masa lalunya yang selalu terngiang jelas di ingatannya. Bentuk maju-mundur ini yang membuat film ini lebih merupakan sebuah permenungan. Perbedaan Yohan yang Belanda kulit putih dan Oeroeg yang pribumi sudah muncul sejak kecil. Yohan ingin menghilangkan jarak itu, hingga ia berhasil bersama-sama dengan Oeroeg hingga remaja. Jarak tetap tak bisa hilang. Oeroeg malah merasakan dirinya juga terperangkap pada kebimbangan yang sama, hingga akhirnya memutuskan berpihak pada Republik Indonesia dan mengambil jarak tegas dengan Yohan, yang tetap tak bisa menerima keadaan itu. Sikap Yohan yang mendua ini yang membuat dia bersikap lain terhadap tawanan Indonesia yang tertangkap Belanda, hingga akhirnya ia diputuskan dipulangkan ke Belanda. Ia lari dan memenuhi undangan Oeroeg agar jumpa di tepi telaga kenangan mereka. Ternyata ia tertangkap tentara republik dan menjumpai Lida (Ivon Pelasula), gurunya waktu kecil, yang berpihak pada republik. Lida inilah yang menjelaskan bahwa ayah Oeroeg, Deppo (Joze Rizal Manua), meninggal bukan karena menyelamatkan Yohan waktu tenggelam di telaga, tapi karena mengambil arloji ayah Yohan yang juga jatuh saat peristiwa itu terjadi. Juga dijelaskan bahwa bukan Oeroeg yang membunuh ayah Yohan, karena saat itu Oeroeg sudah ditawan Belanda. Dua sahabat ini akhirnya bertemu, saat terjadi tukar-menukar tawanan. Sutradara bersikap tidak memihak pada permusuhan dua bangsa itu. Kekejaman perang masing-masing pihak ditunjukkan. Ia lebih memihak pada persahabatan dua manusia yang hancur karena nasib yang membuat mereka berbeda. 3. MAX HAVELLAR Max Havelaar sendiri menceritakan tentang kisah nasib penderitaan rakyat pribumi Indonesia pada masa kolonial Belanda. Dalam buku (film) ini Max Havelaar adalah seorang asisten residen yang mendapat tugas birokrasi di daerah Lebak, Banten. Lebak merupakan daerah yang subur namun ironisnya masyarakatnya sangat miskin. Max Havelaar memepelajari situasi di daerah Lebak dan mendapatkan fakta yang sungguh mengejutkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Lebak bukan hanya karena penindasan yang di lakukan oleh bangsa Belanda tetapi justru penderitaan pribumi Lebak diperparah dengan tindakan sewenang-wenang, korup, ketidakadilan, yang dilakukan oleh bupatinya sendiri. Sungguh sebuah fakta yang sangat ironis bangsa sendiri justru ikut menjajah bangsa sendiri karena takut kehilangan harta dan kekuasaan. Lebak tidak hanya miskin, ia juga menyimpan kasus terselubung kejahatan bupati atas asisten residen sebelum Max Havelaar datang menggantikannya. Mr. Slotering, asisten residen sebelum Max Havelaar datang ternyata mempunyai niat yang sama dengan Max havelaar untuk membantu meringankan penderitaan rakyat Lebak akan kerakusan yang dilakukan oleh bupati Lebak. Namun dalam sebuah jamuan makan malam Mr. Slotering diracun oleh seorang demang suruhan bupati Lebak. Max Havelaar pun berusaha keras untuk mengungkap misteri ini dan juga membantu meringankan penderitaan rakyat Lebak dari tindakan sewenang-wenang bupati yang merupakan satu bangsa satu tanah air dengan rakyatnya sendiri. Namu apalah daya, kekuasaan kolonial tetap merupakan tiran yang sulit dirobohkan. Bupati Lebak ternyata sudah kongkalingkong dengan Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur Jenderal Belanda pun lebih memihak kepada Bupati Lebak daripada Max Havelaar yang sama-sama orang Eropa, karena alasan kekuasaan. Akhirnya karena merasa gagal membantu rakyat Lebak dan dengan rasa kemanusiaan Max Havelaar seperti diinjak-injak oleh perilaku bupati Lebak itu, akhirnya ia meninggalkan Lebak atas perintah Gubernur Jenderal. Beruntung Max Havelaar tidak mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya Mr. Slotering. Film yang berdurasi 2 jam 46 menit ini merupakan karya besar Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan Belanda-Indonesia yang tayang perdana pada tahun 1976. Fim ini juga dibintangi oleh aktor dan aktris senior Indonesia. Film ini sangat menonjolkan sisi humanismenya. Beberapa adegan film ini sangat menyentuh sensitivitas kemanusiaan yang bernurani. Film yang wajib ditonton oleh mereka-meraka yang menggeluti birokrasi pemerintahan karena film ini memperlihatkan betapa buruknya perilaku birokrasi pemerintahan pada saat itu yang masih relevan dengan masa sekarang. Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu bahwa buruknya perilaku pejabat-pejabat birokrasi sekarang merupakan warisan dari perilaku buruk birokrasi zaman penajajahan. Satu hal yang membuat hati saya terenyuh menonton film ini adalah betapa bangsa sendiri tega melakukan tindakan sewenang-wenang atas rakyat (bangsa) sendiri yang mestinya dilindungi dari kekejaman bangsa kolonial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H