Politik adalah bagian penting dalam kehidupan bernegara yang menentukan arah kebijakan, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks demokrasi, politik memberi ruang bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dan kebijakan melalui proses pemilihan umum. Namun, seiring dengan pentingnya peran politik, muncul pula fenomena fanatisme politik yang sering kali merugikan. Fanatisme dalam politik dapat menghambat proses demokrasi yang sehat, karena menutup ruang dialog, mengaburkan logika, dan menciptakan polarisasi di masyarakat.
Fanatisme politik terjadi ketika seseorang mendukung partai atau tokoh politik secara membabi buta, tanpa mempertimbangkan kebijakan atau nilai yang diperjuangkan. Para fanatik politik cenderung mengabaikan kesalahan yang dilakukan oleh tokoh atau partai yang mereka dukung, sekaligus mengkritik berlebihan pihak lawan. Kondisi ini bisa memperkeruh suasana politik dan merusak etika demokrasi, karena perdebatan yang seharusnya berjalan konstruktif malah berubah menjadi konflik yang tak produktif.
Di sisi lain, politik itu sejatinya bersifat dinamis. Dinamis berarti kebijakan, tokoh, dan partai politik bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Pemimpin yang dianggap ideal hari ini belum tentu relevan di masa depan, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, memegang teguh fanatisme terhadap satu tokoh atau partai tanpa mempertimbangkan perubahan dan kebutuhan masyarakat hanya akan menutup kemungkinan munculnya ide-ide baru yang lebih baik.
Selain itu, fanatisme politik sering kali mengaburkan realitas dan membuat seseorang sulit melihat kelemahan atau kekurangan pihak yang didukungnya. Mereka terjebak dalam pandangan bahwa tokoh atau partainya adalah yang terbaik, sementara yang lain salah. Padahal, dalam politik, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan bahkan diperlukan untuk menghasilkan solusi yang lebih baik. Setiap pihak harus bisa membuka diri untuk mendengar pandangan lain dan berdiskusi dengan kepala dingin demi kepentingan bersama.
Ketika kita terlalu fanatik dalam politik, kita sering kali melupakan tujuan utama dari berpolitik itu sendiri, yaitu menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang. Kita mungkin terlalu sibuk membela tokoh atau partai, hingga melupakan apa yang sebenarnya kita inginkan dari kebijakan yang dijalankan. Padahal, politik bukanlah tentang siapa yang menang dan kalah, tetapi tentang bagaimana setiap kebijakan yang diambil bisa membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Di era informasi yang serba cepat dan sering kali membingungkan, penting untuk selalu menyaring informasi dan tidak mudah terbawa oleh propaganda politik. Banyaknya berita yang beredar, terutama di media sosial, sering kali membuat seseorang terjebak dalam narasi yang tidak seimbang. Jika kita hanya mengikuti satu sudut pandang, maka kita akan kehilangan objektivitas dalam menilai situasi politik. Oleh karena itu, sikap kritis sangat penting agar kita tidak terjebak dalam fanatisme yang merugikan.
Dalam konteks demokrasi, perbedaan pandangan adalah hal yang normal dan sehat. Setiap individu memiliki hak untuk memiliki pandangan politik yang berbeda, asalkan tetap dalam koridor etika dan menghormati perbedaan. Sikap terbuka terhadap perbedaan ini akan membantu memperkuat demokrasi, karena setiap ide dan pandangan yang berbeda bisa saling melengkapi untuk mencapai solusi yang lebih baik. Sebaliknya, fanatisme hanya akan memperdalam jurang perpecahan dan memperlemah daya kritis masyarakat.
Bagi generasi muda, penting untuk memahami bahwa politik adalah sarana untuk menciptakan perubahan, bukan ajang untuk mencari kemenangan semata. Generasi muda seharusnya tidak terjebak dalam fanatisme yang memecah belah, tetapi berperan aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan bersama. Dengan memahami bahwa politik itu dinamis, mereka akan lebih fleksibel dalam menyikapi perubahan dan tetap fokus pada tujuan yang lebih besar, yaitu kemajuan bangsa.
Fanatisme politik juga bisa mengganggu hubungan sosial di masyarakat. Sering kali, perbedaan pandangan politik membuat persahabatan dan hubungan keluarga menjadi renggang. Padahal, perbedaan politik seharusnya tidak menghalangi kita untuk tetap saling menghargai dan berempati satu sama lain. Dengan memahami bahwa politik itu dinamis, kita akan lebih mudah berdiskusi dan saling menerima pandangan yang berbeda tanpa harus bermusuhan.
Akhirnya, kita harus ingat bahwa politik hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Jangan biarkan fanatisme membuat kita lupa bahwa politik ada untuk melayani masyarakat, bukan untuk membela kepentingan kelompok tertentu. Dengan tetap bersikap terbuka, kritis, dan menghargai perbedaan, kita bisa bersama-sama mewujudkan politik yang lebih sehat dan bermanfaat bagi semua orang. Politikus datang dan pergi, partai berganti-ganti, tetapi tujuan kita sebagai bangsa tetaplah sama: mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H