Mohon tunggu...
Fildzah Azrika
Fildzah Azrika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Hukum Keluarga

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengapa Anak di Bawah Umur Rentan Menjadi Korban Pelecehan Seksual?

24 Mei 2024   03:28 Diperbarui: 24 Mei 2024   03:35 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  Kekerasan seksual terhadap anak atau Child Sexual Abuse  adalah suatu bentuk penyiksaan oleh orang dewasa terhadap anak untuk rangsangan seksualnya yang meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku.

   Semakin berkembangnya zaman, tentu semakin banyaknya kasus-kasus mengenai pelecehan seksual. Pelecehan seksual dapat terjadi dengan berbagai macam cara, baik secara verbal maupun non verbal atau bahkan dapat terjadi melalu platform digital. Bahkan korban dari pelecehan seksual bukan hanya terjadi kepada orang dewasa saja, namun hal tersebut juga terjadi kepada anak-anak di bawah umur. Dilansir dari https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan kasus pelecehan seksual anak di bawah umur mencapai 5.073 kasus per januari 2024 ini. 

Jika diselediki lebih dalam kasus tersebut, yang menjadi pelakunya adalah orang dewasa atau bahkan orang dewasa yang sudah lanjut usia bahkan menurut beberapa penelitian pelaku dari pelecehan seksual terhadap anak adalah orang terdekat dari korban yaitu seperti ayah dari anak tersebut, paman, kakek, atau pun yang lainnya yang berhubungan dekat dengan sang anak.  

Bahkan semakin berkembangnya zaman ini kasus pelecehan seksual juga dilakukan sesama anak di bawah umur, yaitu pelakunya adalah seorang anak kecil begitu pun korbannya adalah seorang anak kecil pula. Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya.

   Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah amanah yang diberikan oleh Allah kepada orang tuanya. Oleh sebab itu orang tua wajib menjaga anaknya serta memberikan pendidikan yang baik terhadap anak. Menurut pakar psikologi perkembangan, anak diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yaitu masa anak awal rentan usia dimulai dari masa akhir bayi ditahun ke 5 hingga ke 6 kehidupan, dan masa anak pertengahan & akhir yang dimulai dari usia 6 hingga 11 tahun yang biasanya sudah duduk di bangku Sekolah Dasar.

   Peran orang tua sangat penting dalam masa pertumbuhan anak dalam fase anak awal dan akhir ini, karena anak pada usia 5 hingga 11 tahun sudah memiliki rasa penasaran yang tinggi dan ingin mencoba hal-hal yang baru. Anak merasa bahwa ia mampu melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya tanpa bantuan dari orang tuanya, sehingga ia mampu mudah meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.

   Berikut adalah alasan-alasan mengapa anak di bawah umur menjadi target dari pelaku pelecehan seksual :

  • Anak kecil cenderung memiliki wajah yang imut dan fresh dibanding orang dewasa

Hal tersebut karena fetish atau obsesi seksual pelaku yang tak biasa, yang menganggap bahwa anak kecil lebih menarik dibanding orang dewasa yang seumurannya, pelaku tersebut dapat dikatakan sebagai Pedofilia yang memiliki kelainan seksual ketertarikan terhadap anak-anak.

  • Anak selalu pada posisi yang lemah dan tidak berdaya

Anak kecil memiliki postur tubuh yang lebih kecil dibanding orang dewasa, sehingga membuat pelaku berpikir apabila mereka melakukan hal tak senonoh tersebut, korban tidak akan memberontak karena kekuatan fisiknya yang lemah.

  • Rendahnya kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak

Pendidikan seks sejak dini sangat penting diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, namun hal tentang seks tersebut masih dianggap tabu oleh sebagian orang tua. Mereka menganggap bahwa anak kecil belum pantas untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan seks, padahal hal tersebut untuk mengantisipasi anak mereka dari kejahatan seksual. 

Orang tua seharusnya mulai memberikan edukasi kepada anak mengenai mana bagian tubuh yang tidak boleh dipegang orang lain, untuk selalu berhati-hati terhadap lawan jenis, dan lain sebagainya. Pelaku pelecehan seksual terhadap anak ini lebih banyak dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti kasus yang terjadi di Makassar di mana pelaku adalah orang yang sudah lanjut usia kemudian melakukan pelecehan terhadap 3 korban sekaligus dalam sehari, namun ia ber-alibi saat di pengadilan bahwa itu adalah bukan bentuk pelecehan namun bentuk kasih sayangnya terhadap para korban karna sudah menganggapnya sebagai cucu. 

Padahal hal yang dilakukannya itu memberikan tanda-tanda pelecehan seperti mencium dan memegang alat kelamin korban. Di sinilah para orang tua harus terus berhati-hati terhadap perilaku seseorang, sekalipun ia orang yang sudah dipercaya, karena kejahatan bisa datang dari mana saja.

  • Mudah dimanipulasi

Sifat inilah yang selalu dimiliki oleh anak-anak, mereka mudah diberi janji seperti dibelikan barang, diberi uang jajan, dan lain-lain yang membuat mereka senang dan mau menuruti apa kata yang memberi janji tersebut. Pada kesempatan inilah pelaku memanfaatkan kelemahan para korban.

  • Rasa ingin tahu yang sangat tinggi

Masa anak-anak adalah masa awal perkembangan dari sejak mereka bayi, sehingga mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi terhadap apa pun di sekitarnya. Hal inilah yang membuat anak-anak mudah menjadi korban pelecehan karena ia menuruti apa kata pelaku karena mereka ingin mencoba hal baru dan penasaran akan hal tersebut.

  • Mudahnya akses pornografi

Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 67A Setiap Orang wajib melindungi Anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses Anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi. Di sinilah peran penting orang tua dalam memberikan akses internet kepada anak-anak, orang tua harus selalu mengawasi anaknya dalam bermain gadget karena apa pun mudah diakses di internet, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan pornografi tentu mudah dicari atau bahkan muncul dengan sendirinya saat anak bermain gadget. 

Hal inilah yang menjadi anak di bawah umur sebagai pelaku pelecehan seksual sesama anak, mereka mudah meniru apa yang dilihatnya di internet, kemudian ia mencoba dengan temannya sehingga terjadilah pelecehan seksual sesama anak. Tentu sudah banyak kasus yang beredar mengenai pelecehan seksual terhadap sesama anak ini, seperti pada video yang muncul di platform TikTok bahwa ada 3 orang anak kecil yang sedang melakukan hal tak senonoh di area kuburan, begitu pun juga kasus yang muncul di platform Twitter yang dibagikan oleh Kaka sang korban yang menyatakan bahwa adiknya dilecehkan oleh sesama teman pengajiannya yang masih duduk di bangku kelas 1 SD. 

Respon orang tua terhadap pelecehan seksual sesama anak ini tentu memiliki perspektif yang berbeda-beda, perspektif dari orang tua sang pelaku tentu tidak terima jika anaknya menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap temannya, karena ia menganggap bahwa itu adalah kegiatan bermain biasa yang dilakukan oleh sesama anak kecil, dan ia menganggap bahwa anaknya tidak mungkin melakukan hal yang tak senonoh tersebut, namun dalam perspektif orang tua korban tentu ia tidak setuju jika anaknya dilecehkan oleh temannya walaupun itu dalam konteks bercanda sesama anak kecil, dan beranggapan bahwa di sinilah kurangnya peran orang tua pelaku dalam mengawasi anaknya saat bermain gadget.

  • Minimnya kesadaran kolektif terhadap perlindungan anak di lingkungan pendidikan

Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak dalam menuntut ilmu, namun menjadi tempat paling menakutkan bagi korban pelecehan seksual yang disebabkan oleh sang guru. Sudah banyak sekali kasus pelecehan seksual di bawah umur yang terjadi di lingkungan pendidikan, namun kasus tersebut sulit sekali di bawa ke jalur hukum, karena demi menjaga nama baik instansi pendidikan tersebut.

  • Anak dalam situasi yang darurat

Korban pelecehan seksual anak di bawah umur ini rentan terjadi kepada anak korban broken home, anak yang tinggal dengan orang tua tirinya, anak-anak yang berasal dari keluarga yang melakukan kekerasan, anak-anak pinggir jalan, anak yang mengalami kesulitan ekonomi dan sebagainya yang cenderung memiliki kelemahan baik secara fisik, psikologis, ekonomi, maupun sosial dibandingkan dengan pelaku sehingga mereka cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menentang atau melawan tindak kejahatan tersebut.

   Fenomena pelecehan seksual terhadap anak ini, menunjukkan betapa sempitnya dunia yang aman bagi anak. Bagaimana tidak, dunia yang seharusnya menjadi tempat bermain, penebar kebahagiaan, tempat belajar, harus berputar balik menjadi sebuah potret ketakutan terhadap anak karena telah menjadi subjek pelecehan seksual. Anak harus memiliki perlindungan seperti yang tertera dalam UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 76D yaitu Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan Pasal 76E yaitu Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

   Para pelaku pelecehan seksual tersebut tentu harus diberikan sanksi yang seadil-adilnya seperti yang terdapat dalam beberapa Pasal dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu di antaranya :

  • Pasal 81 (1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Pasal 82 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

   Mengenai kasus pelecehan anak di bawah umur yang sangat beredar ini, para orang tua tentu harus terus waspada terhadap tindak kejahatan ini. Karena hal tersebut dapat terjadi di mana-mana, orang tua harus berperan lebih terhadap anak yang menjadi korban pelecehan seksual karena para korban tentu akan memiliki rasa trauma yang sulit hilang hingga mereka dewasa nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun