Mohon tunggu...
Imbotz Ariozt
Imbotz Ariozt Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidik Profesional (SM3T) di Tempat yang Amatir (3T)

11 Januari 2015   06:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:23 3572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, salam MBMI. Itulah sebuah semboyan dan salam yang sering terucap dan terdengar di antara peserta Sarjana Mendidik daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (SM3T) yang tersebar di seluruh pelosok nusantara Indonesia. Secara pribadi, penulis sangat bangga atas perjalan dan proses setiap program SM3T, yang betul-betul memberikan pencerminan jiwa keprofesionalan sebagai guru untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Dan mengapa penulis mengatakan kebanggaan seperti demikian, sudah pasti bahwa itu karena memang penulis sudah termasuk ke dalam program tersebut. Sungguh banyak pengalaman yang sangat luar biasa yang penulis dapatkan selama menjalankan pengabdian di daerah 3T tersebut. Mulai dari awal, pertengahan, hingga akhir pengabdian penulis, jujur tidak mudah untuk melupakan setiap jejak langkah pengalaman yang sudah penulis rasakan sendiri.

Sebelum ke pengalaman pengabdian, penulis sedikit berbagi mengenai proses seleksi masuk program ini (SM3T). Seperti diketahui bahwa program ini terselenggara oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud), dimana pelaksanaannya sendiri melibatkan beberapa universitas sebagai tempat penyaringan atau seleksi masuk sebagai peserta SM3T tersebut. Proses seleksipun dilaksanakan secara profesional sesuai dengan instruksi pusat yaitu di sini kemendikbud, dan diseleksi secara bertahap melalui 3 (tiga) kali proses seleksi. Dimana akhirnya dari proses seleksi tersebut didapatkan calon-calon peserta program SM3T terbaik yang siap di tempatkan ke seluruh pelosok Indonesia, termasuk penulis tentunya. Namun, disini penulis bukan menceritakan proses masuknya saja, melainkan juga faktor kesiapan pribadi atau mental calon peserta. Karena mungkin saja faktor mental ini bisa menjadi bentuk seleksi pribadi di dalam diri calon peserta SM3T. Mengapa penulis mengatakan demikian, karena kembali seperti pada pengamalan penulis sendiri bahwa masih banyak juga atau tidak sedikit dari antara kami yang sudah hampir lulus seleksi, masih ada yang mengundurkan diri dari program tersebut sebelum berangkat ke tempat pengabdian. Kembali kepada faktor mental tadi, menjadi alasan mengapa tidak sedikit dari antara teman kami mundur karena ketidaksiapan mental mereka apabila sudah membayangkan posisinya ketika di lokasi pengabdian. Dan itulah seleksi kami!

Program Sarjana Mendidik daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (SM3T) akhir-akhir ini memang sudah mulai banyak dikenal khalayak ramai, apalagi bagi mereka yang berasal dari dunia pendidikan seperti guru atau pendidik tentunya. Kembali ke pribadi penulis, alasan mengapa ikut ke program SM3T ini tidak jauh juga dengan alasan teman-teman peserta lain ialah untuk membantu saudara-saudara kita yang masih sulit memperoleh pendidikan di daerahnya. Selain itu juga disebabkan oleh jiwa muda penulis dan teman yang lain yang begitu menggebu-gebu untuk berpetualangan sambil mengajar, atau bahasa sekarangnya “travelling and teaching”. Memang kalau kita mendengar kalimat itu sepertinya menyenangkan untuk diikuti, namun seperti dikatakan di atas sebelumnya masih ada saja penghalang kami untuk mengurungkan niat kami itu, seperti mental yang masih belum terasah. Dan selalu saja sebelumnya kami membayangkan dengan siapa, seperti apa ,dan bagaimana kelak disana selama pengabdian 1 tahun di tempat yang betul-betul buta gambarannya.

Itulah sedikit gambaran yang terjadi ketika kita sebelum atau akan mengikuti pengabdian SM3T di daerah yang belum diketahui situasi dan kondisinya. Bicara tentang pengalaman, begitu banyak pengalaman yang penulis dapatkan dari selama 1 tahun pengabdian di daerah 3T. Ingat 1 tahun, bukan waktu yang singkat untuk dilewatkan tanpa adanya pengalaman yang menarik. Kalau bicara daerah 3T, tentunya sudah pasti bukan daerah biasa (BDB) dan bukan layaknya kampung halaman penulis yang walapun masih disebut kampung sampai sekarang. Daerah tempat pengabdian yang penulis tempati selama pengabdian 1 tahun itu adalah tepatnya di Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh. Lebih terperinci lagi nama daerah yang penulis tinggali adalah di Desa Kampung Aie, Kecamatan Simeulue Tengah. Itulah dulu sekilas mengenai lokasi atau daerah penempatan penulis saat pengabdian yang mungkin saja masih banyak dari antara kita yang belum mengenal daerah tersebut.

Sebelum penulis menceritakan pengalaman di tempat pengabdian tersebut, tidak salah juga penulis berbagi sedikit pengalaman pada saat perjalanan pertama kali menuju daerah tempat pengabdian tersebut. Memang kalau kita bercerita tentang pengalaman apalagi bentuknya pengalaman pertama itu akan selalu saja terasa berkesan. Dan itulah yang penulis dapatkan untuk mendapat pengalaman pertama itu, yakni ketika mendapat pengalaman pertama kali manaiki pesawat terbang (cita-cita waktu SD). Terasa lucu memang mendapat pengalaman pertama naik pesawat pada usia seperti sekarang, namun itulah mungkin kesederhanaan penulis (abaikan). Disaat mendengar info bahwa pengantaran peserta SM3T Simeulue akan melalui udara (pesawat) tidak sedikit dari kami mengaku bahwa itu adalah pengalaman pertamanya, termasuk penulis yang sederhana ini. Dan perlu diketahui sedikit pesawat yang dibicarakan disini bukan pesawat boeing yang besar dan sering kita lihat, melainkan pesawat sederhana yaitu pesawat Merpati yang mungkin berkapasitas penumpang 50 orang, istilah sehari-harinya mungkin bisa disebut pesawat ¾. Karena hanya pesawat sederhana itula yang memiliki rute penerbangan ke Simeulue selain dari tentunya pesawat-pesawat kecil milik Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan kita, Susi Pudjiastuti (Susi Air).

Pemberangkatan pertama kali yang penulis lupa sampai sekarang tanggalnya itu diawali pemberangkatan peserta pengabdian di Kabupaten Aceh Timur untuk hari pertama melalui darat, dan hari selanjutnya pemberangkatan ke Kabupaten Simeulue dan Nias yang seperti yang penulis sebutkan sebelumnya melalui jalur udara yakni pesawat. Pada hari itu secara jujur penulis menyatakan bahwa sangatlah gugup ketika pertama kali berada di dalam pesawat tersebut (belum terbang), begitu juga sebagian teman yang lain. Penulis katakan sebagian memang karena tidak bisa dibaca mimik mereka yang sudah terbiasa dengan yang gugup, mungkin saja ada yang pura-pura berani atau juga pura-pura takut. Tetapi secara pribadi penulis mengaku gugup + takut, karena wajar untuk pertama kali merasakan. Disaat itu penerbangan dimulai, pesawat mulai bergerak begitu juga dengan badan penulis ikut bergerak (gemetar), hanya 1 yang bisa dilakukan sebelum berangkat dan sampai tujuan dengan selamat yakni berdoa semoga diberi keselamatan. Dan akirnya lompatan cerita kami sampai di Bandara Lasikin, Sinabang Simeulue selama sekitar 50 menit perjalanan dengan keadaan selamat. Itulah pengalaman pertama penulis ikut terbang di dalam pesawat, untuk itu sampai perlu penulis sampaikan terima kasih SM3T.

Setelah berhasil mendarat di Bandara Lasikin, Sinabang, disana yang paling kami cari bukan makanan, minuman, atau yang lainnya, melainkan sinyal telepon seluler. Banyak dari kami secara tidak sadar keliling sambil mengangkat dan menggoyangkan telepon selulernya untuk mendapatkan sedikit saja sinyal untuk memberi kabar orangtua di rumah. Dan alhasil tidak semua dari antara kami yang memperoleh sinyal itu, dikarenakan di daerah tersebut atau hampir secara menyeluruh hanya terdapat 1 provider penyedia jaringan telepon seluler yang tidak perlu disebutkan namanya. Sehingga mau tidak mau banyak dari antara kami termasuk penulis harus rela mengganti kartu sim telepon selular kami dengan yang baru yang biasa dipakai di daerah tersebut. Di samping dari permasalahan sinyal tadi, kami juga mendapatkan hal-hal yang menarik dan cenderung lucu. Misalnya ketika pengalaman penulis pribadi mengalami ketika ada saja masyarakat yang tiba-tiba bisa dikatakan menakut-nakuti kami seperti untuk berhati-hati di daerah A, jangan melakukan ini di daerah B, atau harus seperti ini di daerah C, dan secara otomatis kami merasa mulai tidak tenang mendengar hal-hal seperti itu. Namun secara profesional kami hanya bisa mencoba tegar dan kuat dihadapan mereka serta tidak boleh kelihatan lemah (sesuai dengan pelatihan Pak Mukidi).

Pembagian sekolah pun langsung dilakukan pada saat itu juga, tepatnya dilakukan di suatu Mushola kecil yang berada tidak jauh di areal bandara itu. Namun, sebelumnya perlu diketahui diantara kami penempatan Simeulue ada yang beragama non-muslim termasuk penulis.  Jadi untuk teman kami perempuan yang non-muslim, mereka sudah dianjurkan untuk mengenakan kerudung atau jilbab mulai masuk Mushola tersebut, untuk menghargai agama yang mayoritas muslim yang dianut di daerah itu. Siap tidak siap tetap harus siap bagi mereka lakukan, walapun keyakinan masing-masing dari antara kami masih tetap dijaga karena tujuan kami disana real untuk mendidik bukan untuk yang lain. Pembagian penempatan sekolah kami di Mushola pun lancar tanpa kendala, walaupun banyak dari kami yang sebelumnya gugup, takut dan dan menghindar dari 1 kata, yakni “Alafan” (daerah paling ujung simeulue yang masih tertinggal dari antara daerah lain). Akhir cerita pembagian ini penulis bersyukur tidak ditempatkan disana, melainkan tepatnya di SMP N 1 Simelue Tengah yang penulis dengar pada saat itu katanya bahwa daerah tersebut adala daerah maju kedua setelah ibukota sinabang. Dan doa penulis pun dikabulkan, walaupun mungkin secara nyatanya akan lebih banyak pengalaman menarik yang bisa di dapat dari daerah seperti alafan tersebut.

Setelah mendapat lokasi penempatan, kami mulai mencari sumber informasi daerah kami masing-masing yang masih buta sama sekali. Namun ada dari antara kami atau termasuk penulis didatangi dan juga dijemput kepala sekolahnya, yang pastinya sangat membantu kami dalam mendapat informasi lokasi sokolah pengabdian. Sedikit berbeda dengan kepala sekolah penulis yang bernama Pak Hansar, beliau memang mendatangi penulis di bandara, yang hanya sekedar memberi sedikit informasi cara untuk menuju sekolah SMP N 1 Simeulue Tengah dan bukan untuk menjemput serta mengantar ke tujuan. Dan mau tidak mau penulis pun harus mengikuti sarannya, dan akhirnya penulis dan teman yang lain (yang tidak dijemput) yang searah dengan penulis pun harus rela naik mobil angkutan umum yang biasa digunakan disana. Singkat cerita dalam perjalanan kami ke lokasi masing-masing, di dalam mobil kami masih bisa tertawa dan bercanda satu sama lain sambil melihat indahnya pinggiran pantai yang masih terlihat biru di sepanjang perjalanan kami. Tetapi di samping itu, tidak semua dari kami di mobil itu yang menikmati, masih ada teman yang bersedih selama perjalanan, dikarenakan di mobil kami ada teman yang mendapat penempatan alafan, dan tidak perlu penulis sebutkan siapa. Kami hanya bisa menguatkan mereka sambil bercanda-canda, dan akhirnya mereka pun tersenyum.

Selama perjalanan di mobil angkutan tadi, penulis mulai merasakan suasana berbeda. Pertama, mulai dengan cuaca yang tidak menentu selama kurang lebih 2 jam perjalanan, kadang cuacanya cerah, dan terkadang juga tiba-tiba hujan. Penulis berpikir seperti itulah mungkin cuaca yang sering terjadi di daerah pulau. Kedua, bahasa daerah mulai sayup-sayup kami dengar dan sambil bertanya-tanya tentang bahasa mereka dengan kernet mobil tadi. Bahasa daerah yang mulai kami dengar dan juga berdasarkan info kernet bahwa di daerah pulau Simeulue ini tidak hanya menggunakan 1 macam bahasa daerah, karena disana terkadang setiap kecamatan bisa berbeda-beda bahasa daerah yang digunakan. Perlu diketahui di kabupaten Simeulue tersebut sebelumnya terdapat 8 kecamatan, namun pada akhirnya mulai berkembang menjadi 10 kecamatan dan pastinya tidak semua menggunakan bahasa daerah yang sama. Sungguh menarik memang keberagaman bahasa yang mungkin bisa kami dapatkan di daerah ini. Dan kami juga berharap bisa mengerti minimal salah satu dari bahasa daerah tersebut untuk lebih dapat bersosialisasi dengan masyarakat setempat.

Tidak terasa sambil menikmati indahnya pemandangan pantai dan perbincangan tadi sudah 2 jam perjalanan berlalu. Pada akhirnya penulis pun sampai pada tujuan yang dimaksud, SMPN 1 Simeulue Tengah, daerah pengabdian penulis tepatnya di desa Kampung Aie. Jujur, penulis sedikit terkejut dengan kondisi yang kami lihat disana, dimana tidak sesuai dengan apa yang penulis bayangkan. Bukan terkejut karena kondisinya yang sangat 3T, melainkan daerahnya yang sudah tergolong maju. Tepat seperti informasi yang penulis dapatkan saat pembagian lokasi di sinabang. Tetapi disini maju yang dikatakan bukan maju seperti layaknya di kota besar, melainkan maju untuk taraf pulau terluar atau terpencil seperti ini. Dimana saya disana mendapatkan banyak pemukiman penduduk dan pedagang atau tempat jual makanan atau pakaian sekalipun. Di dalam hati kecil penulis secara manusiawi, cukup beruntunglah untuk mendapat lokasi ini dan berharap mendapat pengalaman mengajar yang menarik di daerah tersebut. Dan itupun masih sekedar pandangan luar saja, karena belum tahu bagaimana situasi di dalamnya. Jadi penulis pun harus siap untuk segera beradaptasi dengan keadaan yang belum kami kenal sama sekali, walaupun dengan kondisi seperti itu.

Sekedar informasi juga, berbeda dengan sebagian teman yang lain penulis disini di tempatkan seorang diri di sekolah pengabdian tersebut. Sehingga mau tidak mau juga harus sendiri beradaptasi dengan lingkungan walau memang masih ada teman 1 kecamatan yang penempatan disana. Di desa kampung aie, penulis diturunkan dan menghubungi nomor telepon yang kepala sekolah (Pak Kep) berikan untuk menjemput penulis disana yang penulis belum kenal sama sekali. Dan akhirnya tidak menunggu lama penulis pun bertemu dengan beliau yang merupakan guru olah raga di sekolah tempat pengabdian penulis. Bapak guru olah raga yang penulis jumpai itu bernama Pak Safriman, beliau guru PNS yang tepat tinggal di dekat sekolah. Kami pun berkenalan dan tanpa menunggu lama beliau mengantar penulis ke rumah kontrakan. Rumah kontrakan tersebut ternyata kontrakan yang di tempati oleh peserta SM3T Unimed angkatan 1 bernama Pak Roby Jurusan Geografi. Dan akhirnya kamipun mulai berbincang dan bapak itu pun banyak berbagi pengalaman dengan penulis. Tidak lama penulis tinggal disana, penulis pun mendapatkan kontrakan yang baru dan bertemu dengan teman peserta SM3T yang lain. Kami menempati kontrakan tersebut ada 6 orang yang dimana jarak sekolahnya masih kira-kira dekat dengan kontrakan yang kami tempati.

Sekolah, hari pertama seperti biasa haruslah memang siap untuk memulai sesuatu yang baru dan beradaptasi dengan apa yang ada. Guru-guru di sekolah itu menyambut baik keberadaan guru dari luar terlebih dari guru SM3T, seperti yang di alami oleh mereka angkatan 1 yang pada saat itu ada 4 orang di sekolah itu. Layaknya mereka, penulis pun rasakan penyambutan demikian. Kepala sekolah dan guru serta staff sekolah menyambut penulis secara baik, dan bahkan sangat baik. Suatu kebanggan tersendiri memang yang dirasakan saat itu, yang tidak bisa penulis dapatkan di tempat mengajar sebelumnya bahkan di kampung sendiri. Penyambutan yang masih penulis ingat sampai sekarang untuk sekolah itu. Dimana mereka selalu menghormati keberadaan kami disana dengan selalu menyapa dan tersenyum setiap harinya. Sungguh pengalaman yang tidak pernah penulis dapatkan sebelumnya. Seandainya setiap sekolah di seluruh Indonesia menerapkan hal demikian, bukan tidak mungkin sekolah akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi guru dan tentunya siswanya. Perlu penulis ceritakan, jumlah guru disana tidaklah banyak, bahkan tidak cukup untuk menutupi beberapa mata pelajaran disana. Siswa disana memang jumlahnya hampir mencapai 200 orang, wajar mungkin memang karena dekat dengan daerah ramai penduduk dan satu-satunya sekolah SMP Negeri disana. Namun, kendala yang langsung penulis dapatkan disana adalah ketersediaan tenaga pengajar yang kurang, yang hanya kurang lebih 11 orang termasuk kepala sekolah. Dan untuk mata pelajaran seperti fisika, bahasa inggris, matematika murni sekolah itu tidak memiliki guru untuk mengajarnya. Miris memang untuk mereka siswa yang akan menghadapi ujian yang termasuk ke dalam mata pelajaran untuk ujian nasional (UN) dari pusat.

Dengan mengetahui secara langsung kekurangan guru tersebut, penulis berpikiran memang inilah yang menjadi tujuan kami datang disini untuk membantu mereka yang membutuhkan pengajaran. Bayangkan juga, bukan hanya kekurangan saja sebenarnya, di sekolah itu perlu diketahui bahwa jenjang studi guru disana masih banyak juga yang hanya tamatan SMA, bahkan kepala sekolah disana pun masih lulusan D1. Bagaimana coba kita merasakan siswa dapat memperoleh ilmu dari mereka guru yang terkadang belum matang di bidangnya, bisa kita renungkan sendiri kondisinya. Dengan keadaan demikian, penulis mulai merenung dalam hati untuk secara sukarela mengajukan diri mengajar mata pelajaran yang kosong gurunya tersebut. Walau tidak semua mata pelajaran, penulis mengambil mata pelajaran fisika dan matematika untuk diajarkan yang memang tidak sama dengan jurusan  yang penulis kuasai, yakni biologi. Dengan demikian, sedikit ataupun banyak masalah dan kendala mereka di sekolah akhirnya mulai teratasi. Kebanggaan tersendiri pun penulis rasakan saat itu juga dengan adanya program SM3T ini mereka merasakan bantuan langsung mengajar dari kami. Penulis pun saat itu berharap semoga menjadi awal yang menarik bagi penulis selama pengabdian disana.

Secara menyeluruh penulis ceritakan disini pengabdian kami mengajar disana tentulah di luar bayangan kami sebelumnya. Dimana selain kurangnya kebutuhan guru disana dijumpai juga siswa yang masih mengganggap belajar atau sekolah itu tidaklah penting. Di dalam benak mereka sendiri merasakan bahwa pendidikan itu tidaklah penting selain dari pergi bekerja atau berladang dan melaut yang dapat banyak menghasilkan uang tentunya. Sehingga secara langsung kami juga merasa bahwa bukanlah hanya mengajar atau mendidik tujuan kami datang ke pulau itu. Dengan kata lain kami secara tidak langsung dituntut agar dapat membuat siswa itu berpikir bahwa belajar itu penting, belajar itu adalah masa depan, dan belajar itulah masa depan mereka. Itulah yang menjadi tuntutan kami yang memang haruslah kami realisasikan di tempat pengabdian itu, yakni sebagai contoh kami tidak begitu banyak berinteraksi di sekolah sebanyak interaksi kami di luar sekolah. Artinya kami lebih mendekatkan diri untuk mereka anak-anak yang masih atau tidak bersekolah, mengarahkan mereka bahwa sekolah itu penting untuk masa depan mereka. Dan tidak lama dalam setahun itu, kami pun dapat merasakan hasil pengabdian kami untuk mereka yang mulai ingin atau kembali ke sekolah untuk belajar. Masih penulis ingat satu kalimat yang ditanyakan salah satu dari mereka pada penulis, yaitu : “Pak oi, bisa tidak saya belajar ke rumah sekolah ini?”. Kalimat yang sungguh menyentuh hati penulis dan teman disana ketika pert

anyaan itu ditanyakan pada kami yang sedang bermain di sebuah lapangan dekat sekolah. Hasil yang indah tentunya bagi pribadi penulis, karena tujuan yang memang bukan menjadi prioritas dapat menjadi hasil yang positif untuk mendorong mereka semangat belajar.

Dan, singkat dari pengalaman ini memang nyata penulis rasakan hingga akhir pengabdian bersama teman seperjuangan disana. Terima kasih untuk setiap pengalaman pengabdian ini, kelak mungkin suatu saat nanti kami dapat memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang kami telah lakukan pada saat di tempat pengabdian kami masing-masing. Serta biarlah juga program ini berlanjut dengan apa yang menjadi seharusnya dan semakin diberikan “sedikit lagi” penghargaan bagi mereka atau kami yang sudah betul nyata mengabdi untuk mendidik ke seluruh pelosok negeri, yang sudah merelakan segala yang dimiliki seperti nyawa tentunya ketika berada di tempat pengabdian. Bukan suatu hal untuk berfoya-foya, bukan suatu hal untuk memuaskan raga, dan juga bukan suatu hal untuk menambah pundi-pundi tabungan, melainkan 1 hal saja yang diharapkan dari hasil pengabdian ini, yakni masa depan yang cerah bagi seluruh mereka yang sudah menjadi bagian peserta SM3T Indonesia. Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia!!!.

07-01-2015

Filma Aritonang

SM3T UNIMED Angkatan II

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun