Kerjasama diplomatik pemerintah Indonesia dan Tiongkok sudah lama terjalin serta berjalan seiring perkembangan zaman. Diplomasi islam antara Indonesia-Tiongkok sendiri tidak jarang pula mengalami pasang-surut hubungan diplomasinya selama lebih dari enam dekade. Hubungan kedua negara tersebut pada dasarnya sudah dibuka secara resmi pada bulan Juni tahun 1950. Tetapi, karena pengaruh terjadinya peristiwa pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 berakibat pada pembekuan hubungan diplomatik kedua negara tersebut yaitu Indonesia-Tiongkok karena munculnya kecurigaan dengan keterlibatan negara Tiongkok dalam peristiwa mengerikan dan menyedihkan tersebut. Kemudian normalisasi hubungan diplomasi Indonesia dan Tiongkok dilaksanakan kembali pada  tahun 1990, setelah melihat situasi dan kondisi kedua negara terkait politik global yang telah membaik dan semakin menguntungkan bagi kedua negara tersebut.
Hubungan kedua negara tersebut terus meningkat dalam berbagai bidang seperti dibidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan semakin memuncak dengan ditandatanganinya Deklarasi Kemitraan Strategis pada tahun 2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif. Dalam perkembangannya yang semakin luas dan menguntungkan ini, keterbukaan dan modernitas yang ditunjukkan oleh negara Tiongkok telah mendorong terciptanya kerjasama kemitraan yang strategis yang mana lebih dalam antara Indonesia dan Tiongkok. Diplomasi yang dilakukan tidak hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga memanfaatkan sumber kekuatan baru yang dapat dikenal luas dengan soft power. Selain Kerjasama dalam kemitraan secara politik, Â ekonomi dan sosial-budaya, negara Indonesia dan Tiongkok terhubung karena sejarah eksistensi islam di kedua negara. Menurut beberapa ahli sejarah, pengaruh islam di negara Indonesia telah disebar-luaskan melalui utusan-utusan muslim Tiongkok yang datang ke Indonesia dalam pelayarannya sebagai pedagang pada awal abad ke-15. Utusan yang dikenal luas dalam sejarah masuknya islam ke Indonesia adalah Laksamana Zheng He atau lebih dikenal dengan nama Cheng Ho. Kesamaan sejarah dari kedua negara sebagai muslim telah menciptakan ikatan tersendiri bagi kedua negara. Dalam kunjungannya ke Tiongkok bulan Mei 2017 lalu, Presiden Joko Widodo sempat mengunjungi Masjid Niujie di Beijing, masjid yang ternyata dulu juga pernah dikunjungi oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur pada tahun 1999.
Eksistensi dalam hubungan diplomatik antara masyarakat Muslim di Indonesia dan Tiongkok sudah lama terjalin, tetapi aktifitas dan kegiatan-kegiatan dalam hubungan diplomatik tersebut masih terbatas dan belum bisa menjadi sebagai prioritas di kedua negara. Hal ini telah diakui oleh pemerintah Tiongkok yang memberikan batasan pada faith diplomacy atau diplomasi Islam antara mereka. Walaupun begitu, terlihat adanya potensi yang bisa digali dari kedua negara yaitu Indonesia dan Tiongkok seiring dengan meningkatnya interaksi antara masyarakat muslim dikedua negara tersebut, begitu juga dengan adanya faktor dorongan global untuk memanfaatkan soft power sebagai alat diplomasi dalam hubungan diplomatik antara negara Indonesia dan negara Tiongkok telah terlihat sangat nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H