Buruh meupakan sebuah pekerjaan yang mungkin sangat mudah untuk dicari, tidak membutuhkan pendidikan tinggi untuk menjalani pekerjaan tersebut, hanya keuletan saja yang menjadi tolak ukur para bos kapitalis untuk menilai setiap pekerjanya.Â
Terdapat pula system kerja rodi yang menjadikan pekerja seperti budak, tak kenal waktu dan kondisi setiap pekerja diharuskan untuk tetap bekerja sesuai dengan keinginannya. Lebih mirisnya lagi setiap pekerja tidak diperbolehkan berekspresi mereka dipekerjakan sama tanpa ada pembeda, para pekerja ini seperti robot yang patuh bukan sebagai manusia yang tangguh.
Aku adalah aku, aku disini sama seperti mereka para pekerja buruh yang lusuh, lelah bukan karena lillah. Aku bekerja di warung grosir milik pamanku sendiri, awal mula bekerja disana adalah ingin mempunyai penghasilan sendiri dengan alasan biaya kuliah, dan dibalik alasan tersebut aku juga ingin menemani kakek dan nenek yang kebetulan rumahnya bersampingan dengan warung grosir tersebut.
Pamanku merupakan sosok pedagang yang bisa dibilang sukses, beliau memiliki sebidang tanah yang luas dan 2 toko grosir yang serba ada, kebetulan beliau bermukim di sebuah kampung yang jauh dari perkotaan, sehingga warung grosir beliau menjadi sebuah tempat untuk mengabulkan kebutuhan masyarakat.Â
Walaupun bisa dibilang toko grosir dikampung tersebut tidaklah sedikit, akan tetapi warung pamanku adalah warung termashur karena harganya yang masyarakat sekitar bilang paling murah.
Toko grosir pusat adalah tempat berkerjaku, disana adalah sebuah tempat yang hampir setiap masyarakat sekitar harapkan, karena tidak setiap masyarakat dapat bekerja disana, hanya orang-orang yang pamanku pilih saja yang dapat bekerja, karena pamanku memiliki standarisasi untuk mempekerjakan seseorang, rata-rata yang beliau pekerjakan adalah orang-orang yang putus sekolah sebagai pekerja cadangan karena pekerja utamanya hanya 2 orang dan itupun sudah berkeluarga.
Kerap orang mengatakan bahwa ekspetasi selalu diluar realita, begitu pula dengan aku yang terlalu berkhayal bahwa bekerja di warung grosir milik paman tidak akan terlalu melelahkan, tidak akan terlalu disuruh-suruh, atau mungkin memiliki sebuah privilege yang membedakan aku dengan para pekerja yang lain, yah begitulah sosok aku yang bisa dikatakan egois sama seperti para kapitalis pada saat itu.Â
Namun ternyata semua hanya akal egoisku saja, aku sama seperti mereka bekerja tak kenal waktu bahkan aku sendiri dimanfaatkan oleh sosok pamanku yang sekaligus bossku untuk bekerja lebih melebihi batas waktu para pekerja lain.Â
Dalam grosir pamanku terdapat 4 orang pekerja, 3 orang pria dan seorang wanita, semua dipekerjakan sama hanya upah yang membedakan. Mereka bertiga mendapatkan upah 50-70 ribu perharinya sedangkan aku hanya diberi upah 25 ribu itupun apabila aku kerja hingga magrib disaat jam lima pekerja yang lain pulang.
Pamanku pernah berkata "gaji besar menentukan seseorang yang ulet dan multitalen". awal mulanya aku menerima pernyataan beliau, karena pada awal bekerja aku memang tidak mementingkan soal gaji dan aku pun mengerti para pekerja yang bekerja disini, mereka berusaha menghidupi keluarganya dengan pekerjaan ini. Namun ternyata tidak begitu, dunia peeburuhan ini keras, niat awal membantu malah jadi pembantu.Â