Lelah. Dua jam berlalu dengan cepat. Kurasakan kejenuhan dan kebosanan yang amat sangat. Mulai dari buku sejarah, teologi, bahasa, hingga koran bekas pun telah kubuka dan kulalap habis. Mencoba mencari sesuatu sambil berharap mendapat ilmu, di samping mengisi kekosongan waktu pagi. Tapi, aku ngga tahu mana yang nyangkut di otak. Begitu banyak informasi yang akhirnya jadi terbaca setengah-tengah. Mudah-mudahan sih ada, ngga apa-apa dikit juga.
Ku habiskan teh manis yang masih setengah gelas, tak lupa nasi uduk kesukaan tanpa kompromi. Meski sebenarnya itu bukan jatah makan pagiku. Jatahku sudah habis tadi. He… he… aku menikmati gurihnya nasi uduk buatan Nyak Odah yang memang asli keturunan Betawi tulen. Ngomongnya ceplas ceplos membuatku selalu ingin tertawa, apalagi kalau dia sedang ngebanyol, uh.. kocak abis !! logatnya itu loh yang bikin seru. Coba semua orang seperti itu, pasti bakalan ramai dunia dengan canda dan tawaan setiap waktu.
Aku membayangkan semua itu sambil menatap setiap sudut kamar kost. Bibirku tersenyum mengembang membayangkannya. Tapi, spontan saja pikiranku teringat kembali dengan berita yang tadi ku baca di koran bekas. Senyumku segera menghilang, berganti segera dengan mimik sedih, mengapa itu harus terjadi? Tidak adakah cara atau jalan keluar yang lebih baik dari pada itu?
Asyik dengan lamunan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara berisik dan gaduh dari dua ekor kucing liar yang tampaknya sedang bertengkar. Aku kaget. Hilang sudah lamunanku. Segera ku beranjak dari singgasana usang peninggalan penghuni kost lama dan langsung menuju kebelakang kamar tepatnya dapur. Ih Serem!! Tampak dua ekor kucing saling menatap satu sama lain dengan buasnya.
Di tengahnya tergelatak bangkai tikus yang sudah mati. Seolah mereka ingin mengatakan bahwa tikus ini adalah miliknya. Kulihat tikus malang yang tergeletak diantara dua kucing tersebut. Tubuhnya hampir saja hancur bekas rebutan dua kucing itu. Badannya yang berwarna hitam, tampak ternodai oleh darah. Aku kasihan melihatnya, sekaligus merinding, rasa jijik dan ingin muntah segera aku tahan. Aku mencoba bertahan dan tetap ingin melihat dari pintu belakang kamar mandi, apa yang akan dilakukan kedua kucing itu selanjutnya?
Kedua kucing mengeong. Tapi di telingaku terdengar seperti meraung-raung. Keras dan bertenaga. Memenuhi ruang kostku, berisik sekali. Suaranya semakin menandakan emosi yang ingin segera melahap mangsa di depan mata. Namun anehnya, keduanya masih menunggu aksi dari masing-masing lawan.
Si kucing sebelah kanan tikus, sebut saja Hitam karena warna kulitnya yang hitam legam, ia mulai gerah dengan sikap lawannya, sebut saja si putih yang hanya diam dan tak bereaksi apa-apa. Padahal si Hitam berharap agar si Putih segera menyerangnya terlebih dahulu. Ia merasa harga dirinya jatuh jika menyerang terlebih dahulu.
Sementara si Putih, hatinya berkecamuk bimbang antara menyerang dan mundur saja. Ia tahu, lawan yang ada dihadapannya sekarang adalah jawara kucing liar di komplek ini. Sebutlah “premannya”. Tapi kalau ia mundur maka ia harus terpaksa berpuasa lagi, padahal dua hari ia sudah berpuasa, karena tak menemukan makanan sebanyak ini. Sekarang baru ia mendapatkannya. Tapi ternyata, itu harus dilalui dengan rintangan yang amat sangat berat .
Si Putih meraung. Ia mencoba membangkitkan keberaniannya yang mulai pudar. Si Hitam membalas dengan raungan sambil tersenyum mengejek. Ia tahu, lawannya ciut dan grogi. Ia mulai maju mendekati mangsa. Si Putih masih tetap diam tak bergerak. Ia masih bimbang. Hanya sesekali meraung mencoba menakut-nakuti lawan dan berharap sang lawan ciut. Tapi tidak berlaku bagi si Hitam, justru si Hitam mulai mendekat. Tinggal 5-6 langkah lagi ia dapat membawa mangsanya.
Aku masih diam di belakang pintu. Hatiku mulai deg-degan. Aku merasa terbawa oleh situasi ini. Hal ini karena mungkin pikiranku yang kembali terbawa pada berita yang tadi pagi telah ku baca. “Apakah ini harus terjadi di depan mataku, meskipun mereka adalah binatang?” Tanya hatiku
“Tidak … ini tidak boleh terjadi. Mereka berdua tidak boleh melakukan itu. Aku tidak harus menyaksikan sendiri kejadian yang menyeramkan terjadi di depan mataku. Aku harus segera mencegahnya”. Hatiku bergejolak.