Tepat pukul 18.00 aku pasti mendapatinya sedang duduk santai di kursi goyang kesayangan di dalam gardu pos kamling.
Di setiap senja saat matahari mulai menutup diri, ia terlihat asyik seorang diri.
Usianya ku perkirakan di atas 65 tahun, rambutnya semua berwarna putih, kulitnya tak sekencang Ibu Mae si penjual gado- gado samping rumah Pak RW, pun giginya sudah tak ada.
Saat ku melintas berulang kali di hadapannya, hanya sekali ia tersenyum kepadaku, senyum yang teramat manis. Kalau boleh aku samakan, miriplah dengan senyum Kak Luna Maya. Selebihnya, ia hanya duduk sambil bergoyang meski berulang ku sapa dengan senyum terimoetku. Seperti yang baru saja ku lakukan, sayang senyumku bertepuk sebelah tangan.
Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam, ingin sekali menyapa dan bercengkrama hangat meski perbedaan usia yang terpaut jauh. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ku ajukan kepadanya. Karena jujur, aktivitas rutinnya di setiap senja ini membuatku menjadi pria cerdas tuk bertanya-tanya dalam hati
"Siapakah wanita senja ini?"
"Mengapa di setiap senja ia duduk santai dalam gardu pos?"
"Tidakkah ia lebih baik berada dalam rumaj melakukan aktivitas ibadah, atau bercengkrama dengan keluarga atau pula sekedar istirahat."
"Apa yang ada dalam pikirannya saat ia asyik duduk di singgasananya sampai-sampai terkesan cuek dengan orang-orang yang melintasi di hadapannya?"
"Adakah ia sedang dirudung masalah?"
"Atau hanya sekedar benar-benar duduk menikmati indahnya panorama senja?"