Sekolah sejatinya adalah tempat untuk belajar. Tempat para siswa belajar mengenal sesuatu yang baru. Belajar melakukan hal-hal baru. Belajar memasuki dunia baru. Sekolah adalah tempat bagi mereka menemukan inspirasi. Sesuatu yang membuat mereka terinspirasi.
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sekolah adalah Tempat untuk Belajar"][/caption]
Sekolah juga merupakan tempat untuk belajar. Bagi para guru. Sekolah adalah tempat bagi mereka untuk belajar mengajar, belajar mendidik. Belajar menemukan cara yang tepat untuk mengenalkan sesuatu yang baru pada siswa-siswanya. Belajar bagaimana mengajari mereka melakukan hal-hal baru. Belajar mendampingi mereka memasuki dunia baru. Sekolah adalah tempat bagi para guru untuk menjadi sosok inspiratif. Agar siswa-siswanya terinspirasi. Karena guru memang sudah seharusnya menjadi inspirasi bagi siswa-siswanya.
Guru adalah contoh di sekolah. Guru adalah teladan, role model di sekolah. Guru yang baik akan menghasilkan siswa-siswa yang baik. Guru yang baik akan menularkan kebaikan di sekolah. Namun sebaliknya, guru yang tidak baik, akan menetaskan siswa-siswa yang tidak baik pula. Guru yang berkebiasaan tidak baik akan membuat siswanya berkebiasaan tidak baik juga. Bahkan bisa jauh lebih tidak baik. Karena sekali lagi, guru adalah contoh bagi siswa-siswanya. Seperti pepatah kuno yang mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Sungguh miris ketika ada guru yang memiliki kebiasaan tidak baik dan dilakukan di sekolah. Tempat yang seharusnya untuk belajar. Tempat yang semestinya mereka gunakan untuk memberi contoh kebiasaan baik, bukan sebaliknya. Lalu, apa akibatnya jika di sekolah ada sekelompok guru yang ngerumpi, berghibah, atau semacamnya, satu kebiasaan tidak baik yang paling sering dilakukan oleh oknum guru di sekolah? Jawabannya tengok lagi pepatah kuno di atas.
Di kantor guru, di kantin, di perpustakaan, di UKS, atau bahkan di halaman sekolah, tak jarang ada oknum guru yang dengan asyiknya ngerumpi, membicarakan sesuatu yang sedikit manfaatnya. Bahkan mungkin tak ada manfaatnya sama sekali. Seolah mereka tak berdosa melakukannya. Parahnya lagi, yang mereka rumpikan adalah orang lain. Guru lain. Atau bahkan siswanya sendiri dirumpikan. Atau mungkin keluarganya yang diseret-seret.
Maaf, bukan maksud bersikap rasis, tapi kenyataan yang sering saya temui, kebiasaan ngerumpi di sekolah lebih sering dilakukan oleh oknum guru dari kaum hawa, alias para Ibu guru. Di sini saya sebut oknum karena tidak semuanya begitu. Bukan karena saya bukan kaum hawa, tapi memang begitulah adanya. Diakui atau tidak.
Kaum adam memang kodratnya diam. Sesuai dengan huruf terakhir dari kata adam. Huruf M. Mulut tertutup. Makanya, tak heran jika banyak Bapak Guru yang sedikit bicara. Sebaliknya, huruf terakhir dari kata hawa adalah A. Huruf vokal. Mulut terbuka. Maka wajar jika banyak Ibu guru yang vokal, banyak membuka mulutnya. Mereka begitu bersemangat bersuara. Tidak hanya saat mengajar atau saat rapat, tapi setiap saat ada kesempatan. Saat ada kesempatan berkumpul dengan kaum segender. Sesama kaum hawa.
Banyak Bapak Guru yang sebenarnya merasa risih dengan kebiasaan ngerumpi oknum Ibu guru tadi. Tapi tak pernah mereka ungkapkan. Karena mereka memang tak pandai mengungkapkan perasaan. Bukannya mereka sok suci, tapi keterlaluan saja jika ngerumpi dilakukan oleh sosok yang semestinya menjadi teladan yang menginspirasi di sekolah. Sosok yang seharusnya menebar kebaikan di tempat yang dinamakan sekolah.
Saat para Bapak Guru sudah tidak nyaman dengan bad habit oknum di atas, jangan ditanya jika mereka akhirnya lebih memilih menghindar, pergi menyapa penjaga sekolah, ikut para siswa jajan di kantin, atau mungkin diam saja di kantor. Asal tidak ikut hanyut dalam keasyikan ngerumpi para oknum Ibu Guru tadi.
Kebiasaan ngerumpi para oknum guru cepat atau lambat, disadari atau tidak, akan ditiru oleh siswa-siswanya. Maka, jangan salahkan mereka jika akhirnya mereka juga punya kebiasaan yang sama. Jangan marahi mereka jika mendapati mereka ngerumpi di sekolah. Jangan hukum mereka jika melihat mereka ngerumpi di kelas. Jangan larang mereka jika mereka lebih memilih ngerumpi ketimbang baca buku. Karena mereka mungkin saja sedang meniru kelakuan gurunya yang senang ngerumpi dan tidak suka membaca.
Menjadi guru harus total. Ngerumpi untuk melepas penat setelah mengajar di kelas bukan sebuah solusi cerdas. Guru yang baik seharusnya tidak pernah merasa penat setelah mengajar. Masih banyak hal lain yang lebih bermanfaat yang bisa dilakukan oleh seorang guru di luar kelas. Hal-hal yang bisa membuatnya berkembang. Hal-hal yang bisa menjadi inspirasi bagi siswa-siswanya. Hal-hal yang membuatnya layak disebut sebagai guru.
Daripada ngerumpi tidak jelas, lebih baik belajar. Sesuai dengan definisi sekolah di atas. Tempat untuk belajar. Bukan untuk ngerumpi. Sudah menjadi guru bukan berarti berhenti belajar. Guru yang baik adalah guru yang selalu merasa belum menjadi guru yang baik. Guru yang baik adalah guru yang selalu berusaha mengembangkan dirinya menjadi guru yang lebih baik dan lebih baik lagi. Guru yang baik adalah guru yang selalu ingin memberikan contoh yang baik bagi siswa-siswanya. Guru yang menjadi inspirasi bagi mereka.
Jika di suatu lingkungan sekolah, kebiasaan ngerumpi para gurunya sudah menjalar, sebaiknya kepala sekolah sebagai orang yang paling memegang kendali harus tegas mengambil sikap. Jangan sampai kebiasaan tidak baik itu menular ke para siswa. Jauhkan mereka dari kebiasaan ngerumpi di sekolah. Mereka adalah aset negara yang sangat berharga. Aset ini tidak boleh sampai rusak hanya gara-gara oknum guru yang suka ngerumpi. Oknum yang seharusnya menjadi suri tauladan. Oknum yang seharusnya menjadikan sekolah sebagai tempat untuk belajar. (fila174)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H